27.1.06

Sangiangtikoro bukan Tempat Bobolnya Danau Bandung Purba

BILA kita memasukkan lidi ke mulut Gua Sangiangtikoro, lalu lidi terbawa masuk ke dalam, konon akan terdengar jerit kesakitan. Cerita ini mengumpamakan seperti tikoro (tenggorokan) yang sakit jika kemasukan duri.

Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh yang maha besar. Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat maestro geologi van Bemmelen percaya pula sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.

Van Bemmelen yang sangat kagum pada sakakala Sangkuriang itu, melihat ada kesamaan urutan kejadian antara sakakala dengan proses geologi Bandung. Tak ayal lagi pendapat suhu ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili, sehingga semua guru lulusan B-1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia memercayai pula bahwa Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.

Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan Indonesia, sehingga sampai sekarang pun orang tetap masih meyakini Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.

Aliran Citarum itu bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, seperti sungai terbuka biasa, yang satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Tenggorokan dalam bahasa Sunda adalah tikoro. Maka, tempat penyayatan air di daerah batu kapur selatan Rajamandala itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiangtikoro.

Batuan di Sangiangtikoro disebut batu gamping, batu kapur, atau batu karang. Batuan kapur memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak setipis selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik, kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut. Sekira 23 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang koral mengendap di laut dangkal yang jernih antara Tagogapu Rajamandala - Palabuanratu.

Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Batuan ini dapat larut dalam air yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer, yang pada umumnya terdapat di semua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiangtikoro adalah hasil proses pelarutan sehingga dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.

Pada 2002 Budi Brahmantyo dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) meneliti geomorfologi di daerah Padalarang dan Rajamandala hingga Saguling untuk memperbaiki sejarah bumi Bandung. Dia menyimpulkan bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya Danau Bandung Purba!

Danau Bandung Purba

Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun pembentukan danau semakin sempurna karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung.

Air semakin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan paras air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di timur hingga Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran di selatan.

Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno - Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.

Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.

Pada tahun 1959 sesungguhnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis:

"... Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak di antara gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.), sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang sekarang, dengan demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan menentukan tinggi permukaan air paling atas...

Namun sayang laporannya itu kurang mendapat tanggapan yang baik dari para ahli. Budi Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI, Jakarta, menjelaskan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersentuhan dengan Sangiangtikoro.

Dalam tulisan itu disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan melalui hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.

Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300 - 400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.

Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh muka air tanah.

Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang Tengah yang berupa batuan intrusif yang muncul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri dari batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur akhirnya menyusut pula.

Curug Jompong merupakan tempat yang mudah dijangkau bila dibandingkan dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri. Di sana terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kokoh, dan mengagumkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.

Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air yang sangat halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya tempat tersayatnya batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja, yang kemudian tersayat oleh kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung Purba itu menembus batuan.

Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang lalu. Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.

Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m. atau 712,5 m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui. Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat tempat penglepasan, yang menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.

Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut itu menjadi "pisau" tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.

Pada saat Danau Bandung Purba barat surut, keadaan Danau Bandung Purba timur masih tergenang, karena sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Jadi, Danau Bandung Purba barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba timur, tapi surut lebih awal.

Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba menyusut 16.000 tahun yang lalu.

Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah menuliskan dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum di sekitar Curug Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian, ditelantarkan, padahal dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang!***


(
T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).

17.1.06

Perang Bubat dan Prabu Siliwangi

Oleh Iip D. Yahya

TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.

Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka.

Siapakah Prabu Siliwangi?

Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".

Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah "Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).

Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.

Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."

Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"

Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."

Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."

Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."

Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M).

Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di Kawali (Ciamis).

Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.

Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Harta karun Siliwangi

Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.

SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.

Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).

Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.

Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).

Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.***

Iip D. Yahya
(visiting scholar University of Michigan (2004), peminat sejarah Sunda, tinggal di Yogyakarta)