26.4.06

Mengapa Aksara Pegon Ditelantarkan

Oleh IIP ZULKIFLI YAHYA
(Pikiran Rakyat, Kemis, 27 Pebruari 2003)

TULISAN A. Chaedar Alwasilah (ACA), "Meluruskan Politik Bahasa Ibu", Jumat (21/2), menarik untuk ditindaklanjuti. Dalam salah satu paragraf artikelnya, ACA menulis, "Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikkan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi."

Penafian itu hampir sempurna ketika dalam projek History of Translation in Indonesia and Malaya yang diselenggarakan atas kerjasama Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) dan Archipel 2000 - 2004, tak menyinggung sejarah terjemahan bahasa Arab ke bahasa Sunda. Projek ini dipimpin oleh Henri Chambert-Loir (HCL) dari EFEO dan Monique Zaini-Lajoubert dari Centre National de la Recherche Scientifique. Projek ini diawali sebuah workshop di Paris Prancis, 2-5 April 2002. Dua tokoh Sunda yang diundang menghadiri workshop yakni Ajip Rosidi (AR) dan Yus Rusyana (YR). AR yang mewakili University of Osaka Japan, memaparkan "My experience as a translator, from Sundanese and Japanese into Indonesian". Artikel ini dimuat di harian ini, 13-14 Juni 2002 dengan judul "Beberapa Catatan tentang Pengalaman Menerjemahkan". Sementara YR dari UPI Bandung menyampaikan makalah, "Translations in the Sundanese language".

Beruntung, berkat jasa baik Dr. Asvi Warman Adam, penulis dikenalkan kepada HCL melalui e-mail. Rupanya, dari sekira 30 pakar yang diundang, belum ada yang mengangkat sejarah terjemahan Arab-Sunda. Oleh karena itu, artikel penulis berjudul, "Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan", dapat diikutsertakan dalam projek tersebut. Rencananya, edisi Inggris hasil workshop itu terbit tahun 2003 dan edisi Indonesia tahun 2004. Sekalipun tidak berkesempatan mengikuti workshop, penulis cukup reueus, dapat mengabadikan sejarah terjemahan Arab-Sunda melalui projek tersebut.

Tulisan yang bersumber dari riset awal itu memang masih harus disempurnakan. Namun, setidaknya, sebagaimana dikomentari Henri dalam e-mail-nya, "Laporan itu sangat menarik sebagai pengantar masalah asal-usul dan perkembangan ngalogat serta fungsi dan maknanya dalam konteks kebudayaan Sunda." Dalam kesempatan lain ia berkomentar, "Saya senang membacanya dan saya yakin artikel itu akan merupakan sumbangan yang berharga untuk buku tentang sejarah terjemahan di Indonesia."

Bukan mencari kambing hitam

Pernyataan ACA di atas memang benar. Penafian itu seolah tidak disadari orang Sunda yang -- konon -- sangat islami itu. Dari situlah saya menangkap adanya ambiguitas orang Sunda. Misalnya dalam dunia sastra. Ketika kagum kepada karya Muhammad Moesa dan Hasan Mustapa, kita seolah lupa bahwa keduanya menulis dalam aksara pegon. Kita lupa pula bahwa keduanya adalah ajengan yang pernah belajar di pesantren. Institusi pendidikan yang hingga saat ini masih menjadikan aksara pegon sebagai sarana komunikasi. Atau saat marak tuntutan pemberlakuan syariat Islam, persoalan ini sama sekali tidak pernah disinggung.

Atau tengok saja klaim-klaim kesenyawaan Sunda-Islam yang dilontarkan sejarawan/budaywan Sunda. Seperti Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang sampai pada kesimpulan "puncak" bahwa kata Sunda berasal dari bahasa Arab sanada yang berarti mendaki atau naik. Sunda adalah gabungan huruf sin-nun-dal. Argumennya, pelaut Arab ketika mendekati laut Sunda, serasa mendaki/naik gunung-gunung. Ini berkait dengan dugaan kontak dagang Arab-Sunda yang sudah dimulai sejak sebelum abad I Masehi. Sejauh ini tak ada yang membantah penjelasan AMS itu. Sedemikian yakin AMS dan para pembela Sunda-Islam lainnya akan kebenaran kesenyawaan itu. Namun, pengabaian akan aksara pegon adalah kebenaran yang tak terbatah pula bahwa orang Sunda susungguhnya "alergi" pada yang berbau Arab, yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan Islam itu.

Kemudian soal masih berlakunya Arab Jawi di Malaysia, dapat menjadi perbandingan menarik. Produk Malaysia berupa kamus Al-Marbawi, hingga kini masih digunakan kalangan pesantren. Kamus Arab-Melayu karya Syekh Al-Marbawi ini menggunakan aksara Arab Jawi. Hingga akhir 1980-an, mayoritas pesantren masih menggunakannya di samping Al-Munjid karya Louis Ma'luf. Baru setelah terbit kamus Al-Munawwir karya Warson Munawwir, popularitas Al-Marbawi mulai menurun. Malaysia, dalam berbagai segi memiliki keunggulan dari Indonesia. Pendidikan, ekonomi, termasuk penghargaan negara yang baik kepada para budayawan. Dengan kemajuan tersebut, Negeri Jiran itu toh masih memberi tempat untuk Arab Jawi. Sementara Indonesia, khususnya komunitas Sunda, seolah alergi pada aksara yang disebut ACA identik dengan Islam itu.

Di Tahun Kambing emas ini, katanya, haruslah semakin bersatu menata langkah. Siapa keluar dari lingkaran, ia akan diterkam serigala sendirian. Maka, dalam hal terpinggirnya aksara pegon, tidak perlu dicari-cari biang keladinya, untuk sekadar menumpahkan penyesalan. Tanpa harus malu mengakui, dunia budaya Sunda -- khususnya bahasa -- memang masih dalam pengaruh kebijakan kolonial. Tidak semua pengaruh itu negatif, tetapi tidak seluruhnya juga adiluhung. Harus ada keberanian radikal untuk melakukan koreksi ke dalam, mengkaji kembali kebijakan budaya (bahasa) Sunda itu. Selama masih ada komunitas terpinggirkan, berarti orang Sunda tak pernah serius menginginkan kebangkitan kebudayaannya. Jika aksara Sunda yang sudah mati saja bisa dihidupkan kembali dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003, hal yang sama harusnya bisa dilakukan pada aksara pegon yang masih tumbuh dan berlaku. Jumlah pesantren dan santri di Tatar Sunda ini terlalu mahal untuk diabaikan. Sudah tiba saatnya elemen Sunda yang terpinggirkan dari wacana budaya Sunda itu dihiap-hiap kembali. Bukan dengan dasar kasihan, tetapi pengakuan atas keberadaan dan potensinya. Pengakuan kembali terhadap aksara pegon ini akan menjadi test-case, ujian kesungguh-sungguhan kita membangun budaya Sunda.

Arab identik dengan Islam?

Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa kearaban yang berlaku di kalangan pesantren salafiyah (baca: tradisional) Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Kearaban itu sudah mengalami Sundanisasi sedemikian rupa sehingga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini terjadi di semua wilayah di mana Islam tesebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang Arab saat ini. Kearaban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah berubah nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan (logat, lentong) orang Sunda. Ketika seorang nenek kaget dan spontan ia mengucap innalillahi atau lailahaillallah, sama sekali tidak bermaksud sok Arab. Ungkapan itu sudah bersenyawa dalam kesundaannya.

Atau ajaklah seorang santri berdebat soal pembacaan sebuah kalimat berbahasa Arab. Dengan fasih ia akan mengupasnya panjang lebar, memakai argumen yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda(!). Lalu ajaklah ia berbicara dengan bahasa Arab kontemporer, boleh dibuktikan, pembicaraan akan tersendat-sendat. Unsur Arab dalam keberislaman orang Sunda adalah pengaruh tak terhindarkan sebagai konsekuensinya berislam. Tak berbeda dengan orang Sunda "modern" saat menyelipkan kosa-kata Inggris dalam ucapan/tulisannya. Kalau didengar/baca orang Inggris asli, tak jarang membuatnya pusing memahami.

Berbeda halnya dengan tuntutan mode pakaian atau tata rambut/jenggot yang memang diniatkan meniru orang Arab. Fenomena inilah yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini, yang menjadi ikutan dari arus tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Tak perlu diperdebatkan, toh di situlah inti pemahamannya tentang Islam. Islam kaffah dipahami sampai dengan meniru kearabannya pembawa ajaran islam, bukan menyadari kompleksitas dan universalitas Islam dalam memandang kehidupan.

Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Jumlah orang Sunda yang seperti si nini dan santri dalam ilustrasi di atas adalah mayoritas Sunda-Muslim. Sementara kelompok yang menuntut berislam harus dengan berbaju gamis serta berjenggot, jumlahnya minoritas. Dengan kearabannya itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa Sunda melalui tradisi ngalogat-nya.

Marilah kita tempatkan sejarah penyerangan Banten ke Pajajaran atau Mataram ke Sunda sebagai masalah politik. Jangan sampai kasus tersebut terus menerus mengungkung kita untuk mengekspresikan kesundaan secara lepas sehingga menghambat proses orang Sunda menemukan identitas mutakhirnya, post-Pajajaran-Demak-Mataram-Belanda-Jepang-Jakarta. Sudah saatnya kita mampu bersunda tanpa terbebani warisan dendam sejarah. Rentetan kekalahan Sunda (politik) itu biarlah menjadi cermin, tempat kita berkaca bagaimana memulai langkah kembali. Menjadi muara otokritik dan sumber spirit. Bukan keranjang apologi yang didasari semangat inferioritas.

Dari mana memulai

Apakah perlu menyelenggarakan kongres atau konferensi untuk memberlakukan kembali aksara pegon? Saya kira tidak. Dana besar untuk penyelenggaraan acara seremonial seperti itu akan lebih efektif digunakan "di lapangan". Dengan jabatannya saat ini, ACA bisa mengawali langkah konkret. Misalnya lewat penugasan mahasiswa untuk melakukan transliterasi, lomba mengarang sastra menggunakan aksara pegon, dan tentu saja mengajarkan kembali cara penulisan dan pembacaannya. Setidaknya, dengan upaya ini, kesalahan-kesalahan transliterasi pada naskah-naskah Hasan Mustapa bisa diperbaiki, terutama pada bagian yang mengutip ayat Alquran dan hadis nabi.

Kalangan media massa juga bisa memulainya. Yang paling mungkin mengawali kerja ini menurut penulis adalah majalah Mangle. Dengan menyediakan satu-dua halaman untuk aksara pegon, tidak akan mengurangi bobot -- satu-satunya -- majalah berbahasa Sunda ini. Justru dengan kebijakan ini, Mangle bisa merambah pasar baru, komunitas pesantren. Sekadar mengingatkan, data tahun 2001 mencatat bahwa di Tatar Sunda terdapat 2.969 pesantren salafiyah dengan jumlah santri mencapai 1.414.180.

Mestinya, kita juga berharap banyak kepada perguruan tinggi seperti IAIN dan Unpas. IAIN Bandung memiliki mahasiswa yang mayoritas berasal dari pesantren, dosen, dan stafnya juga sebagian besar alumni pesantren. Unpas -- konon -- memiliki jargon ngamumule budaya Sunda jeung syiar Islam. Kurang apalagi untuk mendukung pengakuan kembali aksara pegon?

Mugia pareng.***

Penulis adalah lulusan IAIN SGD Bandung, pemerhati kesundaan, kini tinggal di Yogya.

12.4.06

Negeri Mandiri di Pojok Negara

Indira Permanasari dan Amir Sodikin

(Kompas edisi Rabu, 24 Agustus 2005)

Mereka terisolasi, namun justru itulah yang membentuk identitas dan etnisitas mereka. Kuat tercitrakan sebagai masyarakat adat mandiri, sekalipun tak mendapat sentuhan negara. Keterisolasian justru menjadi daya pikat, memukau orang-orang kota. Simaklah, orang-orang kota yang modern terkesima! Ternyata tradisionalisme mampu menawarkan cara hidup yang lebih sentosa.

Hari itu ribuan orang terus mengalir menuju lembah di kaki Gunung Halimun, tepatnya di kampung adat Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka tak peduli lagi jalan penuh tanjakan, turunan, dan tikungan tajam di bibir jurang hutan primer Gunung Halimun. Tekad mereka sama, menyaksikan upacara seren taun atau syukur panen yang digelar akhir pekan pertama Agustus lalu.

Upacara semacam thanksgiving itu dipusatkan di halaman imah gede, di tempat pemangku adat tertinggi atau biasa disebut kolot girang Kasepuhan Banten Kidul AE Sucipta (38) atau dikenal sebagai Abah Anom memberikan pidato. Di depan rakyat yang datang dari Sukabumi, Bogor, Lebak, Bandung, dan Jakarta itu Abah Anom tidak hanya memberikan wejangan, namun juga menyampaikan laporan pembangunan mulai dari pembangunan jalan hingga pembangkit listrik.

Laporan nota keuangan juga disampaikan secara ringkas di hadapan 740 baris kolot lebur dan ribuan rakyat. Kolot lebur adalah sesepuh perwakilan kampung dari berbagai penjuru, semacam menteri yang menjadi pembantu Abah Anom di daerah. Di tangan baris kolotlah segala ketentuan dari pusat tatanan adat sampai ke rakyat.

Begitu teratur, perkampungan Ciptagelar telah memberikan nuansa daerah terisolasi tak selamanya miskin. Warga hidup damai, berkecukupan, dan memiliki sesuatu yang didambakan masyarakat kota selama ini yaitu waktu luang (leisure time) yang panjang. Dikitari sawah hijau menghampar, riak air terus mengalir, rumah adat yang berdiri kokoh dan bersih, serta ketersediaan sumber daya alam yang mencukupi. Sebuah desa yang sebenar-benarnya.

Semua itu tak lepas dari sosok Abah Anom. Abah ini walaupun memangku jabatan kolot girang sejak remaja, namun warga tetap tunduk dan setia. Uniknya, kepatuhan dan ketundukan itu bukan karena berbagai mitos yang tercipta atau diciptakan. Kami tunduk karena memang aturan adat telah menggariskan Abah yang menjadi pemimpin, kata Ki Hendar.

Abah memang banyak dicari orang. Antrean tamu bisa sampai berhari-hari menunggu giliran bertemu. Namun demikian, berbeda dengan tokoh lain, sosok ini tak dikultuskan secara keramat. Sosok Abah tetap sederhana dan merakyat, inilah yang membuat kami makin setia, kata Hendar.

Tata kelola

Warga yakin, Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi.

Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lebur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lebur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk.

Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, kata Marjuhi.

Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat. Fungsi-fungsi yang biasanya ada di antaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda.

Di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas.

Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton, Ki Radi (50) namanya. Malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, kini gilirannya bertugas. Membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun.

Dari pantun-pantunnya, dipercaya terlantun doa agar desa itu terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. Isi pantun merupakan refleksi untuk mengingatkan identitas etnis serta sistem religi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.

Sistem refleksi itu telah menjadi alat penyembuh sosial (social healing) atau biasa disebut menjadi ruwatan terhadap desa tersebut. Karena itu, Abah Anom tidak sembarangan menunjuk pemetik kecapi buhun. Ada tidak ada penonton, saya tetap akan berpantun karena ini tugas dari Abah, katanya.

Setiap orang yang ditunjuk dengan sukarela akan menjalankan tugasnya dengan setia sebagai bagian dari tradisi. Tradisi itulah yang membuat mereka bertahan di daerah terisolir jauh dari sentuhan negara.

Fasilitas publik

Pendidikan juga diselenggarakan mandiri. Di Ciptagelar yang baru berdiri empat tahun lalu telah ada tiga lokal sekolah yang pendiriannya dibantu Bank Jabar. Pengajar di sekolah itu, sebut Upar Suparwan (28), bekerja sukarela dengan bayaran Rp 300.000 per tahun dan kadang hanya dibayar padi 18 pocong per tahun.

Ciptagelar juga memiliki media informasi berupa radio komunitas. Investasinya dibantu Institut Bisnis dan Ekonomi Rakyat, Rp 8 juta untuk membeli sejumlah peralatan.

Pendiri radio komunitas, Ugi Sugriana (20), yang juga anak Abah Anom, mengatakan radio komunitas didirikan untuk mengembangkan adat dan budaya. Berbagai ragam kesenian Sunda seperti kesenian wayang golek, klasik sunda, dan dog dog lojor diperdengarkan. Ke depannya akan diupayakan program pendidikan dan kesehatan.

Ciptagelar juga dikenal mandiri untuk pembangunan berbagai fasilitas mulai dari jalan hingga permukiman. Mereka juga tak tergantung dengan dunia luar. Kebutuhan energi terutama dipasok dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Orang sini terkenal pandai membuat kincir air, biasanya sering diminta untuk membuat kincir di daerah lain, kata Eeng.

Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat. Mereka bekerja lintas administrasi desa. Wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di negeri yang penuh kedamaian itu, tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan adat.

Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistik yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan.

Tidak hanya jumlah penduduk, pongokan juga turut menghitung jumlah hewan piaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraan memengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab, dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.

Statistik yang demikian lengkap membuat data yang dimiliki Abah sering dijadikan panduan oleh perangkat desa. Tahun ini, jumlah bayi yang lahir bertambah banyak. Tahun kemarin hanya 400 bayi, sekarang 600 bayi, kata Abah.

Pertambahan penduduk perlu dipantau karena berakibat pada daya dukung alam yang selama ini menopang mereka. Kampung Abah memang sering berpindah. Sudah 11 kali kasepuhan itu pindah tempat.

Sulit untuk mendeskripsikan bagaimana posisi struktur tata kelola adat di Kasepuhan Banten Kidul. Salah satu titik terang untuk menjelaskan fenomena itu adalah Abah tidak peduli dengan struktur, yang penting fungsional. Abah tidak peduli jabatan, yang penting bagaimana berbagi peran. Semua terlibat dan bekerja sesuai peran, tanpa komando dan tanpa bayaran, kata Eeng Suyanto, anggota kasepuhan dari kota yang menyebut dirinya baris koboi.

Baris koboi adalah istilah orang-orang kota untuk menamai barisan tandingan dari baris kolot yang sudah ada sebelumnya. Bukan tandingan untuk berebut pengaruh, melainkan untuk memperkuat fungsi kehumasan ke dunia luar. Kemeriahan seren taun memang tak terlepas dari desain dan kehumasan para baris koboi.

Fathir Muchtar, artis sinetron adik Bucek Deep, adalah salah satu orang kota yang terpesona dengan tatanan di Ciptagelar. Karena itu, kedatangan dia ke acara seren taun bukanlah sebagai artis. Dia menjadi peserta pengiring arak-arakan padi sebagai pemain debus sungguhan yang tubuhnya kebal dari senjata tajam.

Saya di sini bukan artis, saya baris koboi, katanya bangga.

Direktur Utama PT Lintas Jeram Nusantara Lody Korua yang mengelola wisata arung jeram Arus Liar di Sungai Citarik hampir tiap tahun hadir dalam acara seren taun. Sebagai baris koboi, secara moral memiliki solidaritas kuat untuk mendukung acara itu. Seren taun kali ini Lody membawa tamu-tamu dari kota dengan dua buah mobil off-roadnya. Kerja Lody dan koboi-koboi lainnya adalah kerja sosial, tanpa komando, tanpa bayaran, sehingga harus keluar duit sendiri.

Si Kabayan

AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

(Laporan Utama-Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Oktober 2004)

NAMANYA Kabayan. Dipanggil Si Kabayan sebagai ungkapan keakraban dan kedekatan yang demikian menyatu dengan kehidupan fansnya. Nama dari cerita lucu yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda. Sulit untuk mencari orang Sunda yang tidak mengenal nama tokoh cerita ini. Kecuali, anak kecil yang belum tahu apa-apa, atau orang tua yang sejak kecil buta dan tuli. Sedemikian terkenalnya tokoh ini sehingga menutupi keterkenalan tokoh yang mengorbitkan nama tersebut. Bahkan, akhirnya nama yang mengorbitkan nama tersebut sama sekali tidak pernah dikenal.

Si Kabayan merupakan tokoh yang memiliki karakteristik yang unik, khususnya dalam imajinasi masyarakat Sunda. Tokoh ini digambarkan sebagai "figur" yang memiliki karakteristik lucu, polos, namun memiliki kecerdasan yang sulit diduga. Khususnya Si Kabayan, sering digambarkan sebagai tokoh yang serbabisa, bagaimana tidak, bila ia kadang menjadi sosok, santri, kadang menjadi sosok kiai, dukun dan tokoh lainnya. Bahkan, dalam terbitan terakhir Yus R. Ismail menceritakan Si Kabayan malih rupa menjadi seorang Sufi. Pokoknya dalam apapun gambaran Si Kabayan menjadi sah, sejauh lucu dan cerdas. Paling tidak harus lucu, itu yang sama sekali tidak boleh hilang dari karakter Si Kabayan. Selain Si Kabayan terdapat tokoh lain dalam khazanah sastra Sunda, yaitu Lengser atau Mamang Lengser kadang dipanggil Ua Lengser.

Tidak jauh berbeda dengan imaji orang tentang Si Kabayan, Mamang Lengser pun senantiasa digambarkan kurang lebih sama. Bedanya dengan Si Kabayan, Mamang Lengser senantiasa dihubungkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan, kerajaan. Mamang Lengser, cocok dengan namanya yang kurang lebih berarti "turun" (lengser, lungsur=turun), ia sering diposisikan sebagai kepanjangan titah Sang Raja. Lengser adalah "perwujudan" dan "perwakilan" dari Sang Prabu atau Raja yang turun menemui dan menyatu dengan rakyatnya. Dan perbedaan yang lain adalah Mamang Lengser dikenal dalam naskah-naskah sastra klasik Sunda, sedangkan Si Kabayan tidak demikian. Bukan kebetulan bila kata kabayan pun, dalam bahasa Sunda, memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu "utusan".

Keberadaan Mamang Lengser dan Si Kabayan merupakan prototipe kelas sosial yang tidak pernah dikenal dalam teori modern mana pun. Mamang Lengser, sebagai contoh, kalau pun ia merupakan perwujudan dan kepanjangan dari Sang Prabu, tetapi fungsi dan posisinya ini bukan merupakan fungsi dan posisi yang bersifat formal. Walaupun dalam kondisi tertentu, Mamang Lengser kadang seolah-olah berposisi sebagai Penasihat Raja, ia tetap berposisi sebagai masyarakat biasa dan tidak memiliki fasilitas apa pun dari kerajaan. Kalaupun Mamang Lengser diposisikan (dalam sistem pemerintahan modern, trias politik) sebagai wakil rakyat (DPR), sama sekali tidak bisa dianggap demikian. Karena, Mamang Lengser sama sekali tidak memiliki hak wewenang sebagaimana halnya seorang legislatif. Posisi Mamang Lengser hanya mungkin dibandingkan dengan punakawan dalam dunia pewayangan. Apakah keberadaan Mamang Lengser ini mengadopsi cerita pewayangan yang memiliki setting sosial yang kurang lebih sama? Rasanya tidak juga, karena bisa dipastikan bahwa keberadaan Mamang Lengser (dalam cerita lisan, buku tulis) lebih tua dibandingkan cerita pewayangan? Bahkan, jangan-jangan keberadaan punakawan dalam pewayanganlah yang mengadopsi keberadaan Mamang Lengser dalam cerita lisan masyarakat Sunda. Hal ini dapat dipahami bila melihat kenyataan bahwa dalam naskah Mahabrata maupun naskah lainnya yang menjadi sumber cerita pewayangan tidak dikenal tokoh-tokoh punakawan tersebut.

Bila melihat setting yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut, yang pertama Mamang Lengser dalam setting suatu masyarakat kerajaan, sedangkan yang kedua (Si Kabayan) dalam masyarakat "tidak tentu". Tidak tentu, karena jarang ada penulis cerita atau penutur cerita Si Kabayan yang menjelaskan secara rinci sistem kekuasaan atau pemerintahan apa yang berlaku pada masyarakat di mana Si Kabayan hidup. Memang sering disebut keberadaan kuwu, lurah atau kepala desa, demikian juga dengan lebe dan mantri pulisi, tetapi hal itu bisa-bisa saja sekadar pengalihan fungsi-fungsi lembaga sosial klasik dalam fungsi lembaga sosial modern. Tapi juga, tidak bisa dikatakan bahwa Si Kabayan hidup dalam setting masyarakat klasik Sunda (kerajaan), karena jarang juga yang menceritakan Si Kabayan dalam setting kehidupan demikian. Barangkali ia lebih merupakan cerita dari negara entah berantah, negara yang hanya ada dalam imajinasi masyarakat Sunda. Negara yang memungkinkan si penutur menjadi aman untuk melemparkan kritik sepedas apa pun, tembak sana tembak sini, tanpa merasa perlu khawatir menyinggung seseorang secara langsung. Uniknya, ada cerita bahwa terdapat sejumlah makam tokoh Si Kabayan di beberapa tempat. Wallahu'alam.

**

DI Timur Tengah sana, terdapat juga tokoh sejenis. Tokoh yang juga memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, di antaranya tokoh Ali Baba, Nasruddin dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut pada umumnya digambarkan sebagai tokoh dari kalangan sufi. Komunitas yang pada saat lahirnya tokoh tersebut gencar melakukan kritik terhadap para penguasa, khalifah, dan, tokoh-tokoh tersebut, khususnya Nasruddin dianggap sebagai tokoh yang benar-benar ada, hidup. Sulit dipastikan adakah hubungan saling memengaruhi kemunculan tokoh yang berkarakter hampir mirip tersebut. Bahkan untuk dikira-kira pun sulit, karena tidak ada fakta yang mendukung. Selain itu, adanya kesamaan antara satu hal dengan hal lain di dunia ini, sejauh berhubungan dengan kreativitas manusia, tidak semuanya bisa dianggap adanya saling pengaruh-memengaruhi. Bahkan jangan-jangan tidak pernah ada kontak dalam persoalan tersebut.

Bila demikian, khususnya membaca keberadaan tokoh Mamang Lengser dan Si Kabayan, dalam masyarakat Sunda, tradisi kritik yang cerdas dan membangun bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tidak pernah ada atau lembaga tertentu yang merasa tersinggung dengan ungkapan dan gaya hidup Mamang Lengser maupun Si Kabayan. Dan tidak pernah juga ada cerita penutur maupun penulis cerita ini yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik dari metode penceritaan kedua tokoh tersebut menggunakan metode yang benar-benar khas.

Pendengar atau pembaca "dipaksa" oleh penulis maupun penutur untuk melakukan "transposisi", di mana Si Kabayan tidak lagi berposisi sebagai objek baca ataupun objek dengar, dan tidak pernah berada dalam posisi sebagai "alat bicara" atau media bagi penutur maupun penulisnya. Karena Si Kabayan senantiasa berbicara atas nama pembaca maupun pendengar.

Dalam penuturan cerita Si Kabayan bagi sang pembaca atau pendengar, sang tokoh tidak pernah berposisi sebagai pembicara aktif. Yang berbicara dalam cerita tersebut tiada lain dari sang pendengar dan atau sang pembaca itu sendiri. Si Kabayan bukanlah orang lain, melainkan diri sang pembaca atau pendengar itu sendiri yang sedang berubah nama. Karakteristik kedua tokoh tersebut menjadi tampak lucu dan kritiknya sedemikian tajam namun tidak menusuk, karena yang berbicara adalah diri kita sendiri. Si Kabayan adalah bayang-bayang dalam cermin, "bukan cermin". Si Kabayan hadir sebagai impian dalam tidur nyenyak yang memutar ulang pengalaman-pengalaman kita dalam mimpi yang nyata. Pengalaman yang lucu, kocak, polos dan kadang pikasebeleun. Kita bisa tertawa lepas mendengar dan membaca cerita Si Kabayan, kita benar-benar memahami apa yang dikatakan Si Kabayan, melalui perkataan dan perilakunya. Karena perkataan dan perbuatan Si Kabayan adalah perkataan dan perbuatan kita sendiri. Lain tidak.

Si Kabayan bukanlah tokoh yang demikian sempurna tanpa cacat. Bahkan kini muncul anggapan dan pandangan yang menganggap Si Kabayan sebagai tokoh yang tidak patut untuk dicontoh, tidak cocok lagi dijadikan ikon kesundaan, karena kemalasannya. Lebih dari itu kini tokoh Sunda atau sejumlah masyarakat Sunda yang mempersalahkan Si Kabayan sebagai penyebab karakteristik masyarakat Sunda yang dianggap malas dan tidak memiliki etos kerja modern. Orang yang berpikir demikian, dalam teorema pendidikan yang membebaskan Paulo Freire dikategorikan sebagai individu masyarakat yang memiliki mental naif. Individu yang begitu terang melihat orang lain, tapi buta dalam melihat dirinya sendiri. Tahu tentang kesalahan tanpa mampu memberikan solusi. Individu yang jauh dari sikap dewasa apalagi bertanggung jawab.

Dengan demikian, sejauh kita bisa tertawa ataupun bahkan merasa sebal ketika kita membaca cerita Si Kabayan (atau cerita sejenis), artinya bahwa rohani dan akal pikiran kita masih sehat, karena kita masih bisa mengenal sifat-sifat kocak dan pikasebeleun dalam diri kita. Lebih dari itu, kita masih bisa jujur pada diri kita sendiri.***

Pribadi yang "Teu Nanaon ku Nanaon"

Sekali Lagi Si Kabayan
Pribadi yang "Teu Nanaon ku Nanaon"
Oleh AHMAD GIBSON AL BUSTOMI

(Pikiran Rakyat, Saptu, 5 Maret 2005)

Dalam sebuah diskusi apresiasi film "Si kabayan Saba Kota", saya diingatkan Kang Didi Petet tentang satu hal berkenaan dengan karakteristik atau lebih tepatnya cara pandang Si Kabayan dalam menjalani kehidupannya, yaitu teu nanaon ku nanaon. Prinsip hidup Si Kabayan ini memang sangat dikenal, sebagai cara pandang yang sangat khas "Kabayan". Maksudnya, siapa pun yang banyak membaca, atau mendengar dan penutur cerita Si Kabayan, ia tahu dengan pasti bahwa Si Kabayan sangat dikenal sebagai sosok yang berpegang pada prinsip tersebut, teu nanaon ku nanaon.

Sulit dipastikan prinsip apakah -- yang diasumsikan (diyakini) -- yang menjadi pandangan hidup hidup Si Kabayan? Cara pandang hidup yang membentuk kepribadian Si Kabayan sebagai pribadi yang tulus (lugu, polos?), dan juga cerdas, optimistik serta senantiasa menjalani kehidupannya dengan ceria (hirup mah durirang durang duraring, atau hirup mah heuheuy jeung deudeuh). Apa pun yang ia jalani dan ia terima, selalu disikapi dengan cara yang sama: easy going atau painless. Tak ada bedanya, apakah ia menghadapi kesulitan maupun kesenangan. Namun demikian, kadang juga ditemukan sikap hidup Si Kabayan yang digambarkan benar-benar berbeda dengan orang pada umumnya. Seperti tampak pada gambaran ketika Si Kabayan menjalani (nyorang) jalan menanjak dan menjalani jalan yang menurun. Ketika Si Kabayan menjalani jalan yang menanjak ia selalu tesenyum penuh kebahagiaan, karena yakin bahwa setelah itu akan menghadapi jalan yang menurun. Namun sebaliknya, ia akan merasa sedih ketika menghadapi jalan yang menurun, karena tidak akan lama lagi akan menghadapi jalan yang menanjak. Gambaran tersebut merupakan ilustrasi dari sikap arif ketika Si Kabayan menghadapi kehidupan yang senantiasa berubah, pasang surut. ketika ia menghadapi kesulitan hidup ia tidak pernah pesimis, karena ia yakin, setelah seseorang (siapa pun) itu ia akan berhadapan dengan kemudahan dan kebahagiaan. Dan sebaliknya, ketika ia sedang dalam kemudahan dan kebahagiaan, ia bersikap hati-hati, karena bukan mustahil setelah itu akan mengahadapi kesulitan dan penderitaan. Itulah mungkin mengapa orang beranggapan bahwa Si Kabayan memiliki prinsip (azimah) teu nanaon ku nanaon dalam menjalani kehidupanya. Suatu sikap dan cara pandang yang sangat sulit ditemukan dalam individu dan masyarakat yang menamakan dirinya sebagai individu dan masyarakat modern. Alih-alih menjadikan "cara pandang Si Kabayan" dijadikan sebagai alternatif sikap hidup yang positif, malah dianggap sebagai sikap yang tidak peka dan tidak bertanggung jawab?

**

KETIKA Kang Didi Petet mengingatkan pandangan hidup Si Kabayan sebagai pribadi yang teu nanaon ku nanaon, saya jadi teringat dengan karakteristik manusia yang berada dalam maqom atau derajat Insan Kamil (lautan Kainsanan) yang dijelaskan oleh K.H. Hasan Mustapa (Sufi dan Budayan Sunda yang juga dianggap mahiwal). K.H. Hasan Mustapa menyebutkan bahwa salah satu sikap hidup seorang yang telah sampai pada maqom atau derajat Insan Kamil adalah taya luhur taya handap, sampurna taya kakurang, sampurna walatra, beda soteh pangersana paranimana, jatnika ku sangsarana. Saya melihat bahwa cara pandang ketasawufan ini sama atau mirip dengan cara pandang Si Kabayan, teu nanaon ku nanaon. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi bahwa Si Kabayan senantiasa jatnika ku sangsarana, dan senang atau pun susah bagi Si Kabayan tidak dipandang sebagai kenyataan "objektif", melainkan sebagai kenyataan subjektif dari bagaimana ia menyikapi (mengapresiasi) atau menerima pengalaman yang dialaminya, beda soteh pangersana panarimana.

Terdapat satu kerakteristik yang mesti kita "pahami" dalam mengapresiasi sikap dan cara pandang dan kehidupan Si Kabayan, yaitu pada "logika" atau paradigma yang digunakannya. Bila kita menyimak alur logika Si Kabayan dalam hampir semua cerita Si Kabayan, kita akan menemukan yaitu bahwa Si Kabayan senantiasa menuntut kita untuk "menyimpan dalam tanda kurung" (melakukan "reduksi eiditik", istilah Fenomenologi) cara berfikir awam kita yang cenderung formal dan linier (vertikal). Bila tidak, kita akan merasakan betapa logika kita diputarbalikan sedemikian rupa, dan kita akan "kebingungan" dan bertanya-tanya siapa sebenarnya yang "gila"? Dengan cara berpikir ala Si Kabayan ini, kita dipaksa dan disudutkan pada suatu posisi di mana kita dengan malu-malu atau dengan jantan akan membuka kedok dan kepalsuan yang sekian lama menutup pikiran dan nurani kita. Dan, dengan cara demikian kita tidak pernah merasa "dijatuhkan" atau dipaksa untuk mengaku jatuh oleh logika Si Kabayan, karena kita sendirilah yang menaklukan logika kita sendiri. Prinsip yang mirip dengan apa yang sering para mursid tariqat katakan tentang keberhasilan muridnya, "usaha dan keuletan sang muridlah yang membuat ia berhasil bukan karena kecerdasan sang mursyid dalam mengajarkan ketasawufan".

Teu nanaon ku nanaon, itulah salah satu inti dasar kearifan yang bisa kita pelajari dari cerita Si Kabayan. Kearifan yang mengajarkan kita tentang cara menerima dan menjalani kehidupan. "Menerima dan menjalani kehidupan" sebagai anugrah yang murni diberikan oleh Tuhan, manusia tidak pernah meminta, merencanakan apalagi membuatnya. Dan, oleh karena itu Si Kabayan menerima anugrah itu dan memandang dalam kacamata yang positif. Ia sadar bahwa secara faktual manusia ditakdirkan untuk hidup bergandengan dengan alam. oleh karena itu, Si Kabayan menjadikan alam sebagai teman, bahkan sebagai bagian integral dari dirinya sendiri. Kehidupan Si Kabayan adalah prototipe manusia yang tidak mengenal dan tidak pernah akrab dengan konflik. Kalaupun ia menemukan sesuatu yang bernuansa konflik, dipandangnya sebagai potensi positif yang membuat sejarah kehidupan manusia menjadi dinamis. Potensi yang membuat pelangi di angkasa sana tampak indah namun tidak pernah bisa disentuh.

Sebagai pribadi yang menjadi ikon dari kearifan lokal "Sunda-lembur", mungkinkah ia menjadi alternatif bagi masyarakat Sunda, dan manusia secara kesuluruhan, yang hidup di perkotaan dan menapakkan kakinya di era modern ini? Ketika persoalan ini mengemuka, terdapat kegamangan, antara kemestian dan kekhawatiran. Kearifan, dari mana dan siapa pun, secara substansial dalam dirinya (inhern) merupakan "nilai" universal yang tidak hanya menjadi milik satu masyarakat atau komunitas tertentu saja. Ia menjadi sebuah kemungkinan (alternatif) bagi masyarakat lainnya. Konteks yang menjadi kemestian kearifan ala Si Kabayan ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat modern. Namun, di sisi lain terdapat pula kekhawatiran, yang kurang lebih sama dengan kekhawatiran sejumlah dalang dan tokoh budayan terhadap upaya Asep Sundandar Sunarya ketika ia melakukan beberapa improvisasi dalam pergelaran wayang goleknya. Kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dari tali paranti atau pagu. Kekhawatiran ini sebenarnya cukup bahkan sangan beralasan, sehingga kita tidak perlu menganggapnya sebagai sikap berlebih-lebihan. Karena, kekhawatiran tersebut tentunya bukan terlahir dari sikap picik dan ortodoks, akan tetapi harus dipandang sebagai satu sikap dan ekspresi dari apresiasi dan kecintaan mereka terhadap budaya warisan leluhurnya. Tarik-ulur dalam mengapresiasi warisan budaya para pendahulu suatu bangsa merupakan kenyataan yang membuat suatu bangsa dengan kebudayaannya mampu bertahan sampai kini.

Dalam konteks ini, kita dituntut untuk bersikap arif dan melihat persoalan ini secara proporsional dan penuh tanggung jawab. Jangan sampai, seperti digambarkan dalam cerita Si Kabayan yang menceritakan bagaimana orang cenderung menjadikan aspek-aspek permukaan (furu) yang bagus dan bersih, Si Kabayan disambut dan disuguhi hidangan yang serba lezat di meja yang disediakan secara khusus. Melihat gelagat tersebut, Si Kabayan membuka pakaiannya dan ditaruhnya pakaiannya di atas hidangan tersebut sambil berkata, "hai baju yang bagus, makanlah hidangan yang lezat-lezat ini, karena makanan ini diseuguhkan untuk menyambut dan menghormatimu, bukan aku!".

Restorasi dan apresiasi terhadap nilai dan budaya, merujuk pada filosofi Si Kabayan tersebut, harus mendahulukan dan meletakkan nilai-nilai substantif sebagai unsur prioritas di atas unsur-unsur luaran. Namun demikian, bukan berarti kita boleh secara semena-mena mencampakkan unsur luaran dari tradisi dan warisan budaya suatu masyarakat, karena relasi antara kedua unsur tersebut sekompleks unsur-unsur sejarah yang terlibat dalam proses kreatifnya.

Namun demikian, upaya-upaya untuk merestorasi dan "merevisi" nilai-nilai kearifan ala Si Kabayan bagi masyarakat kontemporer harus pula disikapi sebagai upaya yang tidak kecil artinya bagi kehidupan dan perkembangan budaya Sunda pituin. Insya Allah.***