8.6.06

Iyar Wiarsih, "Mojang Priangan Tea"

GENERASI yang kini berusia di atas 40 tahun pasti kenal dan masih hafal lagu Mojang Priangan yang pernah mencapai puncak ketenaran selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1960. Selama periode itu, lagu tersebut berhasil mencapai masa jaya sehingga sekaligus mengangkat citra tentang mojang-mojang dari Priangan.

Mojang dalam bahasa Sunda artinya gadis, sedangkan Priangan adalah pusat Tanah Sunda. Karena keindahan alamnya, psikolog MAW Brouwer (almarhum) sering mengungkapkan Tanah Priangan sebagai "daerah yang diciptakan Tuhan pada saat tersenyum".

Sebagai lagu Sunda, Mojang Priangan berhasil memperpanjang masa jaya lagu-lagu Sunda yang sebelumnya dipopulerkan Upit Sarimanah (almarhum) dan Titim Fatimah (almarhum). Keduanya merupakan pesinden atau juru kawih lagu-lagu Sunda yang legendaris dan hingga kini belum ada gantinya.

"Pada mulanya, saya tidak menduga lagu itu akan begitu populer," kenang sang pencipta lagu Iyar Wiarsih.

Juru kawih yang dikenal sangat selektif memilih nayaga pengiringnya itu ternyata masih tetap memiliki suara emas walaupun usianya sudah 71 tahun. Pantas jika belakangan ini ia dipilih menjadi pendamping Euis Komariah. Salah seorang penembang lagu-lagu Cianjuran tersebut tengah berusaha membawakan lagu-lagu tradisi yang biasa diiringi gamelan ke dalam tembang Cianjuran.

BIASA dipanggil "Mamah Iyar", ibu dua anak dan nenek tujuh cucu serta buyut empat cicit itu masih tampak gesit. Bahkan, untuk wanita seusianya, aktivitasnya tidak hanya sebatas mengikuti pengajian. Selain berusaha menularkan ilmunya, sesekali ia dipercaya menjadi juri dalam berbagai kegiatan lomba lagu-lagu Sunda.

Iyar Wiarsih bukan hanya dikenal sebagai juru kawih gamelan yang terkenal pada zamannya. Ia sekaligus merupakan saksi hidup masa jaya kesenian Sunda dan peran Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat itu, lagu-lagu Sunda berhasil mengungguli lagu-lagu Indonesia.

Coba saja, siapa yang tidak kenal dengan lagu Dikantun Tugas yang melukiskan nasib seorang istri yang ditinggal suaminya yang bertugas ke medan perang. Lagu tersebut ia ciptakan setelah Presiden Soekarno menyampaikan komando Trikora (Tiga Komando Rakyat).

Namun, Iyar bukan hanya dikenal sebagai juru kawih dengan suara emas. Ia dikenal pula sebagai pencipta lagu yang produktif. Selama kariernya sebagai juru kawih, ia mencipta tidak kurang dari 58 lagu. Beberapa lagu ciptaannya yang sempat populer antara lain Kalakay Murag, Wanita Jaya, Reret Mojang, dan Gutak-gitek.

Padahal, jika dilihat dari pendidikan formalnya di bidang kesenian, ia tidak berbeda dengan juru kawih lagu-lagu Sunda pada umumnya yang hanya mengandalkan praktik dari satu panggung ke panggung lainnya. Satu-satunya perbedaan terletak pada semangat dan ketekunannya untuk belajar. Kemampuannya dalam olah suara sudah diasah sejak kecil tatkala usianya baru sembilan tahun.

Lahir 21 September 1932 dari keluarga seniman tradisional di Kampung Cilunjar, Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Bandung, bakatnya sudah tampak sejak kecil. Ayahnya, Enduy Kartaatmadja, dikenal sebagai pemetik kecapi dan pembawa wawacan (cerita atau kisah dalam bahasa Sunda yang dibawakan dalam bentuk dangding) kemudian menitipkan pada Sastra, temannya yang menjadi pemain rebab. Rebab adalah instrumen gesek dalam gamelan Sunda. "Saya belajar mengenal seni Sunda dari Pak Sastra," katanya tentang almarhum gurunya.

Dalam usianya yang masih sangat muda, anak pertama dari delapan bersaudara itu sudah belajar membawakan lagu-lagu dasar tatkala usianya baru menginjak sepuluh tahun. Setahun kemudian, Iyar yang saat itu sering dipanggil nyai oleh nayaga atau awak gamelan lainnya sudah diajak tampil di atas panggung. Dalam masyarakat Sunda, nyai sama artinya dengan neng, yakni panggilan untuk anak gadis.

Setelah sukses di atas panggung, sejak usia 13 tahun, Iyar aktif mengisi acara siaran di Radio Nirom, sebuah stasiun radio pemerintah kolonial Belanda. Padahal, saat itu, seleksi untuk bisa mengudara sangat selektif.

Gadis remaja itu rupanya berusaha mengadu nasib di Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, tahun 1947, ia sempat menjadi juru kawih gamelan Sekar Arum dan Satia Manah yang mengisi acara tetap di studio RRI Jakarta. Namun, setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Bandung. Alasannya, honor yang diterima tidak memadai. Maklum, nasib kesenian pada awal kemerdekaan.

SETELAH kembali ke tempat dilahirkan, penulis buku Pasinden jeung Rumpakana (Juru Kawih dan Lirik Lagu) yang banyak dijadikan pedoman oleh pesinden-pesinden itu memperoleh pelajaran berkat pergaulannya dengan seniman-seniman kesenian Sunda. Apalagi setelah ia bergabung dalam gamelan Sundayana yang dipimpin suaminya, Warsa Muharam.

Lagu Mojang Priangan yang kemudian melahirkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1985) dan Bupati Bandung (1993) pada awalnya lahir dari sebuah senandung. Dengan bantuan kecapi, suaminya kemudian berusaha menyusun notasinya. Tetapi tatkala lirik lagu tersebut sudah selesai dikerjakan, ia bingung memberi judulnya. "Mula-mula diberi judul Putri Priangan," katanya.

Karena dianggap kurang cocok, judulnya kemudian diubah menjadi Dara Priangan, lalu Gadis Priangan. Namun, belakangan, ia memilih Mojang Priangan, sebuah judul yang ia anggap sangat pas karena menggunakan kata yang sangat kental dengan bahasa Sunda. Lagu itu bukan hanya menjadi trademark-nya Iyar Wiarsih, tetapi sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Sunda.

MENEMPATI sebuah rumah sederhana di bilangan Padalarang, Bandung, Iyar Wiarsih yang pernah menjadi staf pengajar kepesindenan di Konservatori Karawitan Bandung (1966-1970) itu ternyata masih memperlihatkan ciri khas suara emasnya. Selama berbincang-bincang, pembicaraannya sesekali diseling dengan senandung, walau tanpa iringan gamelan.

"Juru kawih sekarang beruntung karena mereka banyak ditolong kemajuan teknologi," kata penerima penghargaan dari Menteri Penerangan (1977) dan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981) itu. Katanya, suaranya yang fals bisa ditutupi karena menggunakan audio yang modern. Sebaliknya dengan juru kawih pada zamannya. Tanpa bantuan pengeras suara, tanpa bantuan peralatan audio lainnya, setiap juru kawih akan kelihatan sekali suara aslinya.

Sayangnya, dukungan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penguasaan dalam membawakan lagu. "Juru kawih sekarang, baru bisa satu-dua lagu sudah tampil di atas panggung karena ukurannya bukan keterampilan, tetapi tampilan fisik," katanya. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah sebagai juru kawih sehingga hal ini saling berpengaruh antara nasib lagu-lagu Sunda dan apresiasi masyarakatnya.

Padahal, seorang juru kawih harus mempelajari dulu dan menguasai lagu-lagu dasar, misalnya Sekar Ageung dan lagu lainnya. Para nayaga-nya juga harus memiliki apresiasi tinggi karena mereka benar-benar sebagai nayaga. "Bukan sebagai pekerjaan sambilan," tuturnya. Dengan demikian, ketika mereka tampil, kesalahan sekecil apa pun bisa segera terasa. Seorang juru kawih juga harus bisa menangkap "keinginan" dalang, kapan ia harus menembang dan kapan harus berhenti.

Kecewa karena tidak menemukan lagi nayaga yang memenuhi harapannya, juru kawih yang mandiri itu lebih memilih menarik diri dari atas panggung. Seni Sunda benar-benar merasakan kehilangan. Apalagi setelah ia mengundurkan kegiatannya di RRI Bandung dan salah satu radio swasta. (Her Suganda)

7.6.06

Syekh Hasanuddin: pendiri pesantren pertama di Jawa Barat

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.

Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.

Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.

Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.

Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.

Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.

Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.

Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.

Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.

Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang.

Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.

Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.

Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.

Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya.

Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.

Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.

Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.

( uli/berbagai sumber )

Situs Kendan di Nagrég: jadi TPS atau Pekuburan?

Oleh PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR

AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan bangunan pengolahan sampah secara modern.

Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan, lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.

Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda), jangan sampai terulang kembali.

Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam.

Situs kepurbakalaan Kendan

Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timur-laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.

Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.

Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.

Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.

Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.

Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya.

Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.

Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan

Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.

Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.

Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.

Penerus tahta Kerajaan Kendan

Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman.

Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.

Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.

Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.

Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya.

Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.

Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.

Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Pendahulu Kerajaan Galuh

Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.

Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.

Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.

Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).

Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.

Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).

Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.

Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.

Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.

Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya.

Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan) sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut Bandung.***

Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.

1.6.06

Prof. Ekajati pupus

Tadi beurang nampa beja ti milis urangsunda@yahoogroups.com, rehna Prof. Edi S. Ekajati pupus. Innalillaahi wainna ilaihi rooji'uun. Mugi Gusti Alloh SWT nampi sagala iman islamna, sarta ngahapunten kana sagala rupi kalepatanana. Aamiin.

Asa karek kamari Mang Ayat (Prof. Ayatrohaedi) pupus, ayeuna saurang deui, muga2 nu nalungtik sajarah Sunda beuki renung...