tag:blogger.com,1999:blog-178774262024-03-08T14:02:27.442+07:00Sunda & sajabana...Kumpulan artikel atawa naon baé ngeunaan Sunda & nu lianna, disalin ti rupa-rupa média, utamana ti Internét...
Pernak-pernik Sunda & sebagainya, diambil dari berbagai sumber...
All about Sunda & any other things, retrieved from any resources...Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.comBlogger46125tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-967718122305798662017-09-08T09:19:00.002+07:002017-09-08T09:19:43.893+07:00Aktivitas Kemaritiman Masa Kerajaan Sunda<br />
<span style="font-size: x-small;">Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/2017/08/07/aktivitas-kemaritiman-masa-kerajaan-sunda/</span><br />
<br />
Oleh: Nanang Saptono<br />
Balai Arkeologi Jawa Barat<br />
<br />
Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan di Jawa Barat yang
berlangsung dari sekitar abad ke-10 hingga abad ke-16. Berdasarkan
beberapa sumber sejarah, Kerajaan Sunda merupakan penerus Kerajaan
Galuh. Kerajaan Galuh itu sendiri merupakan kelanjutan kerajaan Kendan.
Penguasa pertama kerajaan Galuh adalah Wretikandayun yang diangkat
menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan Rahiyangta ri
Medangjati. Wretikandayun diangkat menjadi raja pada 14 Suklapaksa bulan
Caitra tahun 534 Saka atau 612 M, saat berumur 21 tahun. Wretikandayun
memilih pusat pemerintahannya di daerah yang disebut Galuh. Ketika
Wretikandayun naik tahta, Galuh masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Tarumanagara. Penguasa Kerajaan Tarumanagara ketika itu adalah Sri
Maharaja Kretawarman (Iskandar Y. , 1997:107–123).<br />
<br />
Pada masa Kerajaan Tarumanagara, pusat pemerintahan diperkirakan di
kawasan pantai utara Jawa Barat. Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah
Tugu menyiratkan bahwa ibukota Kerajaan Tarumanagara berada di sekitar
Bekasi sekarang. Pada prasasti Tugu disebutkan dua sungai yaitu
Candrabhaga dan Gomati. Pada 8 paro-petang bulan Phalguna dimulai
penggalian sungai Gomati yang mengalir di lahan tempat tinggal Sang
Pendeta nenek Sang Purnawarman. Melalui studi etimologi, Poerbatjaraka
berpendapat bahwa Candrabhaga sekarang dikenal dengan nama Bekasi yang
diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanagara (Poesponegoro &
Notosusanto, 2009 a:52–53). Dugaan ini juga diperkuat dengan adanya
beberapa temuan arkeologis di kawasan Karawang-Bekasi. Temuan tersebut
adalah Arca Wisnu Cibuaya 1 dan 2 yang ditemukan di Cibuaya, Karawang;
kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang berada di pantai utara
Karawang; dan kompleks situs Buni (Djafar, 2010; Poesponegoro &
Notosusanto, 2009:56). Kompleks Buni berada di pantai utara Jawa Barat
terbentang dari Jakarta hingga Subang.
<br />
<br />
Pada masa akhir Kerajaan Tarumanagara terjadi penetrasi dari
Sriwijaya melalui Lampung. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi
Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung
oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut termuat catatan tentang <i>bhûmi jawa</i>
yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis
prasasti tersebut diduga berasal dari abad ke-7 (Boechari, 1979:19–20).
Keterangan tentang <i>bhûmi jawa</i> juga terdapat di dalam prasasti
Kota Kapur berangka tahun 608 Ś yang ditemukan di Pulau Bangka.
Pembacaan yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952) pada bagian akhir
menyebutkan “….. <i>Sriwijaya, kaliwat manapik yam bhumijawa tida bhakti ka Sriwijaya</i>”
yang artinya bahwa Sriwijaya sangat berusaha menaklukkan Bhumijawa yang
tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Yang dimaksud dengan Bhumijawa
adalah Tarumanagara (Djafar, 2010:108). Pengaruh kuat Sriwijaya terhadap
Tarumanagara tampak pada bangunan-bangunan keagamaan Budhistis di
kawasan Batujaya, Karawang. Berdasarkan temuan arkeologis di kawasan
Batujaya, percandian Batujaya dibangun dalam dua masa. Pertama, masa
Tarumanagara yang berlangsung pada abad ke-5–7 dan kedua masa pengaruh
Sriwjaya yang berlangsung pada abad ke-7–10 (Djafar, 2001:3–4).
Sementara itu, di pedalaman Jawa Barat ditemukan beberapa candi yang
diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7–8.<br />
<br />
Kondisi demikian memberikan petunjuk bahwa ketika Tarumanagara
mendapat pengaruh kuat Budhis dari Sriwijaya, masyarakat Hindu di
pedalaman mengalami perkembangan. Pusat peradaban Hindu di pedalaman
terutama berada di sekitar lereng gunung api kuarter zona Bandung.
Beberapa bangunan (dan unsur bangunan) candi yang terdapat di kawasan
itu adalah Candi Cangkuang di Garut, Candi Bojongmenje dan Bojongmas di
Bandung, serta unsur bangunan candi di Tenjolaya, Bandung
timur (Saptono, 2012:34). Selain itu di kawasan bagian barat juga
terdapat pusat-pusat peradaban Hindu. Pada abad ke-10 terdapat sumber
sejarah yaitu Prasasti Kebon Kopi II berisi tentang pulihnya kembali
kedaulatan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebon Kopi II berbahasa Melayu Kuna,
hal ini sejalan dengan Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah sehingga
menunjukkan bahwa Tarumanagara runtuh karena tekanan Sriwijaya.
Selanjutnya Sriwijaya menyerahkan kembali kekuasaan tanah Jawa
(Bhumijawa) kepada penguasa setempat yaitu Raja Sunda (Munandar,
Fahrudin, Sujai, & Rahayu, 2011:15).<br />
<br />
Selama Kerajaan Sunda berdiri, diketahui setidak-tidaknya mengalami
empat kali perpindahan pusat kerajaan yaitu di Galuh, Prahjjan Sunda,
Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Secara geografis, keempat pusat kerajaan
tersebut berada di pedalaman. Matapencaharian masyarakat Kerajaan Sunda
cenderung sebagai peladang, walaupun dijumpai pula masyarakat yang
bermatapencaharian lainnya. Menurut Geertz (1976) wilayah dengan
ekosistem perladangan masyarakatnya akan memiliki kecenderungan meniru
mekanisme alamiah. Ekosistem tersebut tidak perlu membutuhkan
keterlibatan tenaga manusia dalam proses memperoleh produk. Hasil yang
dipanen dari usaha perladangan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
penduduk setempat. Pada aspek organisasi sosial, menurut Harris (1972)
masyarakat peladang hanya berupa kelompok kecil sebagai komunitas
terpisah secara otonom dalam pemukiman-pemukiman kecil yang terpencar.
Sifat ekosistem perladangan seperti itulah yang kiranya dapat
menerangkan mengapa pusat-pusat pemerintahan sebagaimana Tarumanagara
tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007:115–116). Kelangsungan
suatu Negara memerlukan pasokan surplus barang. Biasanya kerajaan dengan
pola agraris akan susah mempertahankan kelangsungannya. Dalam
kenyataannya, Kerajaan Sunda dapat bertahan lama. Apabila berlandaskan
pada teori tersebut, terdapat permasalahan yang perlu dibahas yaitu
mengapa Kerajaan Sunda dapat bertahan lama.<b></b><br />
<b><br /></b>
<h2>
<b>Masyarakat</b><b> Kerajaan Sunda</b></h2>
<br />
Kondisi geomorfologis Kerajaan Sunda berupa pedataran bergelombang
yang memberikan kecenderungan pada masyarakat dengan pola
matapencaharian sebagai peladang. Interaksi antara manusia dengan
lingkungannya dapat mempengaruhi budayanya. Para penganut <i>environmental determinism</i> berpendapat bahwa kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Sementara itu penganut <i>environmental possibilism</i>
berpendapat bahwa faktor lingkungan tidak serta merta membentuk budaya
masyarakat tetapi membatasi kebudayaan (Iskandar J. , 2009:43–46).
Demikian halnya dengan masyarakat Kerajaan Sunda yang hidup di
lingkungan dengan geomorfologi pebukitan dan pegunungan. Antara kondisi
lingkungan dengan budaya masyarakat terjadi saling pengaruh. Lahan
pebukitan menjadikan masyarakat Sunda dekat dengan kehidupan berladang.
Meskipun demikian tidak berarti tidak ada aktivitas lain di luar
berladang.<br />
Kegiatan masyarakat Sunda yang berhubungan dengan bercocok tanam terlihat pada beberapa naskah. Naskah <i>Sanghyang Siksakandang Karesian</i>,
yaitu salah satu naskah yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda
pada sekitar abad ke-16 di antaranya berisi mengenai pedoman moral untuk
kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai ilmu yang harus dikuasai
untuk bekal kehidupan. Di dalam naskah tersebut diuraikan mengenai
berbagai profesi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda pada waktu itu,
diantaranya yaitu <i>pangalasan, peladang, panyadap, panyawah, penangkap ikan, juru selam</i>, dan lain-lain (Danasasmita, 1987:103).<br />
<br />
Prasasti masa Kerajaan Sunda yang berdasarkan keletakannya dapat
dikaitkan dengan aktivitas masyarakat pada waktu itu yaitu prasasti
Sanghyang Tapak II, prasasti Kawali, prasasti Batu Tulis, dan prasasti
Huludayeuh. Ketiga prasasti tersebut keletakannya memperlihatkan pada
ekosistem yang berbeda. Lokasi-lokasi di mana prasasti itu ditemukan,
meskipun tidak berada pada tepian sungai besar namun tetap memberikan
alternatif dalam bercocok tanam yaitu sebagai ekosistem perladangan dan
persawahan. Dengan demikian terlihat bahwa masyarakat Sunda sudah
mengenal rekayasa bercocok tanam yang sesuai dengan lingkungan
masing-masing di mana mereka bertempat tinggal (Saptono, 2013:14).
Walaupun sawah juga sudah dikenal namun ladang merupakan sistem
pertanian yang banyak dijumpai.<br />
<br />
Bukti mengenai kegiatan perladangan ini dapat dilihat dalam naskah.
Salah satu naskah yang menyinggung mengenai hal ini adalah naskah <i>Carita Parahyangan</i>. Dalam naskah <i>Carita Parahyangan</i> dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan pekerjaan di ladang. Naskah ini menyebutkan lahirnya lima orang titisan <i>Panca Kusika</i>, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandajun.<br />
<div style="padding-left: 60px;">
<span style="color: #339966;">“<i>… Sang
Mangukuhan njieun maneh pa(ng)huma, Sang Karungkalah njieun maneh
panggerek, Sang Katu(ng)maralah njieun maneh panjadap, Sang
Sandanggreba njieun maneh padagang</i>” (Atja, 1968:17)</span></div>
Terjemahannya:<br />
<div style="padding-left: 60px;">
<span style="color: #339966;">“… Sang Mangukuhan menjadi tukang <i>ngahuma</i>
(peladang), Sang Karungkalah menjadi tukang berburu (pemburu), Sang
Katungmaralah menjadi tukang sadap (pembuat gula merah dari nira enau),
Sang Sandanggreba menjadi pedagang”.</span></div>
Kutipan ini menunjukkan, bahwa <i>ngahuma</i>, berburu, dan nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang. Selain dalam naskah <i>Carita Parahyangan</i>, naskah <i>Sanghiyang Siksakandang Karesian </i>juga
menyinggung mengenai kegiatan perladangan. Dalam naskah tersebut
disinggung beberapa peralatan yang digunakan untuk bekerja di ladang,
seperti <i>kujang, patik, kored, baliung, </i>dan<i> sadap</i> (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:387–418; Danasasmita, 1987:108). Selain itu dalam naskah <i>Sanghyang Siksakandang Karesian</i>
juga diuraikan mengenai rumusan kriteria kesejahteraan masyarakat
(Danasasmita, 1987:73). Kriteria kesejahteraan masyarakat menurut naskah
<i>Sanghiyang Siksakandang Karesian </i>adalah sebagai berikut:<br />
<div style="padding-left: 60px;">
<span style="color: #339966;"><i>… Ini
pakeun urang ngretakuen bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka
pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit
kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip,
sowe waras …</i></span></div>
<i> </i>Terjemahannya:<br />
<div style="padding-left: 60px;">
<span style="color: #339966;">… Ini (jalan)
untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur
tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah.
Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang
terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat …) (Danasasmita,
1987:94).</span></div>
Berdasarkan uraian dalam naskah <i>Sanghyang Siksakandang Karesian</i>
terlihat bahwa kehidupan masyarakat Sunda bertumpu pada kegiatan
pertanian ladang. Masyarakat Sunda digolongkan sebagai sejahtera bila
tercukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Meskipun pola pertanian
ladang merupakan sumber utama kegiatan produksi pertanian, namun
kegiatan pertanian yang berupa persawahan juga sudah dikenal. Dalam
naskah, baik <i>Carita Parahyangan</i> maupun <i>Sanghyang Siksakandang Karesian</i> masing-masing hanya menyebut sedikit sekali tentang <i>panyawah</i>
ini. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan persawahan
tidak begitu populer di kalangan masyarakat Kerajaan Sunda.<br />
<br />
Salah satu cerita pantun yang menceritakan tentang kegiatan bertani huma adalah cerita pantun <i>Lutung Kasarung </i>yang
dianggap suci (Ekadjati, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran,
2005:148–149). Dalam cerita pantun tersebut diterangkan mengenai
cara-cara berladang yang baik dan benar serta cara berladang yang buruk
dan salah. Menurut cerita pantun tersebut cara berladang yang baik harus
memperhatikan pergantian musim. Penggarapan ladang sebaiknya dimulai
dan diakhiri pada musim kemarau. Sedangkan penanaman benih dan sampai
selesai pemeliharaan tanaman dilaksanakan selama musim penghujan. Dalam
naskah pantun tersebut juga diuraikan mengenai tatacara pembukaan hutan
untuk dijadikan ladang, pembuatan pupuk, cara pemanfaatan lahan, cara
membersihkan dan menjaga ladang, tatacara memanen, dan upacara yang
berhubungan dengan pemujaan kepada Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci Sanghiyang
Sri (Ekadjati, 1995:364–365). Berdasarkan keterangan dari berbagai
sumber tersebut, masyarakat Sunda pada umumnya merupakan masyarakat
peladang. Kerajaan Sunda dapat digolongkan dalam kerajaan yang
menyandarkan hidupnya pada pertanian. Bentuk pertanian yang berlangsung
di Kerajaan Sunda terutama adalah perladangan (Poesponegoro &
Notosusanto, 2009:417).<br />
<br />
Sistem organisasi sosial masyarakat peladang biasanya merupakan kelompok masyarakat sederhana (<i>tribe</i>)
yang pemukimannya terpisah dan terpencar. Pada pemukiman masyarakat
yang terpencar akan menentang munculnya wewenang terpusat. Sifat
ekosistem perladangan seperti itulah yang menyebabkan pusat-pusat
pemerintahan dan kerajaan yang mengandalkan ekonomi perladangan sebagai
tulang punggung tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007:116).
Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda dapat berkembang dan berlangsung lama
karena di samping berlandaskan pada ekonomi perladangan juga sudah
menjalankan aktivitas kemaritiman.<br />
<br />
<h2>
<b>Aktivitas Kemaritiman dan Kelangsungan Kerajaan Sunda</b></h2>
<br />
Kemaritiman dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
laut. Lebih spesifik lagi, segala sesuatu itu adalah perdagangan dan
pelayaran. Salah satu petunjuk mengenai adanya aktivitas perdagangan di
Kerajaan Sunda adalah adanya petugas <i>pangurang dasa calagra</i>
yaitu petugas pemungut pajak di pelabuhan (Poesponegoro &
Notosusanto, 2009:416). Aktivitas kemaritiman Kerajaan Sunda dalam
bentuk perdagangan dan pelayaran tidak hanya bersifat lokal (<i>insuler</i>) tetapi sudah mencapai perdagangan regional dan internasional (<i>interinsuler</i>). Dalam menunjang perdagangan <i>insuler</i> dan <i>interinsuler</i>
ini Kerajaan Sunda mempunyai beberapa kota pelabuhan yang terdapat di
pantai utara Jawa bagian barat. Masyarakat yang tinggal di pesisir
pantai melakukan perdagangan dengan masyarakat pedalaman. Masyarakat
pesisir juga sudah melakukan hubungan dagang dengan masyarakat luar.
Kapal-kapal niaga luar negeri terutama dari Cina banyak melakukan
aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Sementara
itu pedagang dalamnegeri melakukan pelayaran dagang hingga ke Malaka.
Untuk mencapai Malaka digunakan <i>lanchara</i> kargo berdaya angkut 150 ton. Di Kerajaan Sunda terdapat lebih dari 6 jung dan <i>lanchara-lanchara</i> dengan tiang berbentuk bangau dan dilengkapi anak tangga sehingga mudah dikemudikan.<br />
<br />
Selain kota-kota yang berada di pesisir, menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu <i>Chiamo, Xacatra </i>atau <i>Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, </i>dan <i>Bantam</i> (Djajadiningrat, 1983:83). Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa <i>Çumda</i> mempunyai enam pelabuhan yaitu <i>Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, </i>dan <i>Chemano (Cotesao, 1967:166)</i>.
Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam
pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat,
sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada
selain ucapannya ialah bahwa <i>Calapa</i> yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya <i>Xacatra</i> atau <i>Caravam (Saptono, 1998:241).</i><br />
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). <i>Bantam</i>
merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini
perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa.
Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. <i>Pomdam</i> juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (<i>junk</i>) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. <i>Cheguide</i>
merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini
merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang,
Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras,
buah-buahan, lada, dan bahan makanan. <i>Tamgaram</i> juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. <i>Calapa</i>
merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan
terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu
hingga Sumatra, Palembang, <i>Laue,</i> <i>Tamjompura,</i> Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. <i>Chemano</i>
merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat
berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan
yang dijalin hingga seluruh Jawa.<br />
<br />
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas
tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada
komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua
komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda
selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja
(budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita. Ketersediaan
tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa.
Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh
hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang
terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 <i>mate</i>, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).<br />
<br />
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu
yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires,
aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar
kota pelabuhan. Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu
ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu
berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m
menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak
begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).<br />
<br />
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan
jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di
Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan
pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke
arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju
Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari
Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus
ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan
ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan
dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung
menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali.
Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke
Rangkasbitung dan berakhir di Banten. Satu jalur lagi dari Pakwan
Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian
dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan
menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang
komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan
(diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di
pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).<br />
<br />
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada
dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor
perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan
akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda
bertahan pada kurun waktu antara abad ke-10 hingga ke-17. Bertahan
lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa
perdagangan <i>insuler</i> dan <i>interinsuler</i>. Kerajaan Sunda
merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat
barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang
komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging
(babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas.
Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan
akar-akaran. Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa
pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan
dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas,
Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi
dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan,
dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di
pedalaman melalui jaringan jalan darat.<br />
<br />
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang
sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya.
Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan
sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu
sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar,
serta terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk
pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi
pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat
atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui
sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke
pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai
kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat
sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji
barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota
lainnya (Nurhadi, 1995:87).<br />
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang
tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus
berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai
pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada
tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale,
1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa
faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. Salah
satu contoh misalnya yang terjadi pada pelabuhan Cheguide. Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis berpotensi munculnya ancaman orang-orang Islam
di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Pada 1512 Kerajaan Sunda menjalin
hubungan dengan Portugis (Graaf & Pigeaud, 1985:146–147).<br />
<br />
Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam
meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada 1522
pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge
d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk
mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah
Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:394).<br />
<br />
Perjanjian berlangsung pada 21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada
intinya raja Sunda memberikan ijin kepada Portugis untuk membangun
benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya sebagai penukar
barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan raja
Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis
membangun benteng (Djajadiningrat, 1983:79–80). Dalam perjanjian itu
pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi
oleh tiga orang menteri yaitu <i>Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate, </i>dan <i>Bengar.</i>
Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan
di Banten dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di
Cidigy atau Cheguide. Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran
dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya
antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. Akhirnya Guillot menarik
hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan <i>padrao</i> sebagai
tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi
Kali Kramat sekarang. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de
Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai.
Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di
pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang
oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota
itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998:246–248).<br />
<br />
Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa.
Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Islam. Kondisi
seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir
dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda
satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat
bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).<br />
<br />
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga
disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk
(Indramayu). Pengkajian terhadap sedimentasi yang terjadi di sekitar Ci
Manuk, khususnya daerah delta, sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli
misalnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PPPGL, 2016).
Ci Manuk merupakan gabungan dari anak-anak sungai yang lebih kecil,
yaitu Ci Lutung, Ci Pelas dan Ci Keruh. Ketiga anak sungai Ci Manuk
tersebut mengalir pada daerah-daerah endapan volkanik muda berumur
Kuarter. Debit air Ci Manuk mencapai 1200 m<sup>3</sup>/detik di kala musim hujan, yaitu pada bulan Oktober hingga Maret. Pada musim kering debit sungai ini hanya mencapai 5 m<sup>3</sup>/detik.
Dengan debit sungai yang sedemikian besar, di kala musim hujan,
mengakibatkan alur sungai yang ada tidak mampu menampung jumlah air
sungai, air akan meluap keluar menggenangi lingkungan sekitar. Dalam
situasi tersebut kecepatan aliran air luapan (banjir) Ci Manuk akan
mengalami penurunan karena terhambat oleh berbagai pematang-pematang,
arus dan gelombang laut.<br />
<br />
Kadar lumpur air Ci Manuk tergolong tinggi yaitu rata-rata 2.850
mg/liter, sementara kadar maksimum adalah 8.840 mg/liter, karena
memiliki kadar lumpur yang cukup tinggi maka pertumbuhan daratan baru (<i>akrasi</i>)
di kawasan muara berlangsung dengan kecepatan kurang lebih 200
meter/tahun. Dua faktor penting yang mempengaruhi dinamika alur Ci Manuk
yaitu perubahan yang drastis debit sungai dan kandungan lumpur yang
cukup tinggi. Ci Lutung sebagai salah satu anak sungai Ci Manuk juga
mempunyai arti penting, sungai ini juga memiliki kadar lumpur lebih dari
2.850 mg/liter. Dari kandungan lumpur yang demikian tinggi tersebut
ditambah dengan kandungan lumpur Ci Manuk dapat mencapai 27 juta
ton/tahun. Akibatnya kawasan muara Ci Manuk akan mengalami proses
pendangkalan (<i>akrasi</i>) yang sangat luas dan cepat. Material
sedimen terangkut aliran Ci Manuk memiliki beragam ukuran butir, gosong
pasir terkadang terbentuk pada tengah alur sungai (<i>mid stream bar</i>)
yang terdiri dari pasir ukuran sedang. Pembentukan gosong pasir
tersebut dapat menghambat dan menyumbat aliran alur-alur sungai
mengakibatkan proses pengendapan tidak seimbang antara satu alur dengan
alur-alur lainnya. Pendangkalan yang sangat intens menyebabkan pelabuhan
Indramayu tidak dapat berfungsi.<br />
<br />
<h2>
<b>Simpulan</b></h2>
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan di Jawa Barat yang eksis berdiri
pada kurun abad ke-10 hingga ke-16. Kerajaan Sunda dapat dikatakan
sebagai pengganti Kerajaan Tarumanagara. Pusat pemerintahan Kerajaan
Sunda berpindah-pindah yang semuanya berada di pedalaman yaitu di
sekitar Ciamis dan Bogor. Sesuai dengan kondisi geomorfologi wilayahnya,
pola mata pencaharian masyarakat Sunda mayoritas sebagai peladang.
Sebagai masyarakat peladang, pemukimannya cenderung berupa pemukiman
kecil (<i>tribe</i>) yang berpindah-pindah. Suatu kerajaan dengan pola
semacam ini akan sulit berkembang dan bertahan. Dalam kenyataannya
Kerajaan Sunda dapat bertahan hingga sekitar 600 tahun. Hal ini ternyata
ditunjang aktivitas kemaritiman.<br />
<br />
Dalam menjalankan aktivitas kemaritiman, Kerajaan Sunda didukung oleh
adanya enam pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa
bagian barat. Dengan adanya pelabuhan tersebut, terjadi hubungan dagang
secara <i>insuler</i> dan <i>interinsuler</i>. Perdagangan <i>insuler</i>
terjadi antara kawasan pedalaman dengan pesisir dan antar kota
pelabuhan di Pulau Jawa. Hubungan dagang antara kawasan pesisir dengan
pedalaman ditunjang oleh adanya jaringan jalan yang menghubungkan antara
pusat pemerintahan dengan beberapa permukiman baik di pedalaman maupun
di pesisir. Perdagangan interinsuler terjalin dengan beberapa daerah di
Sumatera, Sulawesi, Malaka, Maladewa, dan Cina. Barang komoditas utama
Kerajaan Sunda adalah lada, beras, dan bahan makanan. Barang komoditas
dari luar antara lain tekstil, akar-akaran, dan tenaga kerja (budak).
Perebutan kota-kota pelabuhan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di
pesisir menjadikan pusat kerajaan terisolir. Kemunduran fungsi kota
pelabuhan juga disebabkan faktor alam berupa pendangkalan. Dengan
semakin terbatasnya aktivitas kemaritiman yang dilakukan Kerajaan Sunda
menjadikan mengalami keruntuhan.<br />
<br />
<i>Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.</i><br />
<br />
<h3>
<b>Daftar Pustaka</b></h3>
Atja. (1968). <i>Tjarita Parahijangan Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 Masehi.</i> Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.<br />
Boechari. (1979). An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong). <i>Praseminar Penelitian Sriwijaya</i> (hlm. 19–42). Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.<br />
Cotesao, A. (1967). <i>The Suma Oiental of Tome Pires.</i> Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.<br />
Danasasmita, S. (1987). <i>Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan.</i> Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Budaya Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />
Djafar, H. (2001). Percandian di Situs Batujaya, Karawang: Kajian Arsitektural, Kronologi, dan Sistemnya. <i>Semiloka Potensi dan Prospek Situs Percandian Batujaya Karawang, Jawa barat.</i> Depok: Universitas Indonesia.<br />
Djafar, H. (2010). <i>Kompleks Percandian Batujaya.</i> Bandung: Kiblat.<br />
Djajadiningrat, H. (1983). <i>Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.</i> Jakarta: Djambatan.<br />
Ekadjati, E. S. (1995). Carita Pantun Lutung Kasarung: Eksistensi,
Fungsi, dan Pandangan Msyarakat Sunda Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam <i>Kirana.</i> Jakarta: Intermasa.<br />
Ekadjati, E. S. (2005). <i>Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran.</i> Bandung: Pustaka Jaya.<br />
Graaf, H.J. de, & Pigeaud, T. (1985). <i>Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram.</i> Jakarta: Grafitipers.<br />
Guillot, C. (1992). Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522. <i>Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13</i>.<br />
Iskandar, J. (2009). <i>Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.</i> Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran.<br />
Iskandar, Y. (1997). <i>Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).</i> Bandung: Geger Sunten.<br />
Michrob, H. (1992). <i>Temuan Perahu Kuno Tradisi Jawa Barat di Kabupaten Indramayu.</i> Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.<br />
Munandar, A. A., Fahrudin, D., Sujai, A., & Rahayu, A. (2011). <i>Bangunan Suci Sunda Kuna.</i> Jakarta: Wedatama Widya Sastra.<br />
Nurhadi. (1995). Pasang Naik dan Surut Kota-kota Pantai Utara Jawa, Sebuah Model Kajian. <i>Berkala Arkeologi Tahun XV-Edisi Khusus</i>, 87–91.<br />
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009 a). <i>Sejarah Nasional Indonesia III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.</i> Jakarta: Balai Pustaka.<br />
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009). <i>Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno.</i> Jakarta: Balai Pustaka.<br />
PPPGL. (2016, Maret 4). <i>Proses Pertumbuhan Delta Baru Sungai Cimanuk Hingga Tahun 2002, di Pantai Timur Kabupaten Indramayu</i>.
Dipetik Juni 17, 2017, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Kelautan:
http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten<br />
Rahardjo, S. (2007). <i>Kota-kota Prakolonial Indonesia. Pertumbuhan dan Keruntuhan.</i> Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.<br />
Saptono, N. (1998). Cheguide. Dalam T. Djubiantono, L. Yondri, Y. Arbi, & N. Saptono, <i>Dinamika Budaya Asia Tenggara-Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah</i> (hlm. 241–250). Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat.<br />
Saptono, N. (2012). Penelitian Puncak-puncak Peradaban di Pantai Utara Jawa Barat dan Proses Perjalanan Masyarakat Hindu. <i>Kalpataru 21(1)</i>, 30–38.<br />
Saptono, N. (2013). Rekayasa Untuk Menghasilkan Pangan Pada Masyarakat Kerajaan Sunda Abad ke-14–16. Dalam A. A. Munandar, <i>Widyadwara: Kajian Arkeologis Pangan dan Papan Warisan Leluhur</i> (hlm. 1–18). Bandung: Alqa Print.<br />
Stockdale, J. J. (1995). <i>Island of Java.</i> Singapore: Periplus Editions Ltd.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-82746161275026778782017-06-12T08:52:00.000+07:002017-06-12T08:52:01.832+07:00Pesantren As-Salafiyah Cetak Tafsir Berbahasa Sunda<div class="date-detail">
Sumber: <a href="http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/08/24/71513-pesantren-assalafiyah-cetak-tafsir-berbahasa-sunda">Republika Online (Selasa , 25 August 2009, 04:49 WIB)</a></div>
<div class="date-detail">
</div>
SUKABUMI--Pondok Pesantren (Ponpes) As-Salafiyah, Sukabumi
mencetak tafsir kitab dengan menggunakan Bahasa Sunda. Isi dari kitab
tersebut bermacam-macam seperti tafsir fiqih, tauhid, nasharab dan
lain-lain yang saat ini jumlah kitabnya mencapai 168 kitab yang sudah
ditafsirkan ke dalam bahasa Sunda.<br /><div class="detail-berita">
<div class="content-detail">
<br />Pimpinan Ponpes As-Salafiyah,
KH Ahmad Makky di Suabumi, Senin, mengatakan, ide mentafsirkan
kitab-kitab yang berasal dari Kairo-Mesir ini sejak tahun 1988 lalu.<br />Awalnya
ia hanya mencetak tiga tafsir dalam bahasa sunda saja. Tetapi, setelah
diterbitkan, tafsir tersebut ternyata banyak peminatnya.<br /><br />"Ide itu
muncul untuk mempermudah para santrinya untuk mempelajari pelajaran
Agama Islam lewat tafsir yang saya buat," kata Ahmad Makky.<br /><br />Ia
menjelaskan, pentafsiran yang dilakukannya tidak semudah membalikan
telapak-tangan. Ia harus berlajar dari satu pesantren ke pesantren
lainnya hanya untuk bisa mentafsirkan kitab-kitab tersebut.<br /><br />Setelah
ilmunya cukup dan daya hapalnya kuat, Ahmad Makky mengatakan, mencoba
mentafsirkan beberapa kitab dan ternyata bisa diterima oleh
pesantren-pesantren lainnya.<br /><br />"Ilmu yang saya punya ini saya
gunakan untuk kepentingan umum, sehingga ilmu yang saya punya dapat
bermanfaat," jelas Ahmad Makky.<br /><br />Ahmad menuturkan, saat ini
pihaknya sudah mentafsirkan 168 jenis kitab ke dalam Bahasa Sunda dan
Bahas Melayu. Dan peredaran tafsir tersebut sudah sampai ke luar negeri,
yakni sampai ke Negeri Timur-Tengah.<br /><br />Selain itu, peredaran
tafsir ini di Indonesia juga sampai ke pelosok. "Hanya kami yang
mentafsirkan ke dalam Bahasa Sunda," tuturnya.<br /><br />Belum lama ini,
pihaknya mendapatkan penghargaan dari Rancage- Jawa Barat karena telah
berdedikasi kepada kebudayaan Bahasa Sunda untuk terus memakmurkan
kebudayaan asli dari Jawa Barat itu.<br /><br />Selain itu, pada Bulan
Ramadhan ini pihaknya banyak mendapatkan order dari pesantren-pesantren
lain yang minta dibuatkan tafsir kita-kitab buatannya. "Kami sudah
banyak menerima penghargaan, dan saat ini kami sedang banyak peminat
kitab kami," kata Ahmad Makky. ant/ahi</div>
</div>
Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-80367597162907244802017-06-11T13:19:00.001+07:002017-06-11T13:19:27.466+07:00Makam Putri Kerajaan Pajajaran, Dyah Pitaloka di Dukuh Maja?<span style="background-color: white; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px;">Sejak dulu, Luragung dikenal sebagai cikal bakal Kerajaan Kuningan atau Kajenen. Di wilayah ini banyak ditemukan peninggalan bersejaran seperti punden berundak, pecahan gerabah dan sebuah makam yang dipercaya sebagai makam Dyah Pitaloka, putri Kerajaan Pajajaran yang memilih bunuh diri ketimbang menjadi upeti bagi Kerajaan Majapahit. Warga Luragung percaya, jika makam besar yang ada di Desa Dukuh Maja adalah makam putri kerajaan Pajajaran.</span><br />
<span style="background-color: white; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px;"><br /></span>
<strong style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px;">BANYAK</strong><span style="background-color: white; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px;"> benda peningggalan sejarah pra sejarah dan kerajaan masa Islam ditemukan oleh tim eksvakasi dari Balai Arkelogi Bandung. Ini dibuktikan dengan temuan punden berundak, menhir dan sejumlah makam di beberapa lokasi di wilayah Luragung.</span><br />
<span style="background-color: white; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px;"><br /></span>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Para arkeolog itu menyusuri wilayah yang diduga menyimpan benda peninggalan pra sejarah. Menurut staf Kecamatan Luragung, Suhartono, tim melakukan eksvakasi di wilayah yang diduga peninggalan zaman megalitikum dan zaman Islam.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Tim mendatangi pemakaman umum desa di Desa Dukuh Maja yang letaknya lumayan jauh dari pemukiman penduduk. Ada dua lokasi pemakaman di desa tersebut dan salahsatunya terbilang purba. Di pemakaman purba itu ada sebuah makam besar yang dipercaya warga Dukuh Maja sebagai makam putri Kerajaan Pajajaran, Dyah Pitaloka.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Dyah Pitaloka sendiri tewas setelah bunuh diri ketika terjadi perang Bubat saat zaman Majapahit. Mayatnya kemudian dibawa pasukan Pajajaran yang selamat melewati Luragung.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Namun karena sudah mengeluarkan aroma tidak sedap, akhirnya jasad putri yang mempertahankan harga dirinya ketimbang menjadi upeti bagi Raja Hayam Wuruk itu dimakamkan di sebuah hutan Dukuh Maja. “Kami percaya kalau makam besar di Dukuh Maja itu adalah makam Dyah Pitaloka yang bunuh diri saat perang Bubat. Cerita ini kami dapatkan secara turun temurun sejak zaman dulu. Dan kami mempercayau kalau hutan Bubat lokasinya tidak jauh dari Luragung,” papar Suhartono kepada <i style="box-sizing: border-box;">Radar</i>.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Warga Dukuh Maja sendiri sangat percaya jika makam besar di desanya itu adalah makam Dyah Pitaloka. Kendati tidak ada bukti atau literatur tertulis, dugaan itu bisa saja benar. Apalagi zaman dulu Luragung masih hutan belukar. “Kata orang tua kami, makam Dyah Pitaloka itu di sini. Di pemakaman ini juga ada nama Buyut Pakuan. Nama ini sudah ada sejak kami belum lahir. Jadi, kami sangat percaya kalau putri kerajaan Pajajaran yang tewas di lapangan Bubat itu dimakamkan di sini,” tutur sejumlah warga Dukuh Maja.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Namun klaim warga itu belum mendapatkan pembenaran dari para arkeolog yang melakukan penelitian di Luragung. Para arkeolog yang datang baru meneliti benda-benda yang diduga peninggalan masa lalu seperti batu menhir, penuden berundak dan pecahan gerabah atau keramik. “Belum meneliti yang lain termasuk juga dugaan makam kuno di Desa Dukuh Maja,” katanya.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Melihat banyaknya benda purbakala yang ditemukan di wilayah Kecamatan Luragung, bisa jadi kawasan ini dulunya adalah kota tua atau sebuah kerajaan. Menurut Dra Evi Latipundiah, timnya melakukan penelitian setelah sebelumnya mendapat laporan tentang banyaknya benda purbakala yang ditemukan warga. Untuk memudahkan penelitian, pihaknya membagi dua tim. Di Cigedang dan beberapa desa lainnya pihaknya menemukan pecahan keramik dan gerabah dan juga makam penyebar Islam. Penemuan serupa juga ditemukan di Dukuh Maja. Lokasinya jauh dari pemukiman penduduk berupa pecahan keramik atau gerabah.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Namun Evi belum bisa memastikan apakah benda temuannya ini berasal dari zaman pra sejarah atau masa Hindu/Budha. Sebab untuk memastikannya memerlukan penelitian lebih lanjut. Tapi melihat cirri-ciri yang ada, dia berasumsi kalau punden berundak dan altar batu itu peninggalan zaman Megalitikum.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
“Perlu penelitian lebih dalam. Mungkin saja eksvakasi lebih besar dilakukan, seandainya kami menemukan benda-benda pra sejarah lainnya,” ujarnya. <strong style="box-sizing: border-box;">(*)</strong></div>
<div style="background-color: white; box-sizing: border-box; color: #222222; font-family: Verdana, Geneva, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 26px; margin-bottom: 26px; word-wrap: break-word;">
Sumber: <span style="font-size: 24.7653px;">http://www.radarcirebon.com/makam-putri-kerajaan-pajajaran-dyah-pitaloka-di-dukuh-maja.html</span></div>
<div>
<span style="font-size: 24.7653px;"><br /></span></div>
Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-10638450835503529372016-02-09T18:21:00.002+07:002016-02-09T18:21:36.856+07:00Bahasa Sunda terus tergerusTi <a href="http://www.antaranews.com/berita/392249/bahasa-sunda-terus-tergerus">Antaranews.com</a> <br />
Minggu, 25 Agustus 2013<br />
<br />
Bandung (ANTARA News) - Peneliti Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (BBPJB) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Ade Mulyanah menyebutkan hanya 40 persen anak Jawa Barat yang mengetahui dan mampu berbahasa Sunda.<br /><br />"Persentase itu didapat dari anak yang kedua orang tuanya asli orang Sunda, bayangkan bagaiman dengan orang tua yang bukan asli Sunda," kata Ade Mulyanah saat menghadiri final pemilihan duta bahasa Jawa Barat di The Hotel Majesty Bandung, Minggu.<br /><br />Menurut Ade, pengguna Bahasa Sunda terancam terus menurun, khususnya di kalangan generasi muda karena warga Jawa Barat mulai tidak terbiasa menggunakan bahasa daerah.<br /><br />Ade menyebutkan dua hal yang menyebutkan bahasa daerah terancam punah yakni karena dibiarkan punah dan tidak sengaja dibiarkan karena dianggap tidak penting.<br /><br />"Mereka takut dengan bahasa daerah sendiri, karena mereka menganggap bahasa asing adalah trend setter (pencipta kecenderungan), padahal tidak demikian juga," katanya.<br /><br />Saat ini BBPJB sedang menggalakkan cinta bahasa daerah sendiri, dengan mensosialisasikan penggunaan bahasa daerah dan Bahasa Indonesia ke sekolah-sekolah lewat slogan "Bahasa daerah itu pasti Bahasa Indonesia itu wajib, Bahasa asing itu perlu".<br /><br />Editor: Jafar M Sidik<br /><br />COPYRIGHT © ANTARA 2013Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-11298974319837713182016-02-05T18:20:00.002+07:002016-02-05T18:20:59.258+07:00Islam Bersemi di Tatar Sunda (3-Habis)Ti <a href="http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/06/02/n6j56j-islam-bersemi-di-tatar-sunda-3habis" target="_blank">Republika</a> > Khazanah > Dunia Islam<br />Medal 02 Juni 2014<br />
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar<br />
<br />REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1513 M, Islam dikabarkan sudah meluas hingga ke Indramayu. Laksamana Cheng Ho yang juga seorang Muslim, juga sempat singgah di kota berpenduduk Islam di Cirebon pada abad ke-15 atau 16 M.<br /><br />Mengutip penjabaran Carita Purwaka Caruban Nagari (Sejarah Mula Jadi Cirebon) pada 1972 oleh Atja, Mumuh menuliskan Syekh Datuk Kahfi menyarankan Walangsungsang dan Lara Santang untuk berhaji. Di Tanah Suci, Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Nyai Lara Santang mendapat gelar Syarifah Mudaim. Dari pernikahan mereka lahir Syarif Hidayat pada 1448 M. Syarif Hidayat kelak menjadi salah satu wali dari Wali Songo.<br /><br />Rute<br />Islam menyebar ke sekeliling ibu kota Kerajaan Sunda yang ketika itu berpusat di Kota Pakuan (kini Bogor). Pada 1579 M, barulah pasukan Kerajaan Banten masuk dan menaklukkan Pakuan dari arah barat.<br /><br />Secara garis besar, akademisi Universitas Padjadjaran Edi S Ekadjati dalam "Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat" memetakan penyebaran Islam di Jawa Barat ke dalam enam rute:<br />- Cirebon - Kuningan - Talaga - Ciamis.<br />- Cirebon - Kadipaten - Majalengka - Darmaraja - Garut.<br />- Cirebon - Sumedang - Bandung.<br />- Cirebon - Talaga - Sagalaherang - Cianjur.<br />- Banten - Jakarta - Bogor - Sukabumi.<br />- Banten - Banten Selatan - Bogor - Sukabumi.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-26733930862875101992016-02-05T18:18:00.001+07:002016-02-05T18:23:13.846+07:00Islam Bersemi di Tatar Sunda (2)Ti <a href="http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/06/02/n6j540-islam-bersemi-di-tatar-sunda-2" target="_blank">Republika</a> > Khazanah > Dunia Islam<br />
Medal 02 Juni 2014<br />
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam "Penyebaran Islam di Jawa Barat", Mumuh Muchsin Z menulis dari sumber lokal diketahui orang yang per tama memeluk Islam di wilayah Sunda adalah Haji Purwa pada 1337 M. Haji Purwa adalah putra Kuda Lalean. Ia masuk Islam melalui interaksi dengan pedagang Arab.<br />
<br />
Saat pulang ke Kerajaan Galuh (wi la yah Ciamis sekarang), ia berupaya mengajak adiknya untuk masuk Islam. Namun, tidak berhasil. Ia lalu memilih menetap di Cirebon. Haji Purwa itu iden tik dengan Syekh Maulana Saifud din. Mumuh mengemukakan, Haji Pur wa menjadi orang Islam per ta ma yang menetap di Cire bon yang saat itu dipim pin Juru Labuan Ki Gendeng Kasmaya. Ki Gendeng Kasmaya lalu digantikan Ki Gendeng Sedangkasih, lalu Ki Gendeng Tapa.<br />
<br />
Selain Haji Purwa, orang Islam juga masuk melalui para ulama dari Campa yang sudah lebih dulu disentuh Islam pada abad ke-11. Dalam Carita Pur waka Caruban Nagari, disebut Dukuh Pasambangan didatangi guru-guru Islam, salah satunya dari Campa, Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik. Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di Quro, Karawang.<br />
<br />
Juru Labuan Cirebon kala itu, Ki Gendeng Tapa, mengirim anaknya, Nyi Subang Larang, untuk mempelajari Islam kepad Syekh Quro. Pada 1422 M, Nyi Subang Larang dinikahi dan menjadi salah satu istri Prabu Sili wangi, raja Pajajaran. Kala itu, Cirebon menjadi wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.<br />
<br />
Nyi Subang Larang dan Prabu Siliwangi memiliki anak, Pangeran Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Pangeran Kean Santang. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang sempat berguru pada Ki Gendeng Jumajan Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati menerima utusan Raja Parsi, Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, di Pasambangan. Ia diterima dengan baik oleh Ki Gendeng Jumajan Jati.<br />
<br />
Syekh Datuk Kahfi lalu diperbolehkan mendirikan pondok di Bukit Am paran Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati meminta Walangsungsang (Cakrabuana) bersama istrinya, Edang Ayu, serta adiknya, Lara Santang, untuk berguru pada Syekh Datuk Kahfi. Walangsungsang lalu digelari Samdullah.<br />
<br />
Atas petunjuk gurunya, mereka membuka sebuah wilayah yang awalnya tegal alang-alang pesisir yang lalu menjadi desa yang dikepalai seorang kuwu. Desa ini dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Para pedagang di Muara Jari dan Dukuh Pasambangan kemudian pindah ke Pelabuhan Caru ban.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-29513251943500508732016-02-05T18:16:00.000+07:002016-02-05T18:23:23.803+07:00Islam Bersemi di Tatar Sunda (1)Ti <a href="http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/06/02/n6j4yv-islam-bersemi-di-tatar-sunda-1" target="_blank">Republika</a> > Khazanah > Dunia Islam (medal 02 Juni 2014)<br />
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, Tanah Sunda yang kini Jawa Barat menjadi bagian penting sejarah Nusantara dengan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara. Jawa Barat juga memiliki kerajaan besar yang sejajar dengan Majapahit, Kerajaan Pajajaran. Islam masuk dan bersatu dengan ke hidupan masyarakat mengganti kepercayaan SangHyang sehingga masyarakat Sunda saat ini identik dengan Islam.<br />
Tiar Anwar Bachtiar dalam artikel nya, "Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan", menulis jika membicarakan Islam di Tatar Sunda, wilayah yang dimaksud adalah wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.<br />
<br />
Pengaruh historiografi kolonial membuat sejarah penyebaran Islam di wilayah Sunda selalu dibenturkan dengan adat istiadat. Islamisasi di wilayah Sunda lebih merupakan proses pendekatan budaya.<br />
<br />
Jika terjadi perang, misalnya, antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Sunda, Tiar memandang karena kepentingan politik dibanding mempertahankan budaya. Masyarakat Sunda sendiri meme luk Islam dengan wajar tanpa kekerasan.<br />
<br />
Mengutip Nina Herlina dkk dalam "Sejarah Tatar Sunda", Tiar menyebut orang Islam pertama di wilayah Sunda adalah Haji Purwa atau Bratalegawa. Ia merupakan putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh kala itu. Ia memilih menjadi saudagar yang berdagang lintas negara. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah, ia lalu menjadi Muslim dan digelari Haji Baharudin.<br />
<br />
Kota-kota pelabuhan, seperti Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa, menjadi bagian penting masuknya Islam pada masa Kerajaan Sunda. Ketiganya menjadi akses interaksi perdagangan dengan berbagai negara, termasuk Cina, Arab, dan India.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-37703911515501479012016-02-05T18:08:00.000+07:002016-02-05T18:08:04.693+07:00Inilah Faktor Suksesnya Islamisasi Tanah SundaTi <a href="http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/04/07/nmer63-inilah-faktor-suksesnya-islamisasi-tanah-sunda" target="_blank">Republika > Khazanah > Dunia Islam</a> (medal 07 April 2015)<br />
<br />REPUBLIKA.CO.ID, Mengutip Aditya Gunawan dalam tulisannya yang bertajuk ‘Naskah-naskah Islam Sunda Kuna’, akulturasi budaya Islam dan Sunda kuno menjadi faktor penting mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Sunda kuno ketika itu.<br /><br />Aditya mendasari kesimpulannya itu kepada puluhan naskah Sunda Kuna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI), terdapat beberapa di antaranya berisi teks-teks keislaman yang, meski jumlahnya tidak banyak, penting untuk dikaji. Teks “Carita Waruga Guru” (CWG) yang diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913) adalah salah satu contohnya. Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai memperkaya bahasa Sunda Kuna dalam teks, seperti istilah kitab yang menggantikan istilah apus.<br /><br />Pola penyebaran Islam di Tanah Sunda selaras dengan islamisasi yang berlaku di Jawa secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan ialah cara-cara damai dan persuasif. Kebudayaan dan keyakinan pra-Islam, seperti Sunda Wiwitan, dikikis secara perlahan dan tanpa ada faktor pemaksaan.<br /><br />Dadan Wildan dalam ‘Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda’ membuktikan, islamisasi yang gencar di Tanah Pasundan ketika itu, tidak memaksakan komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Mereka tetap bertahan dengan ajaran warisan leluhurnya, yakni Sunda Wiwitan.<br /><br />Meski demikian, ia juga sepakat bahwa pendekatan akulturasi budaya sangat kental dalam proses awal dakwah Islam di Jawa Barat. Ini antara lain misalnya, tampak dari penamaan bulan. Nama-nama bulan itu, dalam tradisi Sunda, sebagian mengadaptasi sistem penamaan dalam kalender Hijriyah.<br /><br />Sura untuk Muharram, Sapar atau Shafar, Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).<br /><br />Masih menurut Dadan, mengutip Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”, sikap dan karakter keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat jawa pada umumnya, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh watak dasar mereka yang lentur terhadap agama luar. Meski animisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban nusantara, hal itu tidak membuat mereka antipati terhadap keyakinan baru.<br /><br />Dan, kecenderungan yang berlaku, keyakinan anyar yang datang belakangan itu, dibuat sedemikian rupa, agar khas dan sesuai dengan ‘selera’ lokal. Islamisasi dengan pola ‘adaptasi’ ini, juga terlihat jelas dari penggunaan media seni sebagai alat efektif menyampaikan dakwah, terlebih pada zaman itu, keberadaan dai tak seramai sekarang. Musik atau ritual keagamaan, menjadi jurus jitu untuk mendekatkan mereka denga Islam. Dan, faktanya pola ini berhasil.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-26314716125604519532016-01-28T18:10:00.001+07:002016-01-28T18:10:35.617+07:0010.000 Tahun Lalu, Manusia Masih Hidup dalam Goati <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=63&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a>, 27 Januari 2016<br /><br />Arkeolog dari Balai Arkelogi (Balar) Bandung Luthfi Yondri menilai temuan situs peradaban masa lalu di Gunung Padang hanyalah berupa punden berundak atau sebuah peninggalan peradaban akhir masa prasejarah (paleo metalik).<br /><br />Sehingga dia menyangsikan hipotesis penelitian yang menyebutkan adanya jejak peradaban berusia lebih dari 10.000 tahun. Untuk membuktikan jejak budaya masa lalu, Luthfi sebenarnya telah melakukan penelitian sejak 1996-1997, penelitian itu juga, kemudian dilakukan dengan proses eksavasi di 2002 dan 2003. “Saya juga sempat ambil sampel untuk uji lab pada batu di Gunung Padang, tak ada data yang menyebutkan ada jejak peradaban berusia 11.000 tahun lebih di Nusantara,” tuturnya.<br /><br />Tentang pola kehidupannnya manusia masa lalu di Gunung Padang, Luthfi mengatakan masyarakat saat itu juga sudah mengenal budaya pengagungan arwah leluhur, seperti peninggalan situs punden berundak yang berada di puncak Gunung Padang. Umumnya pada era itu, tempat atau bukit tinggi dijadikan lokasi pelaksanaan upacara pemujaan.<br /><br />“Budaya pengagungan leluhur seperti itu memang diusung masyarakat saat itu, mereka berkeyakinan pegunungan atau bukit-bukit tinggi menjadi tempat bersemayamnya arwah leluhur. Dan itulah jejak peradaban masa lalu yang ada di Gunung Padang,” lanjut Luthfi. Untuk itu, Luthfi menyangsikan hasil temuan baru beberapa tahun lalu, dimana tim peneliti meyakini adanya peradaban tua yang terkubur di bawah Gunung Padang.<br /><br />Bahkan untuk memverifikasi dugaan tersebut, Luthfi telah melakukan kajian perkembangan kebudayaan yang pernah ada di Nusantara. Dari kajiannya mustahil ditemukan peradaban tua berusia lebih dari 10.000 tahun lalu, karena pada masa itu manusia masih tinggal di gua (hingga akhir angka 4.000 tahun lalu).<br /><br />“Dari data yang saya dapat selama ini, tidak ada satu pun yang menyebutkan adanya jejak peradaban pada 10.000 tahun lalu,” tambahnya. Luthfi juga membenarkan pendapat Sutikno yang telah meninjau masa lalu Gunung Padang dari kajian geologi. Menurutnya, situs Gunung Padang merupakan struktur bangunan yang dibangun manusia dengan menggunakan bebatuan alam gu - nung purba.<br /><br />“Gu nung Padang adalah sisa gunung purba yang meletus jutaan tahun lalu. Lalu beribu tahun kemudian datanglah budaya, dimana manusia saat itu membuat sebuah struktur (punden berundak) yang dibuat dari sisa gunung api purba ,” tuturnya. Pendapatnya tersebut diperkuat catatan longsor terakhir Gunung Padang sekitar 5300 SM, kemudian jejak peradaban terakhir di Gunung Padang yang berkisar 16 SM.<br /><br />Luthfi mengatakan, meski pada jutaan tahun lalu telah terjadi bencana purba, namun dia menegaskan masa purba itu tak disertai dengan adanya peradaban. “Peradaban masa lalu yang ada di Gunung Padang hanyalah berupa punden berundak, itulah bangunan masa lalu yang ada,” ujarnya.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-35720874688043063902016-01-28T18:08:00.002+07:002016-01-28T18:08:50.727+07:00Antara Mitos, Mistis, & Nilai Filosofisti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=66&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a> 27 Januari 2016<br />
<br /><i>Sampurasun..... Amit ampun nya paralun, ka gusti nu maha suci.... neda pangjiad pangraksa abdi keumpeul Seuweu Siwi... Seja ngaguar laratan...titis waris Padjajaran ngembatkeun jalan laratan katampian geusan mandi ka Leuwi Sipatahunan, Leuwi nu ngaruncang diri diri manusa kiwari rek muru lulurung tujuh ngahiap ka Padjajaran bongan hayang pulang anting Padungdengan padungdengan jeung usikna pangacian ahung...ahung....ahung.... Sampurasun karumuhun ka Hyang Prabu Siliwangi... nu murba di Padjajaran..pangaoban seuweu siwi nu gelar di Tatar Sunda muga nyebarkeun wawangi... ahung....ahung....ahung....</i> (Rajah Siliwangi) <br /><br />Perdebatan atas temuan situs megalitik Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, belumlah tuntas. Para peneliti masih belum memiliki kesimpulan akhir, sehingga stempel misteri masih melekat pada peninggalan prasejarah tersebut. <br /><br />Soal kapan situs dibangun? Oleh siapa dibuat? Apa fungsinya dimasa lampau? Dan segudang pertanyaan lainnya yang belum bisa terjawab. Terlepas dari polemik yang, terdapat perasaan reueus (bangga) terhadap mahakarya para leluhur tanah Pasundan (Cianjur). Bagaimana tidak, kecerdasan karuhun(leluhur) pada waktu itu begitu tinggi. Dibuktikan dengan membangun punden berundak yang konon kabarnya terbesar di Asia Tenggara. <br /><br />Perlu kajian matang agar konstruksi bangunan tidak luntur oleh waktu tak lekang ditelan zaman. Selain nilai filosofis yang hendak disampaikan karuhun melalui siloka(simbol) yang melekat pada bangunan itu. Diawali perbincangan dengan sang juru pelihara Gunung Padang, Nanang, 41, mencoba menguak nilai-nilai filosofis yang tersimpan dalam Gunung Padang tersebut. <br /><br />Nanang menjadi juru pelihara Gunung Padang secara turuntemurun. Garis pewarisannya sendiri tidak vertikal langsung dari kakek ke ayah ke cucu, tapi ada pewarisan yang menyamping. Dimulai dari Ayah Onon tahun 1763, dilanjut Ayah Hasyim, Aki Jumad, Aki Suma, Bah Cece, Pa Didin, sampai saat ini dirinya sendiri. Saat ini ada sembilan juru pelihara (jupel) di bawah naungan Pemkab Cianjur, dan 21 jupel di luar pemerintahan. <br /><br />Tapi sepertinya hanya Nanang lah jupel yang memiliki keterikatan kuat dan memori panjang tentang Gunung Padang. Sebab Nanang memang dilahirkan di Gunung Padang. “Waktu umur lima tahun, saya sering diakod(digendong) kakek ke sini,” katanya. Dari posisi Singgasana Raja, beberapa meter sedikit ke luar area inti situs, disitulah Nanang lahir. Saat ini rumah tempat dia lahir sudah menjadi warung kopi tempat istirahat. <br /><br />Rumah Nanang sendiri saat ini ada di bawah 100 meter dari tempat parkir menuju situs. Hal menarik, pemahaman dia soal nilai-nilai filosofis itu didapatnya tidak saja dari pemahaman kakek buyutnya yang ditularkan kepada Nanang. Tapi juga berdasarkan penelusurannya secara langsung, selain pengalaman spiritual yang didapat selama menjadi juru pelihara. <br /><br />“Saya tidak suka mitos, tapi saya suka mistis,” kata Nanang, mengawali perbincangan dengan tim ekspedisi KORAN SINDO JABARdi teras 1 Gunung Padang. Menurutnya, mitos lebih kepada hal-hal yang bersifat takhayul, bahkan bisa berbuah syirik, berbeda dengan mistis. Pengalaman spritual, kontemplasi, bertafakur terhadap keagungan Yang Maha Kuasa, dan nilai-nilai filosofis, itulah mistis. <br /><br />Dengan mistis, banyak suri tauladan dan pelajaran yang didapat untuk bekal menjalani kehidupan. Begitu pula dengan pesan-pesan yang tersirat dari Gunung Padang, banyak muatan-muatan mistis, penuh siloka(simbol), dan makna yang dalam. Pesan-pesan itu hanya dapat dipahami dan dimengerti dengan sebuah perenungan panjang. Dia menuturkan, hal yang unik dan terlalu naif apabila disebut serba kebetulan. <br /><br />Di Gunung Padang, angka lima cukup dominan dan melekat pada situs tersebut. Misalnya, semua teras Gunung Padang terdiri dari lima teras, antara lain teras pertama disebut Pamuka Lawang(pembuka pintu), teras dua Batu Masigit, teras tiga Makuta Dunya, teras empat Pangujian(pengujian yang ditandai adanya batu pengujian), dan teras kelima disebut Singgasana Raja. <br /><br />Sebelum memasuki kelima teras itu, terdapat dua akses pintu masuk melalui anak tangga dengan kemiringan antara 45-50 derajat. Akses masuk pertama merupakan jalur ziarah atau jalur asli menuju pelataran Gunung Padang dengan jumlah 378 anak tangga. <br /><br />Sementara akses masuk yang kedua, merupakan jalur wisata sebanyak 720 anak tangga, medannya lebih landai dengan memutari bagian samping kanan bukit. Nanang menjelaskan, ketika hendak menaiki anak tangga sebagai langkah awal perjalanan spritual biasanya ada tradisi, setiap pengunjung berwudlu atau meminum caikahuripan (air kehidupan) pada mata air yang berada tepat di bawah anak tangga pertama. <br /><br />Mata air itu tidak pernah kering dan tampak jernih. Bahkan menurutnya, kandungan mineral air itu cukup tinggi, berdasarkan penelitian di laboratorium. Menurut dia, Gunung Padang itu dulunya tempat para karuhunmendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka, fungsi cai kahuripanitu sebagai media untuk mensucikan diri, sehingga begitu naik anak tangga sudah dalam keadaan bersih lahir dan batin. <br /><br />Anak tangga yang menanjak merupakan gambaran akan perjalanan spritual kepada Yang Maha Kuasa. Hanya dengan kebersihan lahir batin, sabar, serta, motivasi tinggi, semua hambatan dalam hidup dapat diatasi secara baik. “Gunung Padang itu kan terdiri dua kata gunung dan padang. <br /><br />Gunung artinya tempat tinggi, sedangkan padang adalah cahaya atau terang. Jadi Gunung Padang itu tempat cahaya atau tempat pencerahan,”terang Nanang. Begitu memasuki teras pertama, atau pamuka lawang, sebagai silokamemasuki zona pertama dalam pencarian ketuhanan. <br /><br />Di teras kedua, area ini dulu dijadikan tempat ritual penyambutan, makanya tak heran adanya tiga batu yang terdapat di samping sebelah kiri dengan sebutan batu goong (batu datar, batu meja), batu bonang, dan batu kacapi. Istilah alat musik gamelan ini menguatkan dugaan bahwa di lokasi itu juga menjadi tempat pertunjukan kesenian. Apalagi tiga batu gamelan itu, benarbenar bisa mengeluarkan empat nada dasar. <br /><br />Dari ketiga batu tersebut, salah satunya batu bonang, terang Nanang, asal kata dari bobo nangtung(tidur berdiri) , simbol bagaimana kita harus tidur tapi berdiri. Artinya, dalam keadaan apapun kita harus tetap sadar kepada sang pencipta. Di area ini pun terdapat batu yang menggunung yang disebut batu masigit(masjid), sering digunakan para karuhun untuk bertirakat guna mendapat petunjuk dari Hyang Agung.<br /><br />Nanang tidak menjelaskan secara terperinci gundukan batu ini, namun sebelum melewatinya ada tetekon, papagon, jeungugeran (aturan)para karuhunselalu menghormati tempat ini dengan terlebih dahulu duduk bersila di atas batu goong sembari tangan menyembah ke arah Gunung Masigit. Di teras ketiga, atau makuta dunya, tedapat hal yang unik. <br /><br />Di area ini banyak terdapat batu berdiri dengan ukuran lebih pendek dari batu lainnya. Bahkan, diameternya pun lebih besar. Konon kabarnya, lokasi itu menjadi tempat bermusyawarah, khususnya ketika zaman Pajajaran, digunakan semacam pertemuan antara Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) dengan para ponggawa atau pasukannya. Di lokasi itu pun terdapat satu buah batu berukir kujang atau dinakaman batu tapak kujang. <br /><br />Sementara, kujang menurut Sanghyang Siksakanda Ng Karesianpupuh XVII, merupakan senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata kudihyang(kudidan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. <br /><br />Dalam beberapa literatur, kudidiambil dari bahasa Sunda kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahayaatau penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). <br /><br />Sementara itu, Hyangdapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyangmempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti”yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. <br /><br />Secara umum, kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Selain itu, di teras ketiga pun terdapat sebuah batu lain dengan ukiran tapak(jejak) kaki maung (harimau). Namun menurut Nanang, yang disebut maungitu adalah simbol manusia unggul. <br /><br />‘Manusia unggul’ jika diakronimkan adalah ‘maung’. Menurutnya, keunggulan harus terpatri pada setiap manusia, sebagaimana kuatnya tapak maungpada batu itu. Di teras keempat, sedikit berbeda dari teras-teras lainnya, arealnya cenderung kosong hanya hamparan yang sedikit batu-batuan. Hanya saja, ada sebuah batu unik lainnya disebut pangujian(pengujian). Konon kabarnya, siapa saja yang bisa mengangkat batu itu, maka semua maksud dan tujuannya akan tercapai. <br /><br />Namun, bagi Nanang itu hanya sebuah mitos belaka. Yang jelas, batu pangujian merupakan siloka siapa pun yang dapat mengatasi semua beban kehidupan, maka dia akan lulus mendekati Yang Maha Kuasa. Makanya, batu itu kini diamankan pada salah satu gubuk kecil dan terkunci rapat, agar tidak menimbulkan syirik. <br /><br />Di teras kelima, atau Singgasana Raja, merupakan silokaakan pencapaian akhir dari sebuah perjalanan spritualnya. Tak heran posisi teras lima lebih tinggi dibanding teras-teras lain. Di sini pun terdapat batu menyerupai kursi duduk dengan dua buah batu berdiri yang disebut batu Sunan Ambu dan Sunan Rama (simbol ibu dan bapak), yang menghadap lurus ke arah Gunung Gede dan Gunung Pangrango. <br /><br />Di teras itu menyimbolkan bahwa pencapaian kepada Hyang Agungtidak akan berhasil tanpa berpegang teguh kepada kedua orang tua. Ada peribahasa indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat, atau tiada keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan tanpa doa ibu dan bapak. Sebab, indung nu ngakandung bapa nu ngayuga, artinya tak akan ada anak tanpa kasih sayang ibu dan bapak. <br /><br />Dalam kedudukannya, ibu atau wanita dalam Sunda sangatlah tinggi. Bahkan, dalam penyebutan pun ibu selalu lebih awal dibandingkan bapak. Sementara menurut seorang ahli, keyakinannya yang menyatakan bahwa wanita Sunda memiliki kedudukan yang terhormat dalam perbendaharaan budaya urang Sunda berhubungan dengan salah satu legenda Sunda kuno bernama Sunan Ambu (dewa wanita yang menjadi simbol keagungan di Buana Agung dunia Langit yang sakral). <br /><br />Di akhir perjalanan dari mulai menaiki anak tangga hingga di teras kelima, Nanang menyebutkan, nilai filosofis yang ada di Gunung Padang ini semuanya didominasi angka lima. Hal itu tersimbolisasi pada jumlah teras, serta batu-batuan yang ada berpenampang segi lima, serta ukiran pada beberapa batu menunjukkan angka, sehingga angka tersebut sangatlah sakral. <br /><br />Bahkan, antara Gunung Padang dengan Gunung Pangrango terdapat lima gunung. “Kesimpulannya, perjalanan spritual sejak menginjakkan kaki di tangga pertama hingga ke teras kelima merupakan simbol dari Allah maka akan kembali kepada Allah, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selain itu, banyak penerapan angka lima dalam kehidupan sehari-hari, seperti rukun Islam. <br /><br />Ketika kita menjalankan rukun Islam secara sempurna maka akan kembali kepada Allah secara khusnul khotimah,”terangnya. Nilai-nilai filofis itulah harta karun yang terdapat di Gunung Padang, bukan emas atau berlian. Semua pihak harus belajar dari Gunung Padang, maka akan mendapatkan harta karun yang sesungguhnya. <br /><br />Tidak semata-mata para karuhun (leluhur) membuat bangunan seperti itu, serta silokayang terkandung di dalamnya, kalau bukan untuk dijadikan eunteung (cermin) kehidupan agar selamat dunia dan akhirat. “Sayangnya, banyak pengunjung yang tidak memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya itu. Yang ada , tempat suci justru sering disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk berbuat maksiat. Inilah yang sangat disayangkan,”pungkasnya.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-23166907880259721362016-01-28T18:00:00.000+07:002016-01-28T18:00:36.105+07:00Antitesis Geologiti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=67&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a><br /><br />Untuk menjawab pertanyaan apakah Gunung Padang merupakan punden berundak di atas batuan bentukan alam atau seluruhnya adalah bangunan buatan manusia, geolog dari Badan Geologi Sutikno Bronto menyempatkan diri meneliti situs tersebut.<br /><br />Metode penelitian Sutikno menitikberatkan pada pemahaman geologi gunung api purba dan sejarah geologinya atau lebih memerhatikan perkembangan vulkanisme setempat. “Dari kajian vulkanisme setempat, Gunung Padang merupakan daerah rawan gempa yang sering mendapat kerusakan karena gerak longsor dan gempa bumi, “ kata Sutikno beberapa waktu lalu. Sutikno meyakini jejak peradaban masa lalu hanya akan ditemui di atas bukit alam tersebut.<br /><br />Pasalnya secara geologi , Gunung Padang merupakan sumbat atau kubah lava termuda berstruktur kekar kolom yang terbentuk di dalam kawah gunung api purba Karyamukti. Kemudian, karena proses geologi yang terus berjalan, kekar kolom Gunung Padang semakin renggang, dan akhirnya membentuk batu kolom yang roboh berserakan.<br /><br />Untuk memerkuat bukti bahwa jenis bebatuan yang dibangun pada situs megalitikum itu merupakan bentukan alam, Sutikno mengatakan bukti itu dapat dilihat dari bentuk dan ukuran bebatuan yang tidak seragam, berupa bentukan batu pipih dan kolom. Menurutnya, bentuk batuan itu juga lahir karena gerak bencana alam yang terjadi pada masa lalu.<br /><br />“Kami meneliti juga, secara geologi Gunung Padang terbukti merupakan bekas gunung api purba Karyamukti, kubah lava itu lah yang kemudian membukit seperti bentukan piramid. Keyakinan saya, bila lapisan tanah itu terus digali hanya ada temuan berupa bebatuan,” tambah Sutikno.<br /><br />Dari sudut pandang peneliti yang sepaham dengannya, bebatuan kolom yang roboh itulah yang kemudian ditata oleh manusia masa lalu sebagai punden berundak untuk upacara pemujaan. Sehingga bila disimpulkan secara ilmiah, tak perlu ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya jejak peradaban masa lalu yang terkubur di bawah gunung tersebut.<br /><br />“Keyakinan kami tentu tak perlu lagi ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya ruangan besar yang terkubur di bawah Gunung padang,” ujar Sutikno. Pasalnya untuk membuktikan hal tersebut tentu membutuhkan upaya enggalian secara total. Sementara bila itu dilakukan, kelestarian kawasan situs yang selama ini dilindungi akan terganggu.<br /><br />”Perbedaan pendapat dalam penelitian ini tentu sah saja, mereka berangkat dari hipotesa adanya jejak peradaban yang terkubur di Gunung Padang. Namun dalam pembuktiannya tentu bisa merusak keberadaan kawasan situs,” tambahnya.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-26144509878031013602016-01-28T17:58:00.003+07:002016-01-28T17:58:42.661+07:00Artefak Sundaland dari Tanah Pasundanti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=68&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a><br /><br />Di mata peneliti Jepang Nara Akira, Gunung Padang bisa jadi salah satu bukti peninggalan peradaban tertua di dunia. Dia tertarik untuk mengkaji lebih lanjut jejak peradaban tertua di dunia yang diyakini ada di kepulauan Nusantara.<br /><br />Seperti tesis yang diuraikan Oppenheimer dalam bukunya berjudul Eden In The East, Nara Akira juga memprediksi adanya artefak Sundaland di wilayah Nusantara (Taman Firdaus), suatu kawasan berbudaya tinggi, namun kemudian tenggelam, lalu para penghuninya menyebar ke penjuru dunia.<br /><br />“Situs Gunung Padang tentu memiliki potensi ke arah sana, dimana lahirnya peradaban tertua di dunia,” tutur Nara dalam diskusi bertajuk “Sundaland Theory and Gunung Padang” di Ruang Serbaguna UPT Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, Kamis (21/1). Ya, apa yang disampaikan Afiliasi Tokyo Study Group on Sundaland itu memang kerap berseberangan dengan arus utama sains saat ini.<br /><br />Pasalnya menurut teori ini, induk peradaban manusia modern (Mesir, Mediterania, dan Mesopo - tamia) berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundaland. Keyakinan awal mula peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu juga diperkuat dengan pendekatan sejumlah keilmuan yakni linguistik, antropologi, arkeologi, dan cerita rakyat (folklore).<br /><br />Bahkan, dia menuturkan, masa peradaban tertua ini (Sundaland) sebelumnya telah memilliki teknologi sistem agrikultur dan peternakan yang telah maju sejak 16.000 tahun lalu. “Saya menemukan sisi persamaan peradaban di wilayah Sundaland dengan kebudayaan kami miliki, misal dari sejumlah bahasa, dan temuan artefak berusia ribuan tahun lalu yang memiliki kemiripan tas badui saat ini,” tutur Akira dalam sesi diskusi.<br /><br />Persamaan itu, menurutnya menjadi salah satu bukti penguat penyebaran peradaban Sundaland ke negeri matahari terbit itu. Nara mengatakan, Gunung Padang dan kanal irigasi masa lalu yang ditemukan di bawah laut Thailand akan dikenal sebagai bukti peradaban super kuno di Sundaland.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-12217083984907408442016-01-28T17:56:00.000+07:002016-01-28T17:56:30.773+07:00Gunung Padang Menurut Prabu Siliwangiti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=71&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a><br />
<br />Saya kerap melakukan investigasi sejarah dan lebih diutamakan sejarah lisan. Sejarah lisan yang disampaikan secara turun-temurun, mungkin kurang memiliki keabsahan, sebab sejarah lisan keluar dari etika akademisi.<br /><br />Bahwa sejarah menurut akademisi harus memiliki bukti tertulis dan bukti arkeologi, tak akan ditemui utuh di koridor sejarah lisan. Mungkin ada bukti arkeologi, namun tidak memiliki catatan tertulis, dan masyarakat seputarnya, hanya memiliki “dongeng lisan” saja. Atau juga sebaliknya, masyarakat hanya memiliki alur sejarah lisan namun tak memiliki bukti arkeologinya.<br /><br />Masyarakat tradisional menganggap itu sebuah sejarah masa lalu, namun para sarjana lulusan akademisi hanya menempatkannya di koridor dongeng, floklore, atau mitos saja. Bahwa di Gunung Padang kini ditengarai ada situs dan benda arkeologi, itu sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun silam, namun hingga kini kalangan akademisi belum bisa meraba, situs peninggalan kuno ini membicarakan zaman apa dan siapa pemiliknya?<br /><br />Jauh sebelum Situs Gunung Padang ditangani secara akademik, saya sendiri sudah mendahului melakukan penelusuran. Memang tidak sempurna menemukan semuanya. Seperti kalangan akademisi, saya juga sama tidak menemukan berita, kapan awal dibikinnya situs di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur ini. Berita-berita lisan dari masyarakat, baik yang ada di seputar lokasi, maupun masyarakat yang jauh dari lokasi, hanya memberikan gambaran yang sayup-sayup belaka.<br /><br />Berita dari Pajajaran<br /><br />Adalah beberapa orang pengamat tradisional tentang masa lalu di beberapa tempat, yang sempat menyampaikan ikhwal misteri Gunung Padang ini. Yayan,35, dari Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Su - medang misalnya. Secara turuntemurun, dia menye butkan bahwa misteri Gunung Padang sudah diteliti sejak zaman Paja - jaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, raja pertama Pajajaran (1482-1521).<br /><br />Nama Gunung Padang, mungkin baru bela - kangan ini saja didengung kan, sebab sewaktu zaman Pajajaran, orang hanya menyebutnya sebagai Hyang Pamujang (pusat menyembah Hyang). Kala itu di Pajajaran pun sudah ada arkeolog dan pembaca masa lalu. Dia duduk di sebuah lembaga pemerintah yang mengurusi budaya dan sejarah, bernama Ki Purana Makti.<br /><br />Sri Baduga Maharaja tahun-tahun itu telah mengutusnya untuk membuka sejarah masa lalu Gunung Padang. Namun bila dibandingkan dengan peneliti masa kini, boleh dikata Ki Purana Makti kalah jauh. Sebagai bukti, peneliti modern telah sanggup mendeteksi usia batuan, sebab samakin dalam memeriksa perut bumi Gunung Padang, maka semakin jauh usianya.<br /><br />Bahwa menurut peneliti masa kini, peradaban di Gunung Padang sudah dimulai sejak 20.000 tahun silam. Sementara Ki Purana Makti, hanya sanggup mendeteksi dari 5.000 tahun ke belakang. “Tah, di jaman urang, di ieu tempat geus aya kahirupan,” Artinya: “Nah, dari zaman kita, di sini sudah ada kehidupan.” Ki Purana Makti menyebutkan, dulu di puncak Gunung Padang berdiri sebuah bangunan.<br /><br />Ada kubah besar menaungi sebuah tempat luas. Kubah itu berpintu 13 sebagai tempat masuk dan keluar para penyembah. Bila semua duduk bersila, ruangan kubah bisa dimasuki seribu orang. Mungkin seperti bangunan masjid raya untuk ukuran masa kini. Fungsinya untuk melakukan upacara sembah bagi yang diper - tuhan kala itu, dan Ki Purana Mak ti memberi nama sebagai Hyang atau sanghyang yang ar - tinya Yang Gaib.<br /><br />Hanya saja, ku - bah sudah tak ada sebab ribuan tahun sebelum Pajajaran, di sana terjadi bencana alam yang hebat. Terjadi gempa bumi, di mana dari dasar gunung ada dorongan kuat yang menyebabkan kubah hancur berantakan, yaseperti sekarang ini. Purana Makti mengatakan, bahwa sekalipun dia hanya mendeteksi kehidupan 5.000 tahun sebelum Pajajaran, tapi dia merasa yakin bahwa kehidupan di sana jauh lebih tua dari itu.<br /><br />Hanya saja pada masa jauh sebelumnya, di wilayah itu belum dikenal apa yang bernama agama. Cara berpakaian pun masih sangat sederhana. Bahkan cara berkomunikasi pun masih sangat sederhana. Belum ada susunan tata-bahasa baku. Bila berkomunikasi, maka untuk menyampaikan maksud tertentu, terkadang harus menggunakan bahasa isyarat.<br /><br />Situs Gunung Padang diduga dibangun untuk kepentingan ritual sebuah agama, tapi tidak diketahui agama apa. Hanya yang jelas, di kubah besar itulah orang berkumpul untuk menerima ajaran-ajaran moral, bahkan budaya secara luas. Ki Purana Makti bahkan berani berkata kepada Sri Baduga Maharaja atau yang belakangan dikenal sebagai Prabu Siliwangi, bahwa kemungkinan besar peradaban Sunda dimulai dari tempat ini.<br /><br />Prabu Siliwangi percaya, bahwa Hyang Pamujang (Gunung Padang), dari zaman ke zaman selalu digunakan tempat memuja Sanghyang Tunggal. Itulah s - ebabnya, dia pun sering mengun - jungi Gunung Padang untuk melakukan ritual suci. Peristiwa ini pun sempat ditulis oleh Bujangga Manik, (jurnalis zaman Pajajaran) yang catatan-catatan lamanya pernah tersimpan di Museum Leiden, Belanda.<br /><br />Tak ada catatan tentang peristiwa ini. Hanya saja masyarakat tua di sekitar Situs Gunung Padang merasa tak asing dengan nama Purana Makti. Sudah barang tentu tak bakalan asing, sebab atas jasa Sang Bujangga ini, maka sebuah kampung yang letaknya tak jauh dari Hyang Pamunjang oleh Prabu Siliwangi diberi Kampung Purana Makti. Oleh pergeseran waktu, maka nama pun bergeser pula. Sekarang penduduk menyebutnya sebagai kampung atau Desa Karya Mukti.<br /><br />Awal Peradaban<br /><br />Tak pelak, bagi orang-orang yang bersemangat menelusuri masa silam, maka banyak orang telah mengklaim bahwa dari Gunung Padang lahdi antaranya menyebar sebuah peradaban. Saya bilang di antaranya. Sebab jauh sebelum Gunung Padang diteliti, sebetulnya masyarakat Sunda sudah menemukan bukti sejenis di beberapa gunung lain. Semisal saja di Gunung Sadahurip, wilayah Garut utara.<br /><br />Banyak orang yakin bahwa bila perut Gunung Sadahurip, di sana akan terlihat bangunan seperti piramid. Piramid itu untuk istilah bangunan di Mesir. Sementara di Gunung Sadahurip dikenal sebagai batu panguundakan(batu berundak). Dulu ribuan tahun silam, batu panguundakanyang tingginya melebihi puncak stupa Borobudur ini, digunakan sebagai tempat berkumpulnya para raja Nusantara untuk melakukan upacara suci menyembah kepada Sang Murba Wisesa (Sang Penguasa Tunggal).<br /><br />Orang yang paling rutin datang ke sini adalah petinggi dari zaman Galuh Kuno (abad 8). Orang Galuh sudah menganggap bahwa Batu Panguundakan dibuat oleh para leluhur mereka, ribuan tahun silam. Belakangan malah ditemukan lagi gunung sejenis, terdapat di wilayah Garut Selatan. Lalu ada Gunung Sangiang di wilayah Kuningan dan diduga di perut gunung memiliki bukti peradaban kuna.<br /><br />Jauh sebelum Gunung Padang ditemukan, juga di Soreang Kabupaten Bandung ada Gunung Lalakon. Konon di sana pun ada bangunan mirip piramid. Sekarang bahkan sementara orang Sunda mencurigai, bahwa bila ada gunung bentuknya seperti aseupan(tempat menanak nasi) tidak berbatu bahkan kurang dipenuhi hutan belantara, maka dicurigai sebagai batu panguundakan yang sengaja disembunyikan atau memang tertutup lapisan tanah karena perubahan zaman.<br /><br />Di batu bertulis yang ada di Bogor (Kecamatan Batutulis), ada tertera tulisan bahwa Sri Baduga Maharaja membuat gugunungaan(kini dikenal sebagai Bukit Badigul di Rancamaya). Orang terheranheran, Sunda itu wilayah pegunungan, tapi masa iyaPrabu Siliwangi segitunya bikin gunung tiruan? Apakah Prabu Siliwangi membuat gugunungan itu untuk keperluan khusus?<br /><br />Ya, semisal bikin batu panguundakan seperti bangunan piramid? Sekarang penelitian Situs Gunung Padang seperti terhenti, padahal tahun-tahun kemarin sangatlah menggebu. Kemungkinan besar karena biaya yang dibutuhkan amat banyak. Namun bagi yang senang bersuudzon, kemungkinan besar takut mengubah peta sejarah. Bukan saja sejarah nasional, melainkan juga bisa mengubah peta sejarah dunia. Bagaimana tidak.<br /><br />Sebelumnya dunia telah mengukuhkan bahwa Mesir adalah awal mula peradaban dunia tatkala ditemukan piramid yang berusia empat ribu tahun. Sekarang ada penelitian baru bahwa awal peradaban dunia dimulai dari Sunda (Zhundaland), sebab Gunung Padang, salah satu gunung kuna dari begitu banyaknya gunung, telah ditemukan sebuah peradaban sejak 20.000 tahun berselang.<br /><br />Hanya kesadaran nasional yang dibantu oleh kesadaran dunia saja yang bisa mengubah peta sejarah seutuhnya. Komentar Prabu Siliwangi atas keberadaan Gunung Padang: “Jaga ji padang leuwang Katraman banyusarak Ma’jang inya ti wasta pra’nu aji majang Ah’ sami kraton niang jajaran.”<br /><br />(“Harus dijaga tanah yang luas satu halaman ini Tempat berkumpulnya para leluhur Asli sacara turun-tumurun jauh sebelum kelahiran kita.”) “Siah kallama Samandiyah netapan ieu leuwang Jaga, jaga, jaga!” (Hai, semua dari kalian Tinggallah di tempat ini Rawatlah dan jagalah!”)<br /><br />AAN MERDEKA PERMANA<br />Mantan wartawan Sunda,<br />pengumpul floklore dan cerita lisan Sunda,<br />tinggal di Bandung.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-1796915991749417862016-01-28T17:54:00.000+07:002016-01-28T23:37:48.073+07:00Sketsa yang Mengubah Segalanyati <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=77&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a><br />
<br />
Di sebuah rumah bertingkat di bilangan Sarijadi Raya Nomor 3, Kota Bandung, KORAN SINDO sengaja bertamu ke kantor arsitek senior bernama Pon Sapriamulya Purajatnika. Ya, dialah sang Ketua Tim Bidang Arstiektur di Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM).<br />
<br />
Tugasnya adalah menggambar Gunung Padang dari segi arsitektur. Jadilah sketsa imajiner Gunung Padang pada 2013 yang menghebohkan itu. Sketsa 2013 sebenarnya merupa - kan sketsa ketiga yang merupa - kan penyempurnaan dua sketsa sebelumnya. Sketsa pertama dirilis November 2009, dan sketsa kedua November 2010.<br />
<br />
Sebelum Gunung Padang diteliti Tim Katastrofi Purbakala (sebelum bergnti nama jadi TTRM) tahun 2010, Pon sudah lebih dulu meneliti arsitektur Gunung Padang. Titik berat penelitiannya adalah arsitektur purbakala di sekitar kampung adat di Jawa Barat. Ketika tiba di Cianjur, Pon “jatuh” hati pada Gunung Padang. Penelitian dimulai sekitar 2006-2007.<br />
<br />
“Pas melihat Gunung Padang, ini merupakan tinggalan yang luar biasa, dan ini tampaknya tinggalan yang sangat lama, katakanlah zaman megalitik, awalnya informasinya begitu. Di situlah saya mulai,” ujarnya. Tahun 2008, Pon mulai intens berkunjung ke Gunung Padang. Fokusnya adalah melihat bentukan situs itu. Berbagai pertanyaan pun muncul.<br />
<br />
Apakah gunung Padang merupakan candi, punden berundak, atau situs lain? “Pas dilihat itu kanpunden berundak di bagian atas,” kata Pon. Tahun 2010 sketsa pertama Gunung Padang pun jadi. Proses pembuatannya memakan waktu setahun, lima bulan di antaranya untuk membuat layer(lapisan) pertama. Sketsa ini merupakan sketsa permukaan berdasarkan observasi lapangan.<br />
<br />
Setelah jadi, sketsa pertama itu langsung diikutkan pada pameran foto di “International Conference Sundaneese Culture di Bogor. Berbagai foto artefak di Gunung Padang ditampilkan dalam pameran tersebut. Di situlah masyarakat terutama para arkeolog, geolog, arsitek dan budayawan mulai melirik Gunung Padang. “Maka berlanjutlah penelitian dari waktu ke waktu sampai sekarang,” cerita Pon.<br />
<br />
Pada November 2012, Pon bertemu untuk pertama kali dengan geolog Danny Hilman Natawidjadja dalam sebuah rapat besar di Gedung Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta. Dari sanalah dia kemudian masuk dalam TTRM, berlanjut ke fase Tim Nasional Gunung Padang, dan sampai akhirnya penelitian saat itu berhenti.<br />
<br />
Berbekal dua sketsa awal yang merupakan gambar permukaan, Pon menggabungkan hasil observasinya sendiri dengan temuan para peneliti. Maka jadilah sketsa ketiga yang pertama kali dipublikasikan tahun 2013.“Ada temuan sekitar Gunung Padang struktur tanahnya berbentuk terasering, ya saya membuat sketsa imajinasi itu,” ucap Pon. Dia menjelaskan, dari sketsa imajinasi Gunung Padang, bentuk bangunan mengerucut ke atas.<br />
<br />
Dalam konteks lingkungan tropis, bangunan mengrucut biasanya dipakai sebagai tempat beribadah. “Kita pada dasarnya memiliki gunung, jadi tak perlu membuat piramid seperti di Mesir. Biasanya tempat ibadah selalu mengerucut ke atas berbentuk segitiga untuk mendapatkan suasana monumental dan sakral. Jadi dibentuklah Gunung Padang itu berbentuk seperti itu,” kata dia.<br />
<br />
Dalam beribadah, kata Pon, orang zaman dahulu bisa menemukan titik tertinggi di puncak dimana mereka bisa melihat langsung ke arah Gunung Gede sebagai sumbunya. “Syarat ritual pada saat itu, juga sikap terhadap benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang, itu sudah jelas di sana,” terangnya.<br />
<br />
Selain itu, bangunan Gunung Padang digambarkan terbuka, dimana ada tangga untuk naik dan turun yang sifatnya terukur. Hal tersebut dilihat dari ada beberapa sisa bangunan di tengah situs. “Bangunan itu sebetulnya terbuka. Situs lain yang sezaman seperti Lebak Cibeduk, Cengkuk, dan sebagainya, itu terbuka. Tapi saya tak bisa memastikan tertutupnya seperti apa karena tidak ada referensi,” kata Pon.<br />
<br />
Mungkin, lanjut di, ke bawahnya ada tempat tangga untuk naik dan sifatnya terukur. Kemudian ada pintu masuk dan keluar. Di pintu masuk itu ada semacam air untuk bersuci sebe - lum melakukan ritual ibadah. “Seperti muslim harus berwudlu, kristiani ada air suci,“ sebut Pon. Menurutnya, dilihat dari kriteria teknis lapangan, bangunan tersebut dibuat dari batuan dengan susunan tertentu.<br />
<br />
Dengan susunan dan tempat berlainan di sisi satu dan sisi lainnya. “Artinya itu dibuat. Selain membuat bentuk, juga membuat susunan untuk membuat struktur tanah. Walaupun sekarang acakacakan, tapi itu keliatan sekali bentuk awalnya seperti apa. Jadi itu dibentuk, gakmungkin alami,” katanya.<br />
<br />
Bahkan dengan penemuan lapisan pasir di kedalaman beberapa meter, menurutnya, itu merupakan bagian dari bangunan. Lapisannya terlihat mengikuti atau menyesuaikan level teras demi teras. Berdasarkan hasil analisa georadar, lapisan pasir berada di garis besar ketiga, sementara itu Gunung Padang sendiri memiliki lima level teras. Bisa jadi, pasir dalam bangunan itu untuk meredam goncangan saat gempa bumi.<br />
<br />
Seperti diketahui, Gunung Padang terletak di Patahan Cimandiri yang berpotensi bergerak. “Fungsi pasir sendiri untuk meredam gaya lateral seperti gempa bumi dan meratakan beban pada tumpuan. Itu pengetahuan sederhana,” katanya.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-88376238550858823832016-01-28T17:50:00.002+07:002016-01-28T17:50:55.632+07:00Sumbu Kosmik ke Gunung Gedeti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=78&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a><br />
<br />
Situs Gunung Padang banyak mengandung ilmu yang bisa digali secara iilmiah. Para arkeolog, geolog, budayawan, hingga arsitek meneliti situs yang kini mulai disebut bukan megalitik melainkan gigalitik ini.<br /><br />Lalu bagaimana ilmu astronomi melihat Gunung Padang? Apakah memang ada garis astronomi (astronomical alignment) dan orientasi astronomi (astronomical orientation) di Gunung Padang? Prof Suhardja D Wiramihardja mungkin satu-satunya astronom yang meneliti Gunung Padang. Ditemui di sela bedah ilmiah Gunung Padang di kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganeca, Kota Bandung, Rabu (20/1), asronom senior ini memberi analisis sekeligus menjawab pertanyaan seputar astronnomi Gunung Padang.<br /><br />“Harus dilihat dulu apakah etnik sekitar lokasi ini, dalam kasus ini etnik Sunda zaman baheula(dulu), memunyai kesadaran akan jagad raya (universe awareness) atau tidak? Dan jawabannya ada,” katanya kepada KORAN SINDO. Meski pada budaya zaman silam belum mengenal sebutan astronomi, namun kata Suhardja, mereka sudah mempelajari fenomena dan benda langit, sebagai kepentingan parktis kehidupan sehari-hari.<br /><br />Untuk mempelajari Gunung Padang dalam perspektif astronomi, perlu didukung disiplin ilmu lain, salah satunya ethnoastronomi. Ethnoastronomi adalah studi tentang astronomi dari berbagai ras, kelompok etnik, budaya zaman silam, termasuk kalendar, cerita rakyat, mitologi dan ritual yang bertautan, konsep kosmologi dan tradisi orang atau budaya yang berhubungan dengan langit.<br /><br />Suhardja berhasil menemukan penunjuk waktu yang menggunakan penunjuk alamiah untuk memahami, menentukan, atau memberi nama waktu dari bagian hari. “Penentuan itu didasarkan pada fenomena alam melalui apa yang mereka rasakan, lihat atau dengar, dan dipadukan dengan efek fari posisi matahari,” kata pria yang tertarik dengan ilmu etnhoastronomi sejak tahun 2008 ini.<br /><br />Ada lebih dari 20 penunjuk waktu yang menyatakan segmen yang lebih kecil dari 24 jam sehari (pagi, sore, malam). Dengan penunjuk waktu ini orang zaman dulu bisa mengenal waktu berdasarkan hasil olah panca indera mereka seperti rasa, lihat, dan dengar. Bisa jadi, Gunung Padang memang dibikin atau disusun oleh manusia berdasarkan perhitungan astronomi itu.<br /><br />Terlihat dari posisinya yang antara Gunung Padang dengan Gunung Gede. Sebagian orang meyakini leluhur membangun Gunung Padang sebagai tempat pemujaan dan titiknya mengarah ke Gunung Gede. “Intinya, kalau untuk aktivitas sehari-hari saja mereka berpatokkan pada fenomena langit, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya gigantik (besar) seperti situs megalitik Gunung Padang ini.<br /><br />Sampai saat itu kita baru mendapatkan bahwa situs Gunung Padang ini berorientasi ke Gunung Gede dengan azimut kira-kira 345 derajat. Penemuan ini diperoleh oleh Tim TTRM dan Tim Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB,” katanya. Menurutnya, orang zaman dulu menganggap sesuatu yang tinggi sebagai sumbu kosmik (cosmic axis), sesuatu yang dija - dikan rujukan utama kehidup an.<br /><br />Benda yang tinggi-tinggi itu bisa berupa bintang-bintang, gunung, bahkan pohon yang tinggi. “Tradisi yang menggunakan benda-benda langit sebagai patokan untuk kehidupan seharihari, seperti memanfaatkan kemunculan bintang-bintang tertentu untuk pertanian, sekarang pun masih diterapkan oleh masyarakat pertanian di sekitar situs megalitik Gunung Padang,” katanya.<br /><br />Menurutnya, Gunung Gede dianggap sebagai sumbu kosmik Gunung Padang. “Pada kenya - taan nya orang saat itu membuat situs itu berarah ke Gunung Gede, memang dasarnya mungkin mereka mengangang - gap Gunung Gede sebagai cosmic axisitu,” kata Suhardja. Sebagian orang yakin saat bulan purnama, Gunung Padang memancarkan cahaya paling kuat ke segala arah.<br /><br />Menurut Suhardja fenomena itu wajar. “Semua tempat kalau bulan purnama pasti terang, apakah gunung tinggi atau di daerah 10 meter di atas permukaan laut,” jelas Suhardja. Tinggi rendahnya sebuah tempat pun, kata Suhardja, tidak akan memengaruhi signifikan terang atau redupnya sebuah tempat.<br /><br />Gunung Padang ada di ketinggian 885 di atas permukaan laut, itu pun kata Suhardja, tidak membuat ribuan batuan di situs itu menjadi terang seperti sumber cahaya. “Untuk diketahui, jarak ratarata bulan ke bumi adalah 384.400 km. Jadi beda beberapa kilometer pun tidak memengaruhi terang saat purnama,” jelasnya.<br /><br />Lalu ada juga cerita bahwa Gunung Gede sebagai sumbu kosmik Gunung Padang posisinya seperti naik saat pukul 18.00 WIB atau menjelang magrib. Cerita itu memang hidup di sebagian kalangan, terutama orang sekitar. “Saya kalau ke sana seringnya magrib. Karena kita bisa melihat Gunung Gede seperti naik ke atas,” kata Abah Ruskawan, Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur.<br /><br />Menurut Suhardja, fenomena itu hanya ilusi optik belaka. Sejatinya Gunung Gede di hadapan Gunung Padang tidak benar-benar naik. “Saya juga pernah mendengar pernyataan itu. Saya tidak langsung menyebut tidak percaya atau berbau mistik. Saya hanya bilang itu mahoptical illusionatau ilusi optik, atau tipu mata,” terangnya. Kata Suhardja, mata manusia bisa tertipu saat hari sudah gelap.<br /><br />Hal ini disebabkan mata manusia tak punya referensi terhadap posisi atau tinggi sebuah objek di depan mata. Dia mencontohkan arsiran garisgaris miring yang orientasinya seperti bayangan cermin, kelihatan seperti menyempit. “Atau barangkali Anda pernah melihat bulan purnama terbit pada jam enam sore, tampak besar sekali.<br /><br />Dan setelah bulan itu ada di langit tepat di atas kepala kita pada pukul 24.00, tampaknya lebih kecil dibandingkan dengan waktu terbit tadi,” katanya. Lalu bagaimana dengan dengan teori bahwa batu di Gunung Padang berasal dari batuan meteorit karena banyak mengandung besi.<br /><br />Menurut Suhardja, berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan oleh koleganya Danny Hilman Natawidjadja, tidak ada bukti bahwa batuan di sekitar Gunung Padang merupakan batu meteorit. “Hasilnya tidak demikian (bukan batu meteorit),” katanya.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-33635732841331072452016-01-28T17:45:00.001+07:002016-01-28T17:45:28.648+07:00Dari Megalitik ke Gigalitikti <a href="http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=69&date=2016-01-27" target="_blank">Koran Sindo</a> <br />
<br />
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhono menerbitkan Perpres Nomor 148 tahun 2014 tentang Pengembangan, Pelindungan, Penelitian, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Situs Gunung Padang, penelitian Gunung Padang di Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur berhenti. Penelitian kini seperti mati suri dan minta dibangunkan oleh pemerintahan Joko Widodo. <br /><br />Gigalitik. Itulah istilah yang dicetuskan arekolog Dr Ali Akbar saat memberi kuliah umum kepada para arkeolog dan mahasiswa di Freie Universitat Berlin, Jerman, 20 Januari 2015. “Saya mengajukan istilah ‘Gigalitik’ untuk jenis bangunan megalitik yang sangat besar dan kompleks yang menunjukkan telah tingginya peradaban yang dicapai umat manusia saat itu,” ujar Wakil Ketua Timnas Gunung Padang Bidang Arkeologi itu kepada KORAN SINDO. <br /><br />Ketika diwawancara koran ini, Ali memang sedang keliling negara Eropa untuk lebih memperkenalkan Gunung Padang ini kepada dunia internasional. Sebelumnya pada akhir 2014, Ali presentasi Situs Gunung Padang di hadapan para ahli arkeologi mancanegara yang berkumpul dan mengadakan seminar di Korea. <br /><br />“Saat ini saya sedang di Jerman memberikan kuliah umum di Freie Universitat Berlin. Banyak respons positif dan pernyataan dukungan dari kolega saya di luar negeri. Perhatian dunia internasional sangat tinggi,” katanya. Judul makalahnya sendiri adalah The Gunung Padang Site in Indonesia (West Java): Its Implication to Researches on Meghaliths and Civilization. <br /><br />Sesuai judulnya, Ali berdasarkan temuan Tim Nasional Gunung Padang membawa pesan bahwa situs batu kuno terbesar di Asia Tenggara ini berpotensi menulis ulang cerita sejarah dan peradaban dunia yang selama ini dikenal manusia. Menurutnya, bangunan megalitik cukup banyak tersebar di berbagai daerah dan negara, namun tidak banyak yang berukuran besar dan kompleks. <br /><br />“Situs Gunung Padang tentu saja berpotensi besar untuk mengubah peta peradaban dunia,” kata Ali. Kata Ali, sudah banyak artefak yang ditemukan oleh Tim Nasional Gunung Padang yang menunjukkan bahwa situs ini pernah dipakai dalam beberapa periode. Artefak dari periode 5200 Sebelum Masehi (SM) antara lain alat besi seperti pisau dan limbah atau terak logam (slag) yang menunjukkan pernah terjadi proses pembuatan artefak logam. <br /><br />Dari periode yang lebih muda ditemukan pecahan keramik Cina dan Eropa yang kemungkinan berasal dari sekitar 1800 Masehi. Koin tahun 1855, 1917, dan beberapa koin periode Kolonial Belanda atau Nedherlands Indie juga ditemukan. Bahkan koin dari tahun 1954 juga ditemukan. <br /><br />“Dalam arkeologi disebut sebagai multicomponent site,” terangnya. Temuan lain diamini oleh kolega Ali di Tim Nasional Gunung Padang Dr Danny Hilman Natawidjadja. Di timnas Gunung Padang, Danny adalah Wakil Ketua Bidang Geologi. Berbagai teknik dan alatnya sudah dipakai untuk meneliti Gunung Padang, mulai dari geolistrik, georadar, geomagnet, seismik tomografi, bor sampling, sampai karbon dating. <br /><br />Secara geologi, menurut Danny, Gunung Padang terdiri dari lapisan kebudayaan yang dibangun dalam waktu dan peradaban berbeda. Lapisan luar umurnya 500 SM yang terimbun 1-2 meter, bahkan di beberapa bagian tersingkap. Lapisan kedua umurnya 7000 SM dan lebih tua dari piramid Giza. <br /><br />Lapisan ketiga 5-15 meter 26000 SM. Menurut Danny, sebelumnya situs dikenal hanya di permukaan berupa batu kolom kekar yang ditata oleh manusia zaman dahulu. Tapi setelah diteliti ternyata area situs meluas terus sampai bawah (lapangan parkir), bahkan strukturnya sampai ke sungai. “Jadi harus ada pemetaan lebih lagi,” kata Danny di kantor KORAN SINDO Jabar Jalan Natuna 8A, Kota Bandung. <br /><br />Danny dan kawan-kawan menemukan di bawah tanah ada struktur yang lebih canggih dengan yang di atasnya, dan ukurannya lebih besar dari Candi Borobudur, dan itu berlapis-lapis. Sampai ke inti dari bukit itu merupakan batuan lava andesit alamiah di kedalaman 15 meter. “Tapi itu juga sudah artifisial (buatan) dan menjadi dasar dari layer-layer (lapisan-lapisan) di atasnya,” jelas Danny. <br /><br />Temuan penting tim peneliti adalah batu kujang. Batu kujang ini ada dua, pertama di permukaan yakni berupa batu kekar kolom dengan ukiran mirip senjata tradisional Sunda. Batu kujang ini ditemukan julu pelihara Gunung Padang. Tapi batu kujang yang ditemukan tim peneliti adalah batu warna abu yang bentuknya benar-benar mirip kujang dan bisa dipakai untuk memotong atau memahat sesuatu. <br /><br />Menurut Danny, batu kujang itu tertimbun di bawah tanah yang berumur 10.000 tahun di atas lapisan ketiga pada kedalaman 3 meter. Batu kujang itu kalau dipegang kasar. Di dalamnya ada butir metal yang menyebar merata. Permukaannya banyak pori dan kalau ditumpahkan air, maka airnya meletup-letup. <br /><br />Mencengangkan, peneliti hingga detik ini tidak bisa menentukan jenis batu apa yang membentuk kujang itu. “Batu kujang kalau di geologi tidak masuk ke mana-mana, andesit bukan, basalt bukan, granit bukan. Dan itu banyak, ada artefak lain yang materialnya sama,” beber Danny. “Kami pun belum tahu apakah itu batuan alamiah tapi khusus, atau bisa juga itu batu yang diadon oleh leluhur kita.“ <br /><br />Artefak terakhir yang ditemukan sebelum tim terpaksa menghentikan eksavasi adalah rolling stones. Batu ini ditemukan di kedalaman eskavasi 11 meter. Batu ada di bawah timbunan tanah di kedalaman. Kata Danny, batu bulat dan ketika dipecah pakai palu geologi, terciptalah ceruk dan di dalamnya ada batu bulat yang bisa berputar seperti tetikus atau mouse komputer.<br /><br />“Tapi batu itu dikembalikan ke dalam tanah karena banyak cerita di luar nalar,” kata Danny. Meski penelitian berhenti sementara, Danny dan tim masih bekerja untuk Gunung Padang, di antaranya mengolah data dan pengujian beberapa sampel, serta membuat jurnal ilmiah untuk publikasi dalam negeri. “PR kami adalah bikin jurnal ilmiah internasional,” kata Danny. <br /><br />Dia yakin bakal menemukan hal penting lain, jika suatu saat penelitian ini dilanjutkan oleh pemerintah. “Kami masih semangat dan yakin bakal banyak menemukan sesuatu. Terutama bentuk lapisan kedua itu seperti apa, ini harus dibuka. Belum lagi chamber (ruangan) di lapisan yang lebih dalam, harus dicari pintunya di mana, dan itu gakbisa langsung dipasang bom,” kata Danny.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-40999835372975797752007-06-25T21:54:00.000+07:002007-06-25T22:25:09.361+07:00Ngahiyang vs Parahiyangan<span style="font-style:italic;">..........<br />Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu <span style="font-weight:bold;">ngahyang</span> atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?<br />..........<br /></span><br /><br />Maaf sekali, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan, namun saya (pribadi) sering tergelitik oleh tulisan2 budayawan Ridwan Saidi.<br /><br />Kata <span style="font-style:italic;">ngahiyang</span> (<span style="font-style:italic;">ngahyang</span>, mungkin bisa disamakan dengan istilah <span style="font-style:italic;">moksa</span> dalam bahasa Jawa) sangat akrab dalam batin orang Sunda (mungkin tidak bagi golongan muda). Hal ini terkait dengan legenda menghilangnya <a href="http://su.wikipedia.org/wiki/Prabu_Siliwangi">Prabu Siliwangi</a>, raja terakhir kerajaan Sunda. Sebagian ada yang mempercayai legenda ini, dan sebagian yang lain menganggap ini legenda belaka. Dari sudut sejarah, pertanyaannya malah bertambah: Prabu Siliwangi yang mana?<br /><br />Kembali ke istilah <span style="font-style:italic;">ngahiyang</span>. Setahu saya, istilah ini tidak mendahului istilah <span style="font-style:italic;">parahiyangan</span> sebagaimana disebut dalam cuplikan artikel di atas. Kata <span style="font-style:italic;">parahiyangan</span> berasal dari kata <span style="font-style:italic;">rahiyang</span> yang diberi imbuhan <span style="font-style:italic;">pa-</span> dan <span style="font-style:italic;">-an</span>. Adapun kata <span style="font-style:italic;">rahiyang</span> sendiri menunjuk pada sebutan untuk raja-raja atau para putra raja. Kata <span style="font-style:italic;">parahiyangan</span> secara khusus tetrdapat dalam naskah <span style="font-style:italic;">Carita Parahiyangan</span>, sebuah naskah Sunda yang menceritakan raja-raja Sunda dari jaman Kendan hingga menjelang runtuhnya pada abad ke-16.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-35559453102088464602007-06-25T20:01:00.000+07:002007-06-25T20:38:00.438+07:00Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian<span style="font-style:italic;">.........<br />Perlawanan tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan intelektual berbasis di desa <span style="font-weight:bold;">Pager Resi Cibinong</span> yang dipimpin oleh Buyut Nyai Dawit. Ia menulis syair perlawanan berjudul <span style="font-weight:bold;">Sanghyang Sikshakanda Ng Karesyan</span> (1518). Di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam dissebut sebagai kaum langgara, dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Selanjutnya, penyebaran Islam di tanah Betawi antara tahun 1527-1650, dilanjutkan oleh Pangeran Sugi dari Kampung Padri dan Kong Ja`mirin dari Kampung Marunda. Menurut Ridwan Saidi, pada masa 1650-1750, tidak diketahui lagi mengenai ulama yang memberikan kontribusi terhadap penyebaran dan perkembangan Islam di tanah Betawi.<br />.........<br /></span><br /><br />Masih dalam artikel yang sama dengan yang disebut pada tulisan terdahulu, pada alinea selanjutnya tertulis sebagaimana cuplikan di atas. Jadi bingung... Dari mana beliau bisa menyebutkan bahwa naskah <span style="font-style:italic;">Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan</span> 'terbit' di Cibinong? Padahal, setahu saya, naskah tersebut ditemukan di <a href="http://su.wikipedia.org/wiki/Ciburuy%2C_Bayongbong%2C_Garut">Kabuyutan Ciburuy</a>, sebuah kampung yang mewarisi peninggalan-peninggalan <a href="http://su.wikipedia.org/wiki/Karajaan_Sunda">kerajaan Sunda</a>, di kaki Gunung Cikuray, Garut.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-75180464207035283932007-06-25T19:33:00.000+07:002007-06-25T19:53:03.554+07:00Carios Parahiyangan<span style="font-style:italic;">..............<br />Generasi penerus penyebaran Islam berikutnya, masih menurut Ridwan Saidi, adalah menak Pajajaran yang seiman dengan Kean Santang, seperti Pangeran Syarif dan Pangeran Papak. Pada saat bersamaan, daya sebar Islam di tanah Betawi mencapai momentumnya oleh peranan para dato, seperti Dato Biru di Rawa Bangke, Dato Tanjung Kait di Tangerang, Kumpi Dato di Depok, Dato Ibrahim dan Dato Tongara di Cililitan. Penyeberan Islam di tanah Betawi penuh dengan peperangan. Menurut Ridwan Saidi sebagai yang dikutipnya dari naskah Sunda kuno <span style="font-weight:bold;">Carios Parahiyangan</span>, tercatat sebanyak 15 kali peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh para dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawesisa yang bertahta sejak tahun 1521 yang dibantu oleh para resi.<br />..............<br /></span><br /><br />Di atas adalah cuplikan artikel di Republika (<span style="font-style:italic;">online</span>) yang berjudul "Genealogi Intelektual Ulama Betawi".<br /><br />Hanya untuk koreksi, dalam khazanah naskah Sunda (setahu saya) tidak pernah ada naskah berjudul '<span style="font-style:italic;">Carios Parahiyangan</span>'. Yang ada adalah '<span style="font-style:italic;"><a href="http://su.wikipedia.org/wiki/Carita_Parahiyangan">Carita Parahiyangan</a></span>', naskah Sunda berisi cerita tentang raja-raja Sunda yang ditulis sekitar abad ke-16 (kalau tidak salah).<br /><br />Dalam bahasa Sunda, kata <span style="font-style:italic;">carios</span> dan <span style="font-style:italic;">carita</span> memang mengandung arti yang sama. Namun, kata pertama, menurut tatanan <span style="font-style:italic;">undak-usuk</span> bahasa Sunda, lebih 'halus' daripada yang kedua. Dan, sesuai dengan pengetahuan saat ini, <span style="font-style:italic;">undak-usuk</span> bahasa Sunda dikembangkan ketika Tanah Sunda dijajah Mataram, mengadaptasi bahasa Jawa yang 'ditata' oleh Sultan Agung, untuk mengukuhkan perbedaan kedudukan sosial (antara bangsawan/<span style="font-style:italic;">menak</span> dan rakyat jelata) dalam masyarakat Jawa. Pada abad ke-16, kata <span style="font-style:italic;">carios</span> sepertinya belum ada dalam kosakata bahasa Sunda.Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-39096815353613664662007-03-29T20:47:00.000+07:002007-03-29T20:52:54.744+07:00Bujangga Menolak Cinta<span style="font-size:85%;">Oleh HAWE SETIAWAN<br /><span style="font-size:78%;">(<span style="font-style: italic;">Pikiran Rakyat</span>, 28 Januari 2007)<br /></span></span><br />KIRANYA tak banyak figur publik seperti Bujangga Manik. Kabarnya, tokoh yang juga bernama Ameng Layaran alias Pangeran Jaya Pakuan ini lebih keren daripada Silih Wangi dan Banyak Catra. Ia pun suka membaca, dan pandai berbahasa asing. Dalam bahasa lagu pop Cirebon, dia pasti bisa disebut "pemuda idaman".<br /><br />Sekali waktu, ketika Bujangga Manik sedang bercengkerama dengan ibunya di istana, datanglah perempuan bernama Jompo Larang. Dia adalah asisten putri cantik dari istana lain yang bernama Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Begitu melihat Bujangga Manik, Jompo Larang terpesona, lantas bergegas kembali ke istananya.<br /><br />Bak reporter <span style="font-style: italic;">infotainment </span>kini, Jompo Larang mendeskripsikan sosok Bujangga Manik dengan penuh semangat kepada bosnya. Dia bilang, Bujangga Manik layak dijadikan pasangan sang putri. Pokoknya, jika waktu itu sudah ada MTV, sang bujangga dan sang putri pasti disebut "<span style="font-style: italic;">chemistry</span>". Ajung Larang pun terpengaruh, bahkan jatuh cinta saat itu juga, mungkin seperti fans berat Ariel Peterpan.<br /><br />Saking cintanya, putri yang cantik dan halus budi itu ingin titip salam dan kirim kado kepada sang bujangga. Karena itu, asistennya segera diutus untuk menemui Bujangga Manik dengan membawa seabreg cendera mata seperti keris baja, pakaian mahal, perhiasan, parfum, buah-buahan, dan perlengkapan mengunyah sirih.<br /><br />Sayang sekali, misi diplomatik mak comblang Jompo Larang tak berhasil. Sang bujangga menolak kiriman sang putri, meski tidak seperti Soekarno menolak bantuan Amerika. Sang bujangga menolaknya secara halus agar tak melukai hati sang putri. Meski ibunya sendiri mendesak agar maksud baik sang putri diterima, Bujangga Manik tak bisa dipaksa.<br /><br />Apa pasal? Harap dicatat, Bujangga Manik bukan sembarang figur publik. Dia adalah rahib. Hidupnya dicurahkan untuk berguru, mendalami ilmu agama, menyelami kitab, dan bertapa. Seks dan harta, agaknya, dia anggap sebagai godaan yang bisa menjauhkannya dari jalan kebenaran. Bahkan saran ibunya itu pun dianggapnya sebagai "jalan ke neraka" (<span style="font-style: italic;">jalan ka na kapapaan</span>).<br /><br />Itulah salah satu hal yang mendorong Bujangga Manik mengembara sepanjang Pulau Jawa, hingga ke Bali, seraya menyendiri. Ia tidak seperti turis yang keluar masuk kafe. Ia menghindari orang banyak, dan hanya berurusan dengan sesama manusia dalam soal-soal teknis semisal ketika ia perlu naik perahu. Di tempat-tempat yang dianggap suci, yakni kabuyutan, dia bertapa, bahkan ada kalanya hingga bertahun-tahun.<br /><br />Namun, sudah pasti, di tempat meditasi orang bahkan lebih keras diuji. Buktinya, sekali waktu, datanglah ke pertapaannya seorang perempuan pertapa (<span style="font-style: italic;">tiagi wadon</span>). Sang perempuan mendekati Ameng Layaran, curhat padanya, dan berharap bisa dianggap adik oleh sang bujangga.<br /><br />Reaksi sang bujangga dari Bogor itu, bisa diduga, tak memperlihatkan antusiasme. Seperti intelektual dalam forum seminar, ia hanya mengutip buku (apus) yang berjudul <span style="font-style: italic;">Siksaguru</span>. Katanya:<br /><br /><span style="font-style: italic;">Kadiangganing ring geni,<br /></span><span style="font-style: italic;">lamun padeukeut deung eu(n)juk,<br /></span><span style="font-style: italic;">mu(ng)ku burung eta seungeut,<br /></span><span style="font-style: italic;">kitu lanang deungeun wadon.</span><br /><br />(Tak ubahnya dengan api,<br />apabila tersentuh ijuk,<br />niscaya akan menyala,<br />bagai pria dan wanita)<br /><br />Dengan cara seperti itulah antara lain Bujangga Manik menghadapi ujian demi ujian. Akhirnya, setelah bertapa sekian tahun dan mengembara sekian jauh, rahib Hindu itu menaruh tubuh (<span style="font-style: italic;">nunda raga</span>) di bumi, dan sukmanya terangkat ke langit hingga menyatu dengan para dewa di surga.<br /><br />Kita tahu, kisah tentang asketisme Sunda itu berasal dari abad ke-16. Jarak waktu yang memisahkannya dengan zaman kita lebih kurang lima abad. Barangkali itulah sebabnya sosok ahli agama yang tergambar di dalam naskah Sunda kuna itu hari ini terasa langka, sulit dicarikan padanannya.***<br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Penulis, penulis lepas, tinggal di Bandung. </span><br /></span>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-38480496495019935932007-03-29T20:29:00.000+07:002007-03-29T20:36:42.289+07:00Bujangga Manik<span style="font-size:85%;"><span style="font-family: georgia;">Oleh HAWE SETIAWAN<br /></span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: georgia;">(<span style="font-style: italic;">Pikiran Rakyat</span>, 2 Desember 2006)</span><br /></span><br /><br />BUJANGGA Manik adalah penyair kelana dari Pakuan (di dekat Bogor kini) yang hidup pada abad ke-16. Sebetulnya, dia adalah ahli waris takhta kerajaan dari Istana Pakuan di Cipakancilan, dengan gelar Pangeran Jaya Pakuan, tapi dia lebih suka menempuh jalan hidup asketis. Sebagai rahib Hindu, dia berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali.<br /><br />Sosok dan kisah perjalanan Bujangga Manik dikenal oleh publik modern berdasarkan sebuah naskah dalam bahasa Sunda Kuna di atas daun lontar, karya sang rahib. Naskah itu didapatkan oleh seorang saudagar dari Newport, bernama Andrew James, lalu diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, di Oxford, Inggris, yang diperkirakan berlangsung pada 1627 atau 1629.<br /><br />Popularitas naskah itu kini tak bisa dilepaskan dari andil J. Noorduyn (w. 1994). Peneliti dari Belanda itu amat berjasa dalam upaya menggali kandungan pengetahuan dari naskah itu, dan memperkenalkan isinya kepada khalayak ramai, tak terkecuali masyarakat Sunda. Pada 1968 dia sudah menyinggung-nyinggung adanya naskah Sunda dari Bodleian itu. Sebagian temuannya mulai ia umumkan pada 1982 melalui jurnal <span style="font-style: italic;">Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde</span> nomor 138, hlm. 411-442.<br /><br />Setelah Noorduyn wafat, penelitiannya dilanjutkan oleh ahli sastra A. Teeuw, juga orang Belanda, yang antara lain dibantu oleh filolog Undang Darsa dari Universitas Padjadjaran. Teks, terjemahan (dalam bahasa Inggris), dan analisis atas naskah Bujangga Manik kini dimuat dalam buku <span style="font-style: italic;">Three Old Sundanese Poems</span> (<span style="font-style: italic;">Tiga Puisi Sunda Kuna</span>) karya J. Noorduyn (posthumous) dan A. Teeuw (KITLV Press, Leiden, 2006).<br /><br />A. Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511.<br /><br />Perjalanan Bujangga Manik itu sendiri berlangsung dalam dua fase. Pertama, sang rahib berjalan kaki dari Pakuan hingga Jawa Timur, melalui jalur utara, lalu kembali ke Pakuan dengan menumpang kapal yang bertolak dari Malaka. Kedua, dia nikreuh lagi dari Pakuan ke Jawa Timur, lalu menyeberang ke Bali, dan kembali ke Pakuan melalui jalur selatan. Akhirnya, dia bertapa di gunung, di Tatar Sunda, agaknya hingga mencapai moksha.<br /><br />Naskah ini amat memukau bila kita memerhatikan sedikitnya dua aspek dari isinya. Pertama, Bujangga Manik menyajikan sebentuk catatan perjalanan yang, sebagaimana ditelaah oleh Noorduyn, mengandung data topografis yang terperinci dan akurat.<br /><br />Dalam tulisannya, "Bujangga Manik's Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source" (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)" Noorduyn menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar mengacu pada keadaan di Pulau Jawa.<br /><br />Kedua, Bujangga Manik juga mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan. Baik kita petik baris-baris pada bagian awalnya, dan kita coba terjemahkan secara leluasa:<br /><br /><span style="font-style: italic;">A(m)buing tatanghi ti(ng)gal,</span><br /><span style="font-style: italic;">tarik-tarik dibuhaya,</span><br /><span style="font-style: italic;">pawekas pajeueung beungeut,</span><br /><span style="font-style: italic;">kita a(m)bu deung awaking,</span><br /><span style="font-style: italic;">hengan sapoe ayeuna,</span><br /><span style="font-style: italic;">aing dek leu(m)pang ka wetan</span><br /><br />(Ibuku, bangun dan tinggallah,<br />meski kautarik sekeras buaya,<br />ini kali terakhir bersitatap,<br />engkau, ibu, dan aku,<br />tinggal sehari ini,<br />aku mau pergi ke timur)<br /><br />Maka pergilah sang penyair kelana menuruti arah sukmanya, meski tangis membasahi istana, dan orang-orang di jalan ramai bertanya. Ia tak terganggu.<br /><br />Begitulah, naskah Bujangga Manik kiranya adalah catatan perjalanan sekaligus ungkapan nilai keagamaan. Noorduyn sendiri, agaknya, melihat hal itu. "Menyelami asketisme berarti menolak dunia ke tingkat yang setinggi-tingginya, termasuk kalau perlu menyepikan diri dari orang banyak, sekalipun dalam perjalanan. Inilah tampaknya isyarat yang tersirat dari gambaran perjalanan Bujangga Manik," tulisnya.***<br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Penulis, Penulis lepas, tinggal di Bandung.<br /></span></span>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-1154659355347299562006-08-04T09:39:00.000+07:002006-08-04T09:42:35.706+07:00Kapamingpinan Sunda<span style="font-size:85%;">Oleh EDDY D. ISKANDAR</span><br /><br />"SELAMA ini kalau kita berbicara tentang kasundaan, hanya terbatas pada seni budaya. Sering kali hanya itu. Padahal kalau kita berbicara tentang Sunda, paling tidak ada aspek sarakan, dan aspek lingkungan. Jadi kalau ada pertanyaan; pemimpin Sunda masa depan yang diharapkan itu seperti apa, yaitu pemimpin Sunda yang didalam membuat kebijakan-kebijakannya tidak merusak sarakan, atau tidak merusak lingkungan, dan kebijakan-kebijakannya pro rakyat. Kalau sekarang ada pemimpin Sunda yang nyaah kepada kesenian tapi banyak kebijakan-kebijakan yang dia lakukan tidak menunjukkan rasa cinta terhadap sarakan, dan tidak pro urang Sunda - bahkan menyengsarakan, maka kasundaannya belumlah komplet"<br /><br />Pendapat tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir., DEA, 18 April lalu, sebagai pembicara dalam acara "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" di aula Pikiran Rakyat.<br /><br />Belakangan ini, seakan ada "kerinduan" munculnya pemimpin Sunda yang benar-benar aspiratif, yang mampu mencerminkan seperti apa yang digambarkan oleh Ganjar. Sekian banyak diskusi, seminar, atau tulisan apapun tentang kepemimpinan Sunda, cenderung hanya sebatas wacana, bahkan tak jarang memunculkan amarah dan keluh kesah.<br /><br />Melihat kenyataan jumlah orang Sunda yang ada di DPRD Provinsi Jabar sekarang ini minoritas, maka reaksi yang diungkapkan dalam beragam tulisan adalah kekecewaan atau "saling menyalahkan", tanpa membuat solusi yang berorientasi ke depan, bagaimana mengatasi kenyataan seperti itu. Ada kalanya, malah terjebak ke dalam kebanggaan masa silam, menyebut sosok satu atau dua pemimpin Sunda yang berhasil, lalu mengungkapkan serentetan kelemahan pemimpin Sunda sekarang. Hanya sebatas itu.<br /><br />Dalam banyak tulisan atau kegiatan diskusi, masalah kepemimpinan Sunda sering kali terlontar dari orang yang "belum pernah jadi pemimpin", sehingga apa yang diungkapkan hanyalah sebatas wacana. Kita tidak pernah mendengar pengalaman atau pendapat dan sikap mereka yang pernah jadi pemimpin atau yang masih memimpin. Bahkan sudut pandang kepemimpinan Sunda hanya dilihat dari ruang lingkup yang lebih sempit dengan mengungkapkan contoh-contoh yang ideal menurut gambaran yang mengawang.<br /><br />Padahal, realitasnya masih ada pemimpin Sunda yang memiliki kemungkinan menjadi pemimpin masa depan. Kita malah mengabaikan seorang Marty Natalegawa, yang dalam usia yang masih muda sudah menjadi Duta Besar RI di Inggris. Atau malah sampai sekarang tidak pernah ada konsep, bagaimana caranya memunculkan pemimpin Sunda yang berkualitas.<br /><br />Apa yang kemudian dilakukan oleh Panitia Tetap "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda untuk Menjawab Tantangan Masa Depan", diharapkan mampu membuat solusi untuk melahirkan pemimpin Sunda dengan konsep yang terstruktur - sehingga menjadi kebijakan pemerintah daerah, bukan lagi sekadar wacana.<br /><br />"Penyelenggaraan serial Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda ini kami gagas dalam upaya turut menyusun rancangan bahan resolusi kebijakan keur ngawangun kareueus jeung kanyaah ka sarakan urang, dalam menghadapai tantangan masa depan bangsa.<br /><br />Tujuan dan sasaran yang dicapi melalui forum dialog ini adalah membangun kesadaran rasa kasundaan sebagai nilai potensial yang fokus kajiannya diarahkan pada usaha penggalian dan perumusan standar kompetensi kepemimpinan Sunda melalui bahasan dialog, antara lain; Sejauh mana dinamika demokrasi yang otonom telah menerpa nilai-nilai kehidupan dan bagaimana merancang serta mengelola berbagai perubahan nilai secara proporsional dan tepat sasaran?" ujar penggagas dialog, Drs. Ubun R. Sah.<br /><br />Sedangkan Drs. Uu Rukmana, sebagai pengarah, mengharapkan agar Dialog Kompetensi Kepemimpinan ini jangan hanya dijadikan sebatas wacana, melainkan harus diikuti dengan kerja dan langkah-langkah nyata yang konsepsional, terarah, komprehensif, dan terukur, yang akhirnya akan bermuara pada pencapaian masyarakat adil makmur, sesuai dengan cita-cita proklamasi. Urang Sunda harus berperan di tingkat nasional, jangan hanya berperan di lembur sorangan, atau dianggap jago kandang. Urang Sunda juga harus mampu menghapus anggapan jelek; ku naon urang Sunda kalau sudah jadi pingpinan nasional sok poho ka lembur?<br /><br />Tentu banyak hal menarik, ketika pemimpin Sunda menyampaikan "pengalamannya dalam memimpin", bahkan dengan bicara tanpa teks, diluar dugaan mampu mengungkapkan hal-hal yang tak terduga, seperti apa yang dikemukakan oleh pembicara lainnya dalam "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" seri pertama, yaitu mantan Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. H. Edi Darnadi, yang sudah 32 tahun bertugas di berbagai provinsi di Indonesia.<br /><br />"Betapa gigihnya para sesepuh Sunda zaman dahulu menggali apa yang terjadi dalam perjalanan panjang sejarah bangsa kita. Dan itu terungkap melalui pemahaman-pemahaman dalam pedoman hidup, sebuah warisan berharga sebagai pegangan dari pemimpin terendah hingga pemimpin tertinggi. Kita mulai dari pemimpin keluarga. Ada peribahasa gagade bari nyarande. Setiap orangtua, pasti senantiasa mendambakan anaknya maju, jauh melebihi kemajuan yang dicapai oleh orangtuanya.<br /><br />Kata ayahnya -”Kilangbara atuh, bapa jadi patani, maneh mah kudu jadi pamingpin-”. Jawab anaknya,"Atuh, Pa. Piraku bapa ngongkosan abdi, ngaluarkeun ongkos langkung tina kabutuhan bapa. Kata ayahnya, Keun bae bapa mah gagade bari nyarande ge, asal hidep bisa leuwih ti bapa". Itu adalah contoh kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang ayah. pemimpin yang berani berkorban untuk kemajuan anaknya. pemimpin harus seperti itu, ia harus lebih mementingkan kesejahteraan dan kemajuan anak buahnya.<br /><br />Jangan jadi pemimpin yang nyalindung ka gelung. Tergantung pada orang lain, tidak punya sikap. Coba kita guar istilah haripeut ku teuteureuyeun. Itu kan gambaran keserakahan. Kalau jadi pemimpin jangan haripeut ku teuteureuyeun. Artinya, jangan serakah, jangan korupsi atau kolusi. Begitu kira-kira. Kemudian istilah kejot borosot. Anak-anak sekarang mungkin tidak mengenal ungkapan itu. Maksudnya; seorang pemimpin janganlah mengambil keputusan cepat atau tergesa-gesa.<br /><br />Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang sesungguhnya bukan sekadar ungkapan, istilah, atau peribahasa, sebab kalau dihayati ternyata memiliki makna yang dalam sebagai pedoman hidup. Dan kalau petuah para sesepuh itu dijalankan, dilaksanakan, akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi. Saya kira sangat banyak ungkapan-ungkapan Sunda yang bisa dijadikan pedoman untuk dikonsepkan, sehingga Kepemimpinan Sunda tetap berpijak pada filsafat kasundaan".<br /><br />Meskipun ada yang beranggapan, bahwa diskusi atau wangkongan tentang kepemimpinan Sunda hanya sebatas wacana, tak ada kemajuan, tidak ada lajuning lakuna, kitu keneh-kitu keneh wae, bagi Edi Darnadi kemajuan itu sudah ada, walaupun tidak sebesar yang diharapkan. Kemajuan yang ia maksudkan adalah kemajuan perorangan. Ia sendiri merasakan bisa melaju sebagai "pemimpin", karena konsisten menjalankan pedoman warisan para sesepuh Sunda. Yang diperlukan saat ini, menurut Edi rasa kebersamaan, menyamakan persepsi, menyatukan konsep, sehingga kriteria pemimpin Sunda seperti apa yang dikemukakan Ganjar Kurnia, ke depan bisa terealisasi.<br /><br />Menurut anggota Pantap "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda", R.H. Maman H. Wangsaatmaja, dialog tersebut akan dirancang sepuluh seri dengan menampilkan dua pembicara tiap serinya. Tidak ada debat pendapat atau saling menyalahkan, sebab yang diutamakan adalah "curah pendapat" atau masukan yang nantinya akan dirumuskan, agar dijadikan suatu kebijakan pemerintah, dan disosialisasikan secara meluas.<br /><br />"Peserta dialog, tiap serinya berbeda-beda, karena kita akan menyerap curah pendapat dari berbagai kalangan profesional - untuk dijadikan bahan rumusan yang terstruktur," tutur Maman.<br /><br />Kita berharap agar "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" bisa menjadi satu wadah untuk menyamakan persepsi dalam melahirkan calon pemimpin Sunda yang berkualitas. Pemimpin Sunda yang kata Ganjar Kurnia; nyaah ka sarakan, nyaah ka lingkungan, pro rakyat.<br /><br />Atau seperti yang diungkapkan oleh Pangdam III Siliwangi Mayjen Sriyanto, ketika menerima Pantap Kepimpinan Sunda di kantornya tanggal 1 Agustus lalu, falsafah Sunda dan Siliwangi itu luar biasa manfaatnya jika dilaksanakan, terbukti dengan keharuman Divisi Siliwangi hingga saat ini. Tapi urang Sunda juga mesti memahami kelemahan-kelemahannya. Kalau mau jadi pemimpin masa depan, kata Sriyanto, selain harus nyaah ka rayatna atau gumati ka nu leutik, cinta pada tanah airnya atau sarakan, juga mesti punya karakter, tegas dalam menyatakan sikap, cerdas dan cepat tanggap, punya konsep yang jelas, mampu menjadi panutan, dan punya ambisi besar untuk menjadi yang terbaik dengan merebut posisi pemimpin tertinggi.***<br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Penulis, budayawan dan novelis, tinggal di Bandung.</span>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-1149772670790042982006-06-08T20:15:00.000+07:002006-06-08T20:17:55.323+07:00Iyar Wiarsih, "Mojang Priangan Tea"<p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">GENERASI yang kini berusia di atas 40 tahun pasti kenal dan masih hafal lagu Mojang Priangan yang pernah mencapai puncak ketenaran selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1960. Selama periode itu, lagu tersebut berhasil mencapai masa jaya sehingga sekaligus mengangkat citra tentang mojang-mojang dari Priangan.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Mojang dalam bahasa Sunda artinya gadis, sedangkan Priangan adalah pusat Tanah Sunda. Karena keindahan alamnya, psikolog MAW Brouwer (almarhum) sering mengungkapkan Tanah Priangan sebagai "daerah yang diciptakan Tuhan pada saat tersenyum".</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Sebagai lagu Sunda, Mojang Priangan berhasil memperpanjang masa jaya lagu-lagu Sunda yang sebelumnya dipopulerkan Upit Sarimanah (almarhum) dan Titim Fatimah (almarhum). Keduanya merupakan pesinden atau juru kawih lagu-lagu Sunda yang legendaris dan hingga kini belum ada gantinya.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">"Pada mulanya, saya tidak menduga lagu itu akan begitu populer," kenang sang pencipta lagu Iyar Wiarsih.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Juru kawih yang dikenal sangat selektif memilih nayaga pengiringnya itu ternyata masih tetap memiliki suara emas walaupun usianya sudah 71 tahun. Pantas jika belakangan ini ia dipilih menjadi pendamping Euis Komariah. Salah seorang penembang lagu-lagu Cianjuran tersebut tengah berusaha membawakan lagu-lagu tradisi yang biasa diiringi gamelan ke dalam tembang Cianjuran.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">BIASA dipanggil "Mamah Iyar", ibu dua anak dan nenek tujuh cucu serta buyut empat cicit itu masih tampak gesit. Bahkan, untuk wanita seusianya, aktivitasnya tidak hanya sebatas mengikuti pengajian. Selain berusaha menularkan ilmunya, sesekali ia dipercaya menjadi juri dalam berbagai kegiatan lomba lagu-lagu Sunda.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Iyar Wiarsih bukan hanya dikenal sebagai juru kawih gamelan yang terkenal pada zamannya. Ia sekaligus merupakan saksi hidup masa jaya kesenian Sunda dan peran Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat itu, lagu-lagu Sunda berhasil mengungguli lagu-lagu Indonesia.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Coba saja, siapa yang tidak kenal dengan lagu Dikantun Tugas yang melukiskan nasib seorang istri yang ditinggal suaminya yang bertugas ke medan perang. Lagu tersebut ia ciptakan setelah Presiden Soekarno menyampaikan komando Trikora (Tiga Komando Rakyat).</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Namun, Iyar bukan hanya dikenal sebagai juru kawih dengan suara emas. Ia dikenal pula sebagai pencipta lagu yang produktif. Selama kariernya sebagai juru kawih, ia mencipta tidak kurang dari 58 lagu. Beberapa lagu ciptaannya yang sempat populer antara lain Kalakay Murag, Wanita Jaya, Reret Mojang, dan Gutak-gitek.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Padahal, jika dilihat dari pendidikan formalnya di bidang kesenian, ia tidak berbeda dengan juru kawih lagu-lagu Sunda pada umumnya yang hanya mengandalkan praktik dari satu panggung ke panggung lainnya. Satu-satunya perbedaan terletak pada semangat dan ketekunannya untuk belajar. Kemampuannya dalam olah suara sudah diasah sejak kecil tatkala usianya baru sembilan tahun.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Lahir 21 September 1932 dari keluarga seniman tradisional di Kampung Cilunjar, Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Bandung, bakatnya sudah tampak sejak kecil. Ayahnya, Enduy Kartaatmadja, dikenal sebagai pemetik kecapi dan pembawa wawacan (cerita atau kisah dalam bahasa Sunda yang dibawakan dalam bentuk dangding) kemudian menitipkan pada Sastra, temannya yang menjadi pemain rebab. Rebab adalah instrumen gesek dalam gamelan Sunda. "Saya belajar mengenal seni Sunda dari Pak Sastra," katanya tentang almarhum gurunya.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Dalam usianya yang masih sangat muda, anak pertama dari delapan bersaudara itu sudah belajar membawakan lagu-lagu dasar tatkala usianya baru menginjak sepuluh tahun. Setahun kemudian, Iyar yang saat itu sering dipanggil nyai oleh nayaga atau awak gamelan lainnya sudah diajak tampil di atas panggung. Dalam masyarakat Sunda, nyai sama artinya dengan neng, yakni panggilan untuk anak gadis.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Setelah sukses di atas panggung, sejak usia 13 tahun, Iyar aktif mengisi acara siaran di Radio Nirom, sebuah stasiun radio pemerintah kolonial Belanda. Padahal, saat itu, seleksi untuk bisa mengudara sangat selektif.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Gadis remaja itu rupanya berusaha mengadu nasib di Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, tahun 1947, ia sempat menjadi juru kawih gamelan Sekar Arum dan Satia Manah yang mengisi acara tetap di studio RRI Jakarta. Namun, setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Bandung. Alasannya, honor yang diterima tidak memadai. Maklum, nasib kesenian pada awal kemerdekaan.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">SETELAH kembali ke tempat dilahirkan, penulis buku Pasinden jeung Rumpakana (Juru Kawih dan Lirik Lagu) yang banyak dijadikan pedoman oleh pesinden-pesinden itu memperoleh pelajaran berkat pergaulannya dengan seniman-seniman kesenian Sunda. Apalagi setelah ia bergabung dalam gamelan Sundayana yang dipimpin suaminya, Warsa Muharam.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Lagu Mojang Priangan yang kemudian melahirkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1985) dan Bupati Bandung (1993) pada awalnya lahir dari sebuah senandung. Dengan bantuan kecapi, suaminya kemudian berusaha menyusun notasinya. Tetapi tatkala lirik lagu tersebut sudah selesai dikerjakan, ia bingung memberi judulnya. "Mula-mula diberi judul Putri Priangan," katanya.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Karena dianggap kurang cocok, judulnya kemudian diubah menjadi Dara Priangan, lalu Gadis Priangan. Namun, belakangan, ia memilih Mojang Priangan, sebuah judul yang ia anggap sangat pas karena menggunakan kata yang sangat kental dengan bahasa Sunda. Lagu itu bukan hanya menjadi trademark-nya Iyar Wiarsih, tetapi sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Sunda.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">MENEMPATI sebuah rumah sederhana di bilangan Padalarang, Bandung, Iyar Wiarsih yang pernah menjadi staf pengajar kepesindenan di Konservatori Karawitan Bandung (1966-1970) itu ternyata masih memperlihatkan ciri khas suara emasnya. Selama berbincang-bincang, pembicaraannya sesekali diseling dengan senandung, walau tanpa iringan gamelan.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">"Juru kawih sekarang beruntung karena mereka banyak ditolong kemajuan teknologi," kata penerima penghargaan dari Menteri Penerangan (1977) dan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981) itu. Katanya, suaranya yang fals bisa ditutupi karena menggunakan audio yang modern. Sebaliknya dengan juru kawih pada zamannya. Tanpa bantuan pengeras suara, tanpa bantuan peralatan audio lainnya, setiap juru kawih akan kelihatan sekali suara aslinya.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Sayangnya, dukungan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penguasaan dalam membawakan lagu. "Juru kawih sekarang, baru bisa satu-dua lagu sudah tampil di atas panggung karena ukurannya bukan keterampilan, tetapi tampilan fisik," katanya. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah sebagai juru kawih sehingga hal ini saling berpengaruh antara nasib lagu-lagu Sunda dan apresiasi masyarakatnya.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Padahal, seorang juru kawih harus mempelajari dulu dan menguasai lagu-lagu dasar, misalnya Sekar Ageung dan lagu lainnya. Para nayaga-nya juga harus memiliki apresiasi tinggi karena mereka benar-benar sebagai nayaga. "Bukan sebagai pekerjaan sambilan," tuturnya. Dengan demikian, ketika mereka tampil, kesalahan sekecil apa pun bisa segera terasa. Seorang juru kawih juga harus bisa menangkap "keinginan" dalang, kapan ia harus menembang dan kapan harus berhenti.</span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Kecewa karena tidak menemukan lagi nayaga yang memenuhi harapannya, juru kawih yang mandiri itu lebih memilih menarik diri dari atas panggung. Seni Sunda benar-benar merasakan kehilangan. Apalagi setelah ia mengundurkan kegiatannya di RRI Bandung dan salah satu radio swasta. (Her Suganda)</span></p>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-1149642726590051322006-06-07T08:10:00.000+07:002006-06-07T08:12:06.680+07:00Syekh Hasanuddin: pendiri pesantren pertama di Jawa Barat<p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Menurut <i>Babad Tanah Jawa</i>, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"><b>Ditentang penguasa Pajajaran</b><br />Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab <i>Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan</i>. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Menyebar santri untuk berdakwah<br />Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba. </span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan <i>dakwah bil hikmah</i>. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;"> </span> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#000000;">Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.</span></p> <span style="font-family:Arial;font-size:100%;color:#6b6b6b;">( uli/berbagai sumber )</span>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-17877426.post-1149642534527152782006-06-07T08:05:00.000+07:002006-06-07T08:08:56.520+07:00Situs Kendan di Nagrég: jadi TPS atau Pekuburan?<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;"><small>Oleh PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR</small></span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan bangunan pengolahan sampah secara modern.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan, lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda), jangan sampai terulang kembali.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify; font-weight: bold;"><span style="font-family:Times New Roman;">Situs kepurbakalaan Kendan</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timur-laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut <i>pamujaan</i> (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas <i>kabuyutan</i>. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah <i>Carita Parahiyangan</i> pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify; font-weight: bold;"><span style="font-family:Times New Roman;">Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah <i>Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4</i>, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify; font-weight: bold;"><span style="font-family:Times New Roman;">Penerus tahta Kerajaan Kendan</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify; font-weight: bold;"><span style="font-family:Times New Roman;">Pendahulu Kerajaan Galuh</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M). </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.</span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya. </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;">Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan) sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut Bandung.*** </span></p> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Times New Roman;"> </span></div> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Times New Roman;"><i>Penulis,</i> <i>Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.</i></span></p>Nandarhttp://www.blogger.com/profile/07939598156907340424noreply@blogger.com0