12.4.06

Negeri Mandiri di Pojok Negara

Indira Permanasari dan Amir Sodikin

(Kompas edisi Rabu, 24 Agustus 2005)

Mereka terisolasi, namun justru itulah yang membentuk identitas dan etnisitas mereka. Kuat tercitrakan sebagai masyarakat adat mandiri, sekalipun tak mendapat sentuhan negara. Keterisolasian justru menjadi daya pikat, memukau orang-orang kota. Simaklah, orang-orang kota yang modern terkesima! Ternyata tradisionalisme mampu menawarkan cara hidup yang lebih sentosa.

Hari itu ribuan orang terus mengalir menuju lembah di kaki Gunung Halimun, tepatnya di kampung adat Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka tak peduli lagi jalan penuh tanjakan, turunan, dan tikungan tajam di bibir jurang hutan primer Gunung Halimun. Tekad mereka sama, menyaksikan upacara seren taun atau syukur panen yang digelar akhir pekan pertama Agustus lalu.

Upacara semacam thanksgiving itu dipusatkan di halaman imah gede, di tempat pemangku adat tertinggi atau biasa disebut kolot girang Kasepuhan Banten Kidul AE Sucipta (38) atau dikenal sebagai Abah Anom memberikan pidato. Di depan rakyat yang datang dari Sukabumi, Bogor, Lebak, Bandung, dan Jakarta itu Abah Anom tidak hanya memberikan wejangan, namun juga menyampaikan laporan pembangunan mulai dari pembangunan jalan hingga pembangkit listrik.

Laporan nota keuangan juga disampaikan secara ringkas di hadapan 740 baris kolot lebur dan ribuan rakyat. Kolot lebur adalah sesepuh perwakilan kampung dari berbagai penjuru, semacam menteri yang menjadi pembantu Abah Anom di daerah. Di tangan baris kolotlah segala ketentuan dari pusat tatanan adat sampai ke rakyat.

Begitu teratur, perkampungan Ciptagelar telah memberikan nuansa daerah terisolasi tak selamanya miskin. Warga hidup damai, berkecukupan, dan memiliki sesuatu yang didambakan masyarakat kota selama ini yaitu waktu luang (leisure time) yang panjang. Dikitari sawah hijau menghampar, riak air terus mengalir, rumah adat yang berdiri kokoh dan bersih, serta ketersediaan sumber daya alam yang mencukupi. Sebuah desa yang sebenar-benarnya.

Semua itu tak lepas dari sosok Abah Anom. Abah ini walaupun memangku jabatan kolot girang sejak remaja, namun warga tetap tunduk dan setia. Uniknya, kepatuhan dan ketundukan itu bukan karena berbagai mitos yang tercipta atau diciptakan. Kami tunduk karena memang aturan adat telah menggariskan Abah yang menjadi pemimpin, kata Ki Hendar.

Abah memang banyak dicari orang. Antrean tamu bisa sampai berhari-hari menunggu giliran bertemu. Namun demikian, berbeda dengan tokoh lain, sosok ini tak dikultuskan secara keramat. Sosok Abah tetap sederhana dan merakyat, inilah yang membuat kami makin setia, kata Hendar.

Tata kelola

Warga yakin, Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi.

Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lebur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lebur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk.

Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, kata Marjuhi.

Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat. Fungsi-fungsi yang biasanya ada di antaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda.

Di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas.

Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton, Ki Radi (50) namanya. Malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, kini gilirannya bertugas. Membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun.

Dari pantun-pantunnya, dipercaya terlantun doa agar desa itu terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. Isi pantun merupakan refleksi untuk mengingatkan identitas etnis serta sistem religi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.

Sistem refleksi itu telah menjadi alat penyembuh sosial (social healing) atau biasa disebut menjadi ruwatan terhadap desa tersebut. Karena itu, Abah Anom tidak sembarangan menunjuk pemetik kecapi buhun. Ada tidak ada penonton, saya tetap akan berpantun karena ini tugas dari Abah, katanya.

Setiap orang yang ditunjuk dengan sukarela akan menjalankan tugasnya dengan setia sebagai bagian dari tradisi. Tradisi itulah yang membuat mereka bertahan di daerah terisolir jauh dari sentuhan negara.

Fasilitas publik

Pendidikan juga diselenggarakan mandiri. Di Ciptagelar yang baru berdiri empat tahun lalu telah ada tiga lokal sekolah yang pendiriannya dibantu Bank Jabar. Pengajar di sekolah itu, sebut Upar Suparwan (28), bekerja sukarela dengan bayaran Rp 300.000 per tahun dan kadang hanya dibayar padi 18 pocong per tahun.

Ciptagelar juga memiliki media informasi berupa radio komunitas. Investasinya dibantu Institut Bisnis dan Ekonomi Rakyat, Rp 8 juta untuk membeli sejumlah peralatan.

Pendiri radio komunitas, Ugi Sugriana (20), yang juga anak Abah Anom, mengatakan radio komunitas didirikan untuk mengembangkan adat dan budaya. Berbagai ragam kesenian Sunda seperti kesenian wayang golek, klasik sunda, dan dog dog lojor diperdengarkan. Ke depannya akan diupayakan program pendidikan dan kesehatan.

Ciptagelar juga dikenal mandiri untuk pembangunan berbagai fasilitas mulai dari jalan hingga permukiman. Mereka juga tak tergantung dengan dunia luar. Kebutuhan energi terutama dipasok dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Orang sini terkenal pandai membuat kincir air, biasanya sering diminta untuk membuat kincir di daerah lain, kata Eeng.

Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat. Mereka bekerja lintas administrasi desa. Wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di negeri yang penuh kedamaian itu, tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan adat.

Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistik yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan.

Tidak hanya jumlah penduduk, pongokan juga turut menghitung jumlah hewan piaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraan memengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab, dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.

Statistik yang demikian lengkap membuat data yang dimiliki Abah sering dijadikan panduan oleh perangkat desa. Tahun ini, jumlah bayi yang lahir bertambah banyak. Tahun kemarin hanya 400 bayi, sekarang 600 bayi, kata Abah.

Pertambahan penduduk perlu dipantau karena berakibat pada daya dukung alam yang selama ini menopang mereka. Kampung Abah memang sering berpindah. Sudah 11 kali kasepuhan itu pindah tempat.

Sulit untuk mendeskripsikan bagaimana posisi struktur tata kelola adat di Kasepuhan Banten Kidul. Salah satu titik terang untuk menjelaskan fenomena itu adalah Abah tidak peduli dengan struktur, yang penting fungsional. Abah tidak peduli jabatan, yang penting bagaimana berbagi peran. Semua terlibat dan bekerja sesuai peran, tanpa komando dan tanpa bayaran, kata Eeng Suyanto, anggota kasepuhan dari kota yang menyebut dirinya baris koboi.

Baris koboi adalah istilah orang-orang kota untuk menamai barisan tandingan dari baris kolot yang sudah ada sebelumnya. Bukan tandingan untuk berebut pengaruh, melainkan untuk memperkuat fungsi kehumasan ke dunia luar. Kemeriahan seren taun memang tak terlepas dari desain dan kehumasan para baris koboi.

Fathir Muchtar, artis sinetron adik Bucek Deep, adalah salah satu orang kota yang terpesona dengan tatanan di Ciptagelar. Karena itu, kedatangan dia ke acara seren taun bukanlah sebagai artis. Dia menjadi peserta pengiring arak-arakan padi sebagai pemain debus sungguhan yang tubuhnya kebal dari senjata tajam.

Saya di sini bukan artis, saya baris koboi, katanya bangga.

Direktur Utama PT Lintas Jeram Nusantara Lody Korua yang mengelola wisata arung jeram Arus Liar di Sungai Citarik hampir tiap tahun hadir dalam acara seren taun. Sebagai baris koboi, secara moral memiliki solidaritas kuat untuk mendukung acara itu. Seren taun kali ini Lody membawa tamu-tamu dari kota dengan dua buah mobil off-roadnya. Kerja Lody dan koboi-koboi lainnya adalah kerja sosial, tanpa komando, tanpa bayaran, sehingga harus keluar duit sendiri.

No comments: