28.1.16

10.000 Tahun Lalu, Manusia Masih Hidup dalam Goa

ti Koran Sindo, 27 Januari 2016

Arkeolog dari Balai Arkelogi (Balar) Bandung Luthfi Yondri menilai temuan situs peradaban masa lalu di Gunung Padang hanyalah berupa punden berundak atau sebuah peninggalan peradaban akhir masa prasejarah (paleo metalik).

Sehingga dia menyangsikan hipotesis penelitian yang menyebutkan adanya jejak peradaban berusia lebih dari 10.000 tahun. Untuk membuktikan jejak budaya masa lalu, Luthfi sebenarnya telah melakukan penelitian sejak 1996-1997, penelitian itu juga, kemudian dilakukan dengan proses eksavasi di 2002 dan 2003. “Saya juga sempat ambil sampel untuk uji lab pada batu di Gunung Padang, tak ada data yang menyebutkan ada jejak peradaban berusia 11.000 tahun lebih di Nusantara,” tuturnya.

Tentang pola kehidupannnya manusia masa lalu di Gunung Padang, Luthfi mengatakan masyarakat saat itu juga sudah mengenal budaya pengagungan arwah leluhur, seperti peninggalan situs punden berundak yang berada di puncak Gunung Padang. Umumnya pada era itu, tempat atau bukit tinggi dijadikan lokasi pelaksanaan upacara pemujaan.

“Budaya pengagungan leluhur seperti itu memang diusung masyarakat saat itu, mereka berkeyakinan pegunungan atau bukit-bukit tinggi menjadi tempat bersemayamnya arwah leluhur. Dan itulah jejak peradaban masa lalu yang ada di Gunung Padang,” lanjut Luthfi. Untuk itu, Luthfi menyangsikan hasil temuan baru beberapa tahun lalu, dimana tim peneliti meyakini adanya peradaban tua yang terkubur di bawah Gunung Padang.

Bahkan untuk memverifikasi dugaan tersebut, Luthfi telah melakukan kajian perkembangan kebudayaan yang pernah ada di Nusantara. Dari kajiannya mustahil ditemukan peradaban tua berusia lebih dari 10.000 tahun lalu, karena pada masa itu manusia masih tinggal di gua (hingga akhir angka 4.000 tahun lalu).

“Dari data yang saya dapat selama ini, tidak ada satu pun yang menyebutkan adanya jejak peradaban pada 10.000 tahun lalu,” tambahnya. Luthfi juga membenarkan pendapat Sutikno yang telah meninjau masa lalu Gunung Padang dari kajian geologi. Menurutnya, situs Gunung Padang merupakan struktur bangunan yang dibangun manusia dengan menggunakan bebatuan alam gu - nung purba.

“Gu nung Padang adalah sisa gunung purba yang meletus jutaan tahun lalu. Lalu beribu tahun kemudian datanglah budaya, dimana manusia saat itu membuat sebuah struktur (punden berundak) yang dibuat dari sisa gunung api purba ,” tuturnya. Pendapatnya tersebut diperkuat catatan longsor terakhir Gunung Padang sekitar 5300 SM, kemudian jejak peradaban terakhir di Gunung Padang yang berkisar 16 SM.

Luthfi mengatakan, meski pada jutaan tahun lalu telah terjadi bencana purba, namun dia menegaskan masa purba itu tak disertai dengan adanya peradaban. “Peradaban masa lalu yang ada di Gunung Padang hanyalah berupa punden berundak, itulah bangunan masa lalu yang ada,” ujarnya.

Antara Mitos, Mistis, & Nilai Filosofis

ti Koran Sindo 27 Januari 2016

Sampurasun..... Amit ampun nya paralun, ka gusti nu maha suci.... neda pangjiad pangraksa abdi keumpeul Seuweu Siwi... Seja ngaguar laratan...titis waris Padjajaran ngembatkeun jalan laratan katampian geusan mandi ka Leuwi Sipatahunan, Leuwi nu ngaruncang diri diri manusa kiwari rek muru lulurung tujuh ngahiap ka Padjajaran bongan hayang pulang anting Padungdengan padungdengan jeung usikna pangacian ahung...ahung....ahung.... Sampurasun karumuhun ka Hyang Prabu Siliwangi... nu murba di Padjajaran..pangaoban seuweu siwi nu gelar di Tatar Sunda muga nyebarkeun wawangi... ahung....ahung....ahung.... (Rajah Siliwangi)

Perdebatan atas temuan situs megalitik Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, belumlah tuntas. Para peneliti masih belum memiliki kesimpulan akhir, sehingga stempel misteri masih melekat pada peninggalan prasejarah tersebut.

Soal kapan situs dibangun? Oleh siapa dibuat? Apa fungsinya dimasa lampau? Dan segudang pertanyaan lainnya yang belum bisa terjawab. Terlepas dari polemik yang, terdapat perasaan reueus (bangga) terhadap mahakarya para leluhur tanah Pasundan (Cianjur). Bagaimana tidak, kecerdasan karuhun(leluhur) pada waktu itu begitu tinggi. Dibuktikan dengan membangun punden berundak yang konon kabarnya terbesar di Asia Tenggara.

Perlu kajian matang agar konstruksi bangunan tidak luntur oleh waktu tak lekang ditelan zaman. Selain nilai filosofis yang hendak disampaikan karuhun melalui siloka(simbol) yang melekat pada bangunan itu. Diawali perbincangan dengan sang juru pelihara Gunung Padang, Nanang, 41, mencoba menguak nilai-nilai filosofis yang tersimpan dalam Gunung Padang tersebut.

Nanang menjadi juru pelihara Gunung Padang secara turuntemurun. Garis pewarisannya sendiri tidak vertikal langsung dari kakek ke ayah ke cucu, tapi ada pewarisan yang menyamping. Dimulai dari Ayah Onon tahun 1763, dilanjut Ayah Hasyim, Aki Jumad, Aki Suma, Bah Cece, Pa Didin, sampai saat ini dirinya sendiri. Saat ini ada sembilan juru pelihara (jupel) di bawah naungan Pemkab Cianjur, dan 21 jupel di luar pemerintahan.

Tapi sepertinya hanya Nanang lah jupel yang memiliki keterikatan kuat dan memori panjang tentang Gunung Padang. Sebab Nanang memang dilahirkan di Gunung Padang. “Waktu umur lima tahun, saya sering diakod(digendong) kakek ke sini,” katanya. Dari posisi Singgasana Raja, beberapa meter sedikit ke luar area inti situs, disitulah Nanang lahir. Saat ini rumah tempat dia lahir sudah menjadi warung kopi tempat istirahat.

Rumah Nanang sendiri saat ini ada di bawah 100 meter dari tempat parkir menuju situs. Hal menarik, pemahaman dia soal nilai-nilai filosofis itu didapatnya tidak saja dari pemahaman kakek buyutnya yang ditularkan kepada Nanang. Tapi juga berdasarkan penelusurannya secara langsung, selain pengalaman spiritual yang didapat selama menjadi juru pelihara.

“Saya tidak suka mitos, tapi saya suka mistis,” kata Nanang, mengawali perbincangan dengan tim ekspedisi KORAN SINDO JABARdi teras 1 Gunung Padang. Menurutnya, mitos lebih kepada hal-hal yang bersifat takhayul, bahkan bisa berbuah syirik, berbeda dengan mistis. Pengalaman spritual, kontemplasi, bertafakur terhadap keagungan Yang Maha Kuasa, dan nilai-nilai filosofis, itulah mistis.

Dengan mistis, banyak suri tauladan dan pelajaran yang didapat untuk bekal menjalani kehidupan. Begitu pula dengan pesan-pesan yang tersirat dari Gunung Padang, banyak muatan-muatan mistis, penuh siloka(simbol), dan makna yang dalam. Pesan-pesan itu hanya dapat dipahami dan dimengerti dengan sebuah perenungan panjang. Dia menuturkan, hal yang unik dan terlalu naif apabila disebut serba kebetulan.

Di Gunung Padang, angka lima cukup dominan dan melekat pada situs tersebut. Misalnya, semua teras Gunung Padang terdiri dari lima teras, antara lain teras pertama disebut Pamuka Lawang(pembuka pintu), teras dua Batu Masigit, teras tiga Makuta Dunya, teras empat Pangujian(pengujian yang ditandai adanya batu pengujian), dan teras kelima disebut Singgasana Raja.

Sebelum memasuki kelima teras itu, terdapat dua akses pintu masuk melalui anak tangga dengan kemiringan antara 45-50 derajat. Akses masuk pertama merupakan jalur ziarah atau jalur asli menuju pelataran Gunung Padang dengan jumlah 378 anak tangga.

Sementara akses masuk yang kedua, merupakan jalur wisata sebanyak 720 anak tangga, medannya lebih landai dengan memutari bagian samping kanan bukit. Nanang menjelaskan, ketika hendak menaiki anak tangga sebagai langkah awal perjalanan spritual biasanya ada tradisi, setiap pengunjung berwudlu atau meminum caikahuripan (air kehidupan) pada mata air yang berada tepat di bawah anak tangga pertama.

Mata air itu tidak pernah kering dan tampak jernih. Bahkan menurutnya, kandungan mineral air itu cukup tinggi, berdasarkan penelitian di laboratorium. Menurut dia, Gunung Padang itu dulunya tempat para karuhunmendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka, fungsi cai kahuripanitu sebagai media untuk mensucikan diri, sehingga begitu naik anak tangga sudah dalam keadaan bersih lahir dan batin.

Anak tangga yang menanjak merupakan gambaran akan perjalanan spritual kepada Yang Maha Kuasa. Hanya dengan kebersihan lahir batin, sabar, serta, motivasi tinggi, semua hambatan dalam hidup dapat diatasi secara baik. “Gunung Padang itu kan terdiri dua kata gunung dan padang.

Gunung artinya tempat tinggi, sedangkan padang adalah cahaya atau terang. Jadi Gunung Padang itu tempat cahaya atau tempat pencerahan,”terang Nanang. Begitu memasuki teras pertama, atau pamuka lawang, sebagai silokamemasuki zona pertama dalam pencarian ketuhanan.

Di teras kedua, area ini dulu dijadikan tempat ritual penyambutan, makanya tak heran adanya tiga batu yang terdapat di samping sebelah kiri dengan sebutan batu goong (batu datar, batu meja), batu bonang, dan batu kacapi. Istilah alat musik gamelan ini menguatkan dugaan bahwa di lokasi itu juga menjadi tempat pertunjukan kesenian. Apalagi tiga batu gamelan itu, benarbenar bisa mengeluarkan empat nada dasar.

Dari ketiga batu tersebut, salah satunya batu bonang, terang Nanang, asal kata dari bobo nangtung(tidur berdiri) , simbol bagaimana kita harus tidur tapi berdiri. Artinya, dalam keadaan apapun kita harus tetap sadar kepada sang pencipta. Di area ini pun terdapat batu yang menggunung yang disebut batu masigit(masjid), sering digunakan para karuhun untuk bertirakat guna mendapat petunjuk dari Hyang Agung.

Nanang tidak menjelaskan secara terperinci gundukan batu ini, namun sebelum melewatinya ada tetekon, papagon, jeungugeran (aturan)para karuhunselalu menghormati tempat ini dengan terlebih dahulu duduk bersila di atas batu goong sembari tangan menyembah ke arah Gunung Masigit. Di teras ketiga, atau makuta dunya, tedapat hal yang unik.

Di area ini banyak terdapat batu berdiri dengan ukuran lebih pendek dari batu lainnya. Bahkan, diameternya pun lebih besar. Konon kabarnya, lokasi itu menjadi tempat bermusyawarah, khususnya ketika zaman Pajajaran, digunakan semacam pertemuan antara Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) dengan para ponggawa atau pasukannya. Di lokasi itu pun terdapat satu buah batu berukir kujang atau dinakaman batu tapak kujang.

Sementara, kujang menurut Sanghyang Siksakanda Ng Karesianpupuh XVII, merupakan senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata kudihyang(kudidan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.

Dalam beberapa literatur, kudidiambil dari bahasa Sunda kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahayaatau penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406).

Sementara itu, Hyangdapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyangmempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti”yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Selain itu, di teras ketiga pun terdapat sebuah batu lain dengan ukiran tapak(jejak) kaki maung (harimau). Namun menurut Nanang, yang disebut maungitu adalah simbol manusia unggul.

‘Manusia unggul’ jika diakronimkan adalah ‘maung’. Menurutnya, keunggulan harus terpatri pada setiap manusia, sebagaimana kuatnya tapak maungpada batu itu. Di teras keempat, sedikit berbeda dari teras-teras lainnya, arealnya cenderung kosong hanya hamparan yang sedikit batu-batuan. Hanya saja, ada sebuah batu unik lainnya disebut pangujian(pengujian). Konon kabarnya, siapa saja yang bisa mengangkat batu itu, maka semua maksud dan tujuannya akan tercapai.

Namun, bagi Nanang itu hanya sebuah mitos belaka. Yang jelas, batu pangujian merupakan siloka siapa pun yang dapat mengatasi semua beban kehidupan, maka dia akan lulus mendekati Yang Maha Kuasa. Makanya, batu itu kini diamankan pada salah satu gubuk kecil dan terkunci rapat, agar tidak menimbulkan syirik.

Di teras kelima, atau Singgasana Raja, merupakan silokaakan pencapaian akhir dari sebuah perjalanan spritualnya. Tak heran posisi teras lima lebih tinggi dibanding teras-teras lain. Di sini pun terdapat batu menyerupai kursi duduk dengan dua buah batu berdiri yang disebut batu Sunan Ambu dan Sunan Rama (simbol ibu dan bapak), yang menghadap lurus ke arah Gunung Gede dan Gunung Pangrango.

Di teras itu menyimbolkan bahwa pencapaian kepada Hyang Agungtidak akan berhasil tanpa berpegang teguh kepada kedua orang tua. Ada peribahasa indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat, atau tiada keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan tanpa doa ibu dan bapak. Sebab, indung nu ngakandung bapa nu ngayuga, artinya tak akan ada anak tanpa kasih sayang ibu dan bapak.

Dalam kedudukannya, ibu atau wanita dalam Sunda sangatlah tinggi. Bahkan, dalam penyebutan pun ibu selalu lebih awal dibandingkan bapak. Sementara menurut seorang ahli, keyakinannya yang menyatakan bahwa wanita Sunda memiliki kedudukan yang terhormat dalam perbendaharaan budaya urang Sunda berhubungan dengan salah satu legenda Sunda kuno bernama Sunan Ambu (dewa wanita yang menjadi simbol keagungan di Buana Agung dunia Langit yang sakral).

Di akhir perjalanan dari mulai menaiki anak tangga hingga di teras kelima, Nanang menyebutkan, nilai filosofis yang ada di Gunung Padang ini semuanya didominasi angka lima. Hal itu tersimbolisasi pada jumlah teras, serta batu-batuan yang ada berpenampang segi lima, serta ukiran pada beberapa batu menunjukkan angka, sehingga angka tersebut sangatlah sakral.

Bahkan, antara Gunung Padang dengan Gunung Pangrango terdapat lima gunung. “Kesimpulannya, perjalanan spritual sejak menginjakkan kaki di tangga pertama hingga ke teras kelima merupakan simbol dari Allah maka akan kembali kepada Allah, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selain itu, banyak penerapan angka lima dalam kehidupan sehari-hari, seperti rukun Islam.

Ketika kita menjalankan rukun Islam secara sempurna maka akan kembali kepada Allah secara khusnul khotimah,”terangnya. Nilai-nilai filofis itulah harta karun yang terdapat di Gunung Padang, bukan emas atau berlian. Semua pihak harus belajar dari Gunung Padang, maka akan mendapatkan harta karun yang sesungguhnya.

Tidak semata-mata para karuhun (leluhur) membuat bangunan seperti itu, serta silokayang terkandung di dalamnya, kalau bukan untuk dijadikan eunteung (cermin) kehidupan agar selamat dunia dan akhirat. “Sayangnya, banyak pengunjung yang tidak memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya itu. Yang ada , tempat suci justru sering disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk berbuat maksiat. Inilah yang sangat disayangkan,”pungkasnya.

Antitesis Geologi

ti Koran Sindo

Untuk menjawab pertanyaan apakah Gunung Padang merupakan punden berundak di atas batuan bentukan alam atau seluruhnya adalah bangunan buatan manusia, geolog dari Badan Geologi Sutikno Bronto menyempatkan diri meneliti situs tersebut.

Metode penelitian Sutikno menitikberatkan pada pemahaman geologi gunung api purba dan sejarah geologinya atau lebih memerhatikan perkembangan vulkanisme setempat. “Dari kajian vulkanisme setempat, Gunung Padang merupakan daerah rawan gempa yang sering mendapat kerusakan karena gerak longsor dan gempa bumi, “ kata Sutikno beberapa waktu lalu. Sutikno meyakini jejak peradaban masa lalu hanya akan ditemui di atas bukit alam tersebut.

Pasalnya secara geologi , Gunung Padang merupakan sumbat atau kubah lava termuda berstruktur kekar kolom yang terbentuk di dalam kawah gunung api purba Karyamukti. Kemudian, karena proses geologi yang terus berjalan, kekar kolom Gunung Padang semakin renggang, dan akhirnya membentuk batu kolom yang roboh berserakan.

Untuk memerkuat bukti bahwa jenis bebatuan yang dibangun pada situs megalitikum itu merupakan bentukan alam, Sutikno mengatakan bukti itu dapat dilihat dari bentuk dan ukuran bebatuan yang tidak seragam, berupa bentukan batu pipih dan kolom. Menurutnya, bentuk batuan itu juga lahir karena gerak bencana alam yang terjadi pada masa lalu.

“Kami meneliti juga, secara geologi Gunung Padang terbukti merupakan bekas gunung api purba Karyamukti, kubah lava itu lah yang kemudian membukit seperti bentukan piramid. Keyakinan saya, bila lapisan tanah itu terus digali hanya ada temuan berupa bebatuan,” tambah Sutikno.

Dari sudut pandang peneliti yang sepaham dengannya, bebatuan kolom yang roboh itulah yang kemudian ditata oleh manusia masa lalu sebagai punden berundak untuk upacara pemujaan. Sehingga bila disimpulkan secara ilmiah, tak perlu ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya jejak peradaban masa lalu yang terkubur di bawah gunung tersebut.

“Keyakinan kami tentu tak perlu lagi ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya ruangan besar yang terkubur di bawah Gunung padang,” ujar Sutikno. Pasalnya untuk membuktikan hal tersebut tentu membutuhkan upaya enggalian secara total. Sementara bila itu dilakukan, kelestarian kawasan situs yang selama ini dilindungi akan terganggu.

”Perbedaan pendapat dalam penelitian ini tentu sah saja, mereka berangkat dari hipotesa adanya jejak peradaban yang terkubur di Gunung Padang. Namun dalam pembuktiannya tentu bisa merusak keberadaan kawasan situs,” tambahnya.

Artefak Sundaland dari Tanah Pasundan

ti Koran Sindo

Di mata peneliti Jepang Nara Akira, Gunung Padang bisa jadi salah satu bukti peninggalan peradaban tertua di dunia. Dia tertarik untuk mengkaji lebih lanjut jejak peradaban tertua di dunia yang diyakini ada di kepulauan Nusantara.

Seperti tesis yang diuraikan Oppenheimer dalam bukunya berjudul Eden In The East, Nara Akira juga memprediksi adanya artefak Sundaland di wilayah Nusantara (Taman Firdaus), suatu kawasan berbudaya tinggi, namun kemudian tenggelam, lalu para penghuninya menyebar ke penjuru dunia.

“Situs Gunung Padang tentu memiliki potensi ke arah sana, dimana lahirnya peradaban tertua di dunia,” tutur Nara dalam diskusi bertajuk “Sundaland Theory and Gunung Padang” di Ruang Serbaguna UPT Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, Kamis (21/1). Ya, apa yang disampaikan Afiliasi Tokyo Study Group on Sundaland itu memang kerap berseberangan dengan arus utama sains saat ini.

Pasalnya menurut teori ini, induk peradaban manusia modern (Mesir, Mediterania, dan Mesopo - tamia) berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundaland. Keyakinan awal mula peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu juga diperkuat dengan pendekatan sejumlah keilmuan yakni linguistik, antropologi, arkeologi, dan cerita rakyat (folklore).

Bahkan, dia menuturkan, masa peradaban tertua ini (Sundaland) sebelumnya telah memilliki teknologi sistem agrikultur dan peternakan yang telah maju sejak 16.000 tahun lalu. “Saya menemukan sisi persamaan peradaban di wilayah Sundaland dengan kebudayaan kami miliki, misal dari sejumlah bahasa, dan temuan artefak berusia ribuan tahun lalu yang memiliki kemiripan tas badui saat ini,” tutur Akira dalam sesi diskusi.

Persamaan itu, menurutnya menjadi salah satu bukti penguat penyebaran peradaban Sundaland ke negeri matahari terbit itu. Nara mengatakan, Gunung Padang dan kanal irigasi masa lalu yang ditemukan di bawah laut Thailand akan dikenal sebagai bukti peradaban super kuno di Sundaland.

Gunung Padang Menurut Prabu Siliwangi

ti Koran Sindo

Saya kerap melakukan investigasi sejarah dan lebih diutamakan sejarah lisan. Sejarah lisan yang disampaikan secara turun-temurun, mungkin kurang memiliki keabsahan, sebab sejarah lisan keluar dari etika akademisi.

Bahwa sejarah menurut akademisi harus memiliki bukti tertulis dan bukti arkeologi, tak akan ditemui utuh di koridor sejarah lisan. Mungkin ada bukti arkeologi, namun tidak memiliki catatan tertulis, dan masyarakat seputarnya, hanya memiliki “dongeng lisan” saja. Atau juga sebaliknya, masyarakat hanya memiliki alur sejarah lisan namun tak memiliki bukti arkeologinya.

Masyarakat tradisional menganggap itu sebuah sejarah masa lalu, namun para sarjana lulusan akademisi hanya menempatkannya di koridor dongeng, floklore, atau mitos saja. Bahwa di Gunung Padang kini ditengarai ada situs dan benda arkeologi, itu sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun silam, namun hingga kini kalangan akademisi belum bisa meraba, situs peninggalan kuno ini membicarakan zaman apa dan siapa pemiliknya?

Jauh sebelum Situs Gunung Padang ditangani secara akademik, saya sendiri sudah mendahului melakukan penelusuran. Memang tidak sempurna menemukan semuanya. Seperti kalangan akademisi, saya juga sama tidak menemukan berita, kapan awal dibikinnya situs di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur ini. Berita-berita lisan dari masyarakat, baik yang ada di seputar lokasi, maupun masyarakat yang jauh dari lokasi, hanya memberikan gambaran yang sayup-sayup belaka.

Berita dari Pajajaran

Adalah beberapa orang pengamat tradisional tentang masa lalu di beberapa tempat, yang sempat menyampaikan ikhwal misteri Gunung Padang ini. Yayan,35, dari Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Su - medang misalnya. Secara turuntemurun, dia menye butkan bahwa misteri Gunung Padang sudah diteliti sejak zaman Paja - jaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, raja pertama Pajajaran (1482-1521).

Nama Gunung Padang, mungkin baru bela - kangan ini saja didengung kan, sebab sewaktu zaman Pajajaran, orang hanya menyebutnya sebagai Hyang Pamujang (pusat menyembah Hyang). Kala itu di Pajajaran pun sudah ada arkeolog dan pembaca masa lalu. Dia duduk di sebuah lembaga pemerintah yang mengurusi budaya dan sejarah, bernama Ki Purana Makti.

Sri Baduga Maharaja tahun-tahun itu telah mengutusnya untuk membuka sejarah masa lalu Gunung Padang. Namun bila dibandingkan dengan peneliti masa kini, boleh dikata Ki Purana Makti kalah jauh. Sebagai bukti, peneliti modern telah sanggup mendeteksi usia batuan, sebab samakin dalam memeriksa perut bumi Gunung Padang, maka semakin jauh usianya.

Bahwa menurut peneliti masa kini, peradaban di Gunung Padang sudah dimulai sejak 20.000 tahun silam. Sementara Ki Purana Makti, hanya sanggup mendeteksi dari 5.000 tahun ke belakang. “Tah, di jaman urang, di ieu tempat geus aya kahirupan,” Artinya: “Nah, dari zaman kita, di sini sudah ada kehidupan.” Ki Purana Makti menyebutkan, dulu di puncak Gunung Padang berdiri sebuah bangunan.

Ada kubah besar menaungi sebuah tempat luas. Kubah itu berpintu 13 sebagai tempat masuk dan keluar para penyembah. Bila semua duduk bersila, ruangan kubah bisa dimasuki seribu orang. Mungkin seperti bangunan masjid raya untuk ukuran masa kini. Fungsinya untuk melakukan upacara sembah bagi yang diper - tuhan kala itu, dan Ki Purana Mak ti memberi nama sebagai Hyang atau sanghyang yang ar - tinya Yang Gaib.

Hanya saja, ku - bah sudah tak ada sebab ribuan tahun sebelum Pajajaran, di sana terjadi bencana alam yang hebat. Terjadi gempa bumi, di mana dari dasar gunung ada dorongan kuat yang menyebabkan kubah hancur berantakan, yaseperti sekarang ini. Purana Makti mengatakan, bahwa sekalipun dia hanya mendeteksi kehidupan 5.000 tahun sebelum Pajajaran, tapi dia merasa yakin bahwa kehidupan di sana jauh lebih tua dari itu.

Hanya saja pada masa jauh sebelumnya, di wilayah itu belum dikenal apa yang bernama agama. Cara berpakaian pun masih sangat sederhana. Bahkan cara berkomunikasi pun masih sangat sederhana. Belum ada susunan tata-bahasa baku. Bila berkomunikasi, maka untuk menyampaikan maksud tertentu, terkadang harus menggunakan bahasa isyarat.

Situs Gunung Padang diduga dibangun untuk kepentingan ritual sebuah agama, tapi tidak diketahui agama apa. Hanya yang jelas, di kubah besar itulah orang berkumpul untuk menerima ajaran-ajaran moral, bahkan budaya secara luas. Ki Purana Makti bahkan berani berkata kepada Sri Baduga Maharaja atau yang belakangan dikenal sebagai Prabu Siliwangi, bahwa kemungkinan besar peradaban Sunda dimulai dari tempat ini.

Prabu Siliwangi percaya, bahwa Hyang Pamujang (Gunung Padang), dari zaman ke zaman selalu digunakan tempat memuja Sanghyang Tunggal. Itulah s - ebabnya, dia pun sering mengun - jungi Gunung Padang untuk melakukan ritual suci. Peristiwa ini pun sempat ditulis oleh Bujangga Manik, (jurnalis zaman Pajajaran) yang catatan-catatan lamanya pernah tersimpan di Museum Leiden, Belanda.

Tak ada catatan tentang peristiwa ini. Hanya saja masyarakat tua di sekitar Situs Gunung Padang merasa tak asing dengan nama Purana Makti. Sudah barang tentu tak bakalan asing, sebab atas jasa Sang Bujangga ini, maka sebuah kampung yang letaknya tak jauh dari Hyang Pamunjang oleh Prabu Siliwangi diberi Kampung Purana Makti. Oleh pergeseran waktu, maka nama pun bergeser pula. Sekarang penduduk menyebutnya sebagai kampung atau Desa Karya Mukti.

Awal Peradaban

Tak pelak, bagi orang-orang yang bersemangat menelusuri masa silam, maka banyak orang telah mengklaim bahwa dari Gunung Padang lahdi antaranya menyebar sebuah peradaban. Saya bilang di antaranya. Sebab jauh sebelum Gunung Padang diteliti, sebetulnya masyarakat Sunda sudah menemukan bukti sejenis di beberapa gunung lain. Semisal saja di Gunung Sadahurip, wilayah Garut utara.

Banyak orang yakin bahwa bila perut Gunung Sadahurip, di sana akan terlihat bangunan seperti piramid. Piramid itu untuk istilah bangunan di Mesir. Sementara di Gunung Sadahurip dikenal sebagai batu panguundakan(batu berundak). Dulu ribuan tahun silam, batu panguundakanyang tingginya melebihi puncak stupa Borobudur ini, digunakan sebagai tempat berkumpulnya para raja Nusantara untuk melakukan upacara suci menyembah kepada Sang Murba Wisesa (Sang Penguasa Tunggal).

Orang yang paling rutin datang ke sini adalah petinggi dari zaman Galuh Kuno (abad 8). Orang Galuh sudah menganggap bahwa Batu Panguundakan dibuat oleh para leluhur mereka, ribuan tahun silam. Belakangan malah ditemukan lagi gunung sejenis, terdapat di wilayah Garut Selatan. Lalu ada Gunung Sangiang di wilayah Kuningan dan diduga di perut gunung memiliki bukti peradaban kuna.

Jauh sebelum Gunung Padang ditemukan, juga di Soreang Kabupaten Bandung ada Gunung Lalakon. Konon di sana pun ada bangunan mirip piramid. Sekarang bahkan sementara orang Sunda mencurigai, bahwa bila ada gunung bentuknya seperti aseupan(tempat menanak nasi) tidak berbatu bahkan kurang dipenuhi hutan belantara, maka dicurigai sebagai batu panguundakan yang sengaja disembunyikan atau memang tertutup lapisan tanah karena perubahan zaman.

Di batu bertulis yang ada di Bogor (Kecamatan Batutulis), ada tertera tulisan bahwa Sri Baduga Maharaja membuat gugunungaan(kini dikenal sebagai Bukit Badigul di Rancamaya). Orang terheranheran, Sunda itu wilayah pegunungan, tapi masa iyaPrabu Siliwangi segitunya bikin gunung tiruan? Apakah Prabu Siliwangi membuat gugunungan itu untuk keperluan khusus?

Ya, semisal bikin batu panguundakan seperti bangunan piramid? Sekarang penelitian Situs Gunung Padang seperti terhenti, padahal tahun-tahun kemarin sangatlah menggebu. Kemungkinan besar karena biaya yang dibutuhkan amat banyak. Namun bagi yang senang bersuudzon, kemungkinan besar takut mengubah peta sejarah. Bukan saja sejarah nasional, melainkan juga bisa mengubah peta sejarah dunia. Bagaimana tidak.

Sebelumnya dunia telah mengukuhkan bahwa Mesir adalah awal mula peradaban dunia tatkala ditemukan piramid yang berusia empat ribu tahun. Sekarang ada penelitian baru bahwa awal peradaban dunia dimulai dari Sunda (Zhundaland), sebab Gunung Padang, salah satu gunung kuna dari begitu banyaknya gunung, telah ditemukan sebuah peradaban sejak 20.000 tahun berselang.

Hanya kesadaran nasional yang dibantu oleh kesadaran dunia saja yang bisa mengubah peta sejarah seutuhnya. Komentar Prabu Siliwangi atas keberadaan Gunung Padang: “Jaga ji padang leuwang Katraman banyusarak Ma’jang inya ti wasta pra’nu aji majang Ah’ sami kraton niang jajaran.”

(“Harus dijaga tanah yang luas satu halaman ini Tempat berkumpulnya para leluhur Asli sacara turun-tumurun jauh sebelum kelahiran kita.”) “Siah kallama Samandiyah netapan ieu leuwang Jaga, jaga, jaga!” (Hai, semua dari kalian Tinggallah di tempat ini Rawatlah dan jagalah!”)

AAN MERDEKA PERMANA
Mantan wartawan Sunda,
pengumpul floklore dan cerita lisan Sunda,
tinggal di Bandung.

Sketsa yang Mengubah Segalanya

ti Koran Sindo

Di sebuah rumah bertingkat di bilangan Sarijadi Raya Nomor 3, Kota Bandung, KORAN SINDO sengaja bertamu ke kantor arsitek senior bernama Pon Sapriamulya Purajatnika. Ya, dialah sang Ketua Tim Bidang Arstiektur di Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM).

Tugasnya adalah menggambar Gunung Padang dari segi arsitektur. Jadilah sketsa imajiner Gunung Padang pada 2013 yang menghebohkan itu. Sketsa 2013 sebenarnya merupa - kan sketsa ketiga yang merupa - kan penyempurnaan dua sketsa sebelumnya. Sketsa pertama dirilis November 2009, dan sketsa kedua November 2010.

Sebelum Gunung Padang diteliti Tim Katastrofi Purbakala (sebelum bergnti nama jadi TTRM) tahun 2010, Pon sudah lebih dulu meneliti arsitektur Gunung Padang. Titik berat penelitiannya adalah arsitektur purbakala di sekitar kampung adat di Jawa Barat. Ketika tiba di Cianjur, Pon “jatuh” hati pada Gunung Padang. Penelitian dimulai sekitar 2006-2007.

“Pas melihat Gunung Padang, ini merupakan tinggalan yang luar biasa, dan ini tampaknya tinggalan yang sangat lama, katakanlah zaman megalitik, awalnya informasinya begitu. Di situlah saya mulai,” ujarnya. Tahun 2008, Pon mulai intens berkunjung ke Gunung Padang. Fokusnya adalah melihat bentukan situs itu. Berbagai pertanyaan pun muncul.

Apakah gunung Padang merupakan candi, punden berundak, atau situs lain? “Pas dilihat itu kanpunden berundak di bagian atas,” kata Pon. Tahun 2010 sketsa pertama Gunung Padang pun jadi. Proses pembuatannya memakan waktu setahun, lima bulan di antaranya untuk membuat layer(lapisan) pertama. Sketsa ini merupakan sketsa permukaan berdasarkan observasi lapangan.

Setelah jadi, sketsa pertama itu langsung diikutkan pada pameran foto di “International Conference Sundaneese Culture di Bogor. Berbagai foto artefak di Gunung Padang ditampilkan dalam pameran tersebut. Di situlah masyarakat terutama para arkeolog, geolog, arsitek dan budayawan mulai melirik Gunung Padang. “Maka berlanjutlah penelitian dari waktu ke waktu sampai sekarang,” cerita Pon.

Pada November 2012, Pon bertemu untuk pertama kali dengan geolog Danny Hilman Natawidjadja dalam sebuah rapat besar di Gedung Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta. Dari sanalah dia kemudian masuk dalam TTRM, berlanjut ke fase Tim Nasional Gunung Padang, dan sampai akhirnya penelitian saat itu berhenti.

Berbekal dua sketsa awal yang merupakan gambar permukaan, Pon menggabungkan hasil observasinya sendiri dengan temuan para peneliti. Maka jadilah sketsa ketiga yang pertama kali dipublikasikan tahun 2013.“Ada temuan sekitar Gunung Padang struktur tanahnya berbentuk terasering, ya saya membuat sketsa imajinasi itu,” ucap Pon. Dia menjelaskan, dari sketsa imajinasi Gunung Padang, bentuk bangunan mengerucut ke atas.

Dalam konteks lingkungan tropis, bangunan mengrucut biasanya dipakai sebagai tempat beribadah. “Kita pada dasarnya memiliki gunung, jadi tak perlu membuat piramid seperti di Mesir. Biasanya tempat ibadah selalu mengerucut ke atas berbentuk segitiga untuk mendapatkan suasana monumental dan sakral. Jadi dibentuklah Gunung Padang itu berbentuk seperti itu,” kata dia.

Dalam beribadah, kata Pon, orang zaman dahulu bisa menemukan titik tertinggi di puncak dimana mereka bisa melihat langsung ke arah Gunung Gede sebagai sumbunya. “Syarat ritual pada saat itu, juga sikap terhadap benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang, itu sudah jelas di sana,” terangnya.

Selain itu, bangunan Gunung Padang digambarkan terbuka, dimana ada tangga untuk naik dan turun yang sifatnya terukur. Hal tersebut dilihat dari ada beberapa sisa bangunan di tengah situs. “Bangunan itu sebetulnya terbuka. Situs lain yang sezaman seperti Lebak Cibeduk, Cengkuk, dan sebagainya, itu terbuka. Tapi saya tak bisa memastikan tertutupnya seperti apa karena tidak ada referensi,” kata Pon.

Mungkin, lanjut di, ke bawahnya ada tempat tangga untuk naik dan sifatnya terukur. Kemudian ada pintu masuk dan keluar. Di pintu masuk itu ada semacam air untuk bersuci sebe - lum melakukan ritual ibadah. “Seperti muslim harus berwudlu, kristiani ada air suci,“ sebut Pon. Menurutnya, dilihat dari kriteria teknis lapangan, bangunan tersebut dibuat dari batuan dengan susunan tertentu.

Dengan susunan dan tempat berlainan di sisi satu dan sisi lainnya. “Artinya itu dibuat. Selain membuat bentuk, juga membuat susunan untuk membuat struktur tanah. Walaupun sekarang acakacakan, tapi itu keliatan sekali bentuk awalnya seperti apa. Jadi itu dibentuk, gakmungkin alami,” katanya.

Bahkan dengan penemuan lapisan pasir di kedalaman beberapa meter, menurutnya, itu merupakan bagian dari bangunan. Lapisannya terlihat mengikuti atau menyesuaikan level teras demi teras. Berdasarkan hasil analisa georadar, lapisan pasir berada di garis besar ketiga, sementara itu Gunung Padang sendiri memiliki lima level teras. Bisa jadi, pasir dalam bangunan itu untuk meredam goncangan saat gempa bumi.

Seperti diketahui, Gunung Padang terletak di Patahan Cimandiri yang berpotensi bergerak. “Fungsi pasir sendiri untuk meredam gaya lateral seperti gempa bumi dan meratakan beban pada tumpuan. Itu pengetahuan sederhana,” katanya.

Sumbu Kosmik ke Gunung Gede

ti Koran Sindo

Situs Gunung Padang banyak mengandung ilmu yang bisa digali secara iilmiah. Para arkeolog, geolog, budayawan, hingga arsitek meneliti situs yang kini mulai disebut bukan megalitik melainkan gigalitik ini.

Lalu bagaimana ilmu astronomi melihat Gunung Padang? Apakah memang ada garis astronomi (astronomical alignment) dan orientasi astronomi (astronomical orientation) di Gunung Padang? Prof Suhardja D Wiramihardja mungkin satu-satunya astronom yang meneliti Gunung Padang. Ditemui di sela bedah ilmiah Gunung Padang di kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganeca, Kota Bandung, Rabu (20/1), asronom senior ini memberi analisis sekeligus menjawab pertanyaan seputar astronnomi Gunung Padang.

“Harus dilihat dulu apakah etnik sekitar lokasi ini, dalam kasus ini etnik Sunda zaman baheula(dulu), memunyai kesadaran akan jagad raya (universe awareness) atau tidak? Dan jawabannya ada,” katanya kepada KORAN SINDO. Meski pada budaya zaman silam belum mengenal sebutan astronomi, namun kata Suhardja, mereka sudah mempelajari fenomena dan benda langit, sebagai kepentingan parktis kehidupan sehari-hari.

Untuk mempelajari Gunung Padang dalam perspektif astronomi, perlu didukung disiplin ilmu lain, salah satunya ethnoastronomi. Ethnoastronomi adalah studi tentang astronomi dari berbagai ras, kelompok etnik, budaya zaman silam, termasuk kalendar, cerita rakyat, mitologi dan ritual yang bertautan, konsep kosmologi dan tradisi orang atau budaya yang berhubungan dengan langit.

Suhardja berhasil menemukan penunjuk waktu yang menggunakan penunjuk alamiah untuk memahami, menentukan, atau memberi nama waktu dari bagian hari. “Penentuan itu didasarkan pada fenomena alam melalui apa yang mereka rasakan, lihat atau dengar, dan dipadukan dengan efek fari posisi matahari,” kata pria yang tertarik dengan ilmu etnhoastronomi sejak tahun 2008 ini.

Ada lebih dari 20 penunjuk waktu yang menyatakan segmen yang lebih kecil dari 24 jam sehari (pagi, sore, malam). Dengan penunjuk waktu ini orang zaman dulu bisa mengenal waktu berdasarkan hasil olah panca indera mereka seperti rasa, lihat, dan dengar. Bisa jadi, Gunung Padang memang dibikin atau disusun oleh manusia berdasarkan perhitungan astronomi itu.

Terlihat dari posisinya yang antara Gunung Padang dengan Gunung Gede. Sebagian orang meyakini leluhur membangun Gunung Padang sebagai tempat pemujaan dan titiknya mengarah ke Gunung Gede. “Intinya, kalau untuk aktivitas sehari-hari saja mereka berpatokkan pada fenomena langit, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya gigantik (besar) seperti situs megalitik Gunung Padang ini.

Sampai saat itu kita baru mendapatkan bahwa situs Gunung Padang ini berorientasi ke Gunung Gede dengan azimut kira-kira 345 derajat. Penemuan ini diperoleh oleh Tim TTRM dan Tim Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB,” katanya. Menurutnya, orang zaman dulu menganggap sesuatu yang tinggi sebagai sumbu kosmik (cosmic axis), sesuatu yang dija - dikan rujukan utama kehidup an.

Benda yang tinggi-tinggi itu bisa berupa bintang-bintang, gunung, bahkan pohon yang tinggi. “Tradisi yang menggunakan benda-benda langit sebagai patokan untuk kehidupan seharihari, seperti memanfaatkan kemunculan bintang-bintang tertentu untuk pertanian, sekarang pun masih diterapkan oleh masyarakat pertanian di sekitar situs megalitik Gunung Padang,” katanya.

Menurutnya, Gunung Gede dianggap sebagai sumbu kosmik Gunung Padang. “Pada kenya - taan nya orang saat itu membuat situs itu berarah ke Gunung Gede, memang dasarnya mungkin mereka mengangang - gap Gunung Gede sebagai cosmic axisitu,” kata Suhardja. Sebagian orang yakin saat bulan purnama, Gunung Padang memancarkan cahaya paling kuat ke segala arah.

Menurut Suhardja fenomena itu wajar. “Semua tempat kalau bulan purnama pasti terang, apakah gunung tinggi atau di daerah 10 meter di atas permukaan laut,” jelas Suhardja. Tinggi rendahnya sebuah tempat pun, kata Suhardja, tidak akan memengaruhi signifikan terang atau redupnya sebuah tempat.

Gunung Padang ada di ketinggian 885 di atas permukaan laut, itu pun kata Suhardja, tidak membuat ribuan batuan di situs itu menjadi terang seperti sumber cahaya. “Untuk diketahui, jarak ratarata bulan ke bumi adalah 384.400 km. Jadi beda beberapa kilometer pun tidak memengaruhi terang saat purnama,” jelasnya.

Lalu ada juga cerita bahwa Gunung Gede sebagai sumbu kosmik Gunung Padang posisinya seperti naik saat pukul 18.00 WIB atau menjelang magrib. Cerita itu memang hidup di sebagian kalangan, terutama orang sekitar. “Saya kalau ke sana seringnya magrib. Karena kita bisa melihat Gunung Gede seperti naik ke atas,” kata Abah Ruskawan, Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur.

Menurut Suhardja, fenomena itu hanya ilusi optik belaka. Sejatinya Gunung Gede di hadapan Gunung Padang tidak benar-benar naik. “Saya juga pernah mendengar pernyataan itu. Saya tidak langsung menyebut tidak percaya atau berbau mistik. Saya hanya bilang itu mahoptical illusionatau ilusi optik, atau tipu mata,” terangnya. Kata Suhardja, mata manusia bisa tertipu saat hari sudah gelap.

Hal ini disebabkan mata manusia tak punya referensi terhadap posisi atau tinggi sebuah objek di depan mata. Dia mencontohkan arsiran garisgaris miring yang orientasinya seperti bayangan cermin, kelihatan seperti menyempit. “Atau barangkali Anda pernah melihat bulan purnama terbit pada jam enam sore, tampak besar sekali.

Dan setelah bulan itu ada di langit tepat di atas kepala kita pada pukul 24.00, tampaknya lebih kecil dibandingkan dengan waktu terbit tadi,” katanya. Lalu bagaimana dengan dengan teori bahwa batu di Gunung Padang berasal dari batuan meteorit karena banyak mengandung besi.

Menurut Suhardja, berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan oleh koleganya Danny Hilman Natawidjadja, tidak ada bukti bahwa batuan di sekitar Gunung Padang merupakan batu meteorit. “Hasilnya tidak demikian (bukan batu meteorit),” katanya.

Dari Megalitik ke Gigalitik

ti Koran Sindo

Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhono menerbitkan Perpres Nomor 148 tahun 2014 tentang Pengembangan, Pelindungan, Penelitian, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Situs Gunung Padang, penelitian Gunung Padang di Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur berhenti. Penelitian kini seperti mati suri dan minta dibangunkan oleh pemerintahan Joko Widodo.

Gigalitik. Itulah istilah yang dicetuskan arekolog Dr Ali Akbar saat memberi kuliah umum kepada para arkeolog dan mahasiswa di Freie Universitat Berlin, Jerman, 20 Januari 2015. “Saya mengajukan istilah ‘Gigalitik’ untuk jenis bangunan megalitik yang sangat besar dan kompleks yang menunjukkan telah tingginya peradaban yang dicapai umat manusia saat itu,” ujar Wakil Ketua Timnas Gunung Padang Bidang Arkeologi itu kepada KORAN SINDO.

Ketika diwawancara koran ini, Ali memang sedang keliling negara Eropa untuk lebih memperkenalkan Gunung Padang ini kepada dunia internasional. Sebelumnya pada akhir 2014, Ali presentasi Situs Gunung Padang di hadapan para ahli arkeologi mancanegara yang berkumpul dan mengadakan seminar di Korea.

“Saat ini saya sedang di Jerman memberikan kuliah umum di Freie Universitat Berlin. Banyak respons positif dan pernyataan dukungan dari kolega saya di luar negeri. Perhatian dunia internasional sangat tinggi,” katanya. Judul makalahnya sendiri adalah The Gunung Padang Site in Indonesia (West Java): Its Implication to Researches on Meghaliths and Civilization.

Sesuai judulnya, Ali berdasarkan temuan Tim Nasional Gunung Padang membawa pesan bahwa situs batu kuno terbesar di Asia Tenggara ini berpotensi menulis ulang cerita sejarah dan peradaban dunia yang selama ini dikenal manusia. Menurutnya, bangunan megalitik cukup banyak tersebar di berbagai daerah dan negara, namun tidak banyak yang berukuran besar dan kompleks.

“Situs Gunung Padang tentu saja berpotensi besar untuk mengubah peta peradaban dunia,” kata Ali. Kata Ali, sudah banyak artefak yang ditemukan oleh Tim Nasional Gunung Padang yang menunjukkan bahwa situs ini pernah dipakai dalam beberapa periode. Artefak dari periode 5200 Sebelum Masehi (SM) antara lain alat besi seperti pisau dan limbah atau terak logam (slag) yang menunjukkan pernah terjadi proses pembuatan artefak logam.

Dari periode yang lebih muda ditemukan pecahan keramik Cina dan Eropa yang kemungkinan berasal dari sekitar 1800 Masehi. Koin tahun 1855, 1917, dan beberapa koin periode Kolonial Belanda atau Nedherlands Indie juga ditemukan. Bahkan koin dari tahun 1954 juga ditemukan.

“Dalam arkeologi disebut sebagai multicomponent site,” terangnya. Temuan lain diamini oleh kolega Ali di Tim Nasional Gunung Padang Dr Danny Hilman Natawidjadja. Di timnas Gunung Padang, Danny adalah Wakil Ketua Bidang Geologi. Berbagai teknik dan alatnya sudah dipakai untuk meneliti Gunung Padang, mulai dari geolistrik, georadar, geomagnet, seismik tomografi, bor sampling, sampai karbon dating.

Secara geologi, menurut Danny, Gunung Padang terdiri dari lapisan kebudayaan yang dibangun dalam waktu dan peradaban berbeda. Lapisan luar umurnya 500 SM yang terimbun 1-2 meter, bahkan di beberapa bagian tersingkap. Lapisan kedua umurnya 7000 SM dan lebih tua dari piramid Giza.

Lapisan ketiga 5-15 meter 26000 SM. Menurut Danny, sebelumnya situs dikenal hanya di permukaan berupa batu kolom kekar yang ditata oleh manusia zaman dahulu. Tapi setelah diteliti ternyata area situs meluas terus sampai bawah (lapangan parkir), bahkan strukturnya sampai ke sungai. “Jadi harus ada pemetaan lebih lagi,” kata Danny di kantor KORAN SINDO Jabar Jalan Natuna 8A, Kota Bandung.

Danny dan kawan-kawan menemukan di bawah tanah ada struktur yang lebih canggih dengan yang di atasnya, dan ukurannya lebih besar dari Candi Borobudur, dan itu berlapis-lapis. Sampai ke inti dari bukit itu merupakan batuan lava andesit alamiah di kedalaman 15 meter. “Tapi itu juga sudah artifisial (buatan) dan menjadi dasar dari layer-layer (lapisan-lapisan) di atasnya,” jelas Danny.

Temuan penting tim peneliti adalah batu kujang. Batu kujang ini ada dua, pertama di permukaan yakni berupa batu kekar kolom dengan ukiran mirip senjata tradisional Sunda. Batu kujang ini ditemukan julu pelihara Gunung Padang. Tapi batu kujang yang ditemukan tim peneliti adalah batu warna abu yang bentuknya benar-benar mirip kujang dan bisa dipakai untuk memotong atau memahat sesuatu.

Menurut Danny, batu kujang itu tertimbun di bawah tanah yang berumur 10.000 tahun di atas lapisan ketiga pada kedalaman 3 meter. Batu kujang itu kalau dipegang kasar. Di dalamnya ada butir metal yang menyebar merata. Permukaannya banyak pori dan kalau ditumpahkan air, maka airnya meletup-letup.

Mencengangkan, peneliti hingga detik ini tidak bisa menentukan jenis batu apa yang membentuk kujang itu. “Batu kujang kalau di geologi tidak masuk ke mana-mana, andesit bukan, basalt bukan, granit bukan. Dan itu banyak, ada artefak lain yang materialnya sama,” beber Danny. “Kami pun belum tahu apakah itu batuan alamiah tapi khusus, atau bisa juga itu batu yang diadon oleh leluhur kita.“

Artefak terakhir yang ditemukan sebelum tim terpaksa menghentikan eksavasi adalah rolling stones. Batu ini ditemukan di kedalaman eskavasi 11 meter. Batu ada di bawah timbunan tanah di kedalaman. Kata Danny, batu bulat dan ketika dipecah pakai palu geologi, terciptalah ceruk dan di dalamnya ada batu bulat yang bisa berputar seperti tetikus atau mouse komputer.

“Tapi batu itu dikembalikan ke dalam tanah karena banyak cerita di luar nalar,” kata Danny. Meski penelitian berhenti sementara, Danny dan tim masih bekerja untuk Gunung Padang, di antaranya mengolah data dan pengujian beberapa sampel, serta membuat jurnal ilmiah untuk publikasi dalam negeri. “PR kami adalah bikin jurnal ilmiah internasional,” kata Danny.

Dia yakin bakal menemukan hal penting lain, jika suatu saat penelitian ini dilanjutkan oleh pemerintah. “Kami masih semangat dan yakin bakal banyak menemukan sesuatu. Terutama bentuk lapisan kedua itu seperti apa, ini harus dibuka. Belum lagi chamber (ruangan) di lapisan yang lebih dalam, harus dicari pintunya di mana, dan itu gakbisa langsung dipasang bom,” kata Danny.