25.6.07

Ngahiyang vs Parahiyangan

..........
Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?
..........


Maaf sekali, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan, namun saya (pribadi) sering tergelitik oleh tulisan2 budayawan Ridwan Saidi.

Kata ngahiyang (ngahyang, mungkin bisa disamakan dengan istilah moksa dalam bahasa Jawa) sangat akrab dalam batin orang Sunda (mungkin tidak bagi golongan muda). Hal ini terkait dengan legenda menghilangnya Prabu Siliwangi, raja terakhir kerajaan Sunda. Sebagian ada yang mempercayai legenda ini, dan sebagian yang lain menganggap ini legenda belaka. Dari sudut sejarah, pertanyaannya malah bertambah: Prabu Siliwangi yang mana?

Kembali ke istilah ngahiyang. Setahu saya, istilah ini tidak mendahului istilah parahiyangan sebagaimana disebut dalam cuplikan artikel di atas. Kata parahiyangan berasal dari kata rahiyang yang diberi imbuhan pa- dan -an. Adapun kata rahiyang sendiri menunjuk pada sebutan untuk raja-raja atau para putra raja. Kata parahiyangan secara khusus tetrdapat dalam naskah Carita Parahiyangan, sebuah naskah Sunda yang menceritakan raja-raja Sunda dari jaman Kendan hingga menjelang runtuhnya pada abad ke-16.

Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian

.........
Perlawanan tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan intelektual berbasis di desa Pager Resi Cibinong yang dipimpin oleh Buyut Nyai Dawit. Ia menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Karesyan (1518). Di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam dissebut sebagai kaum langgara, dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Selanjutnya, penyebaran Islam di tanah Betawi antara tahun 1527-1650, dilanjutkan oleh Pangeran Sugi dari Kampung Padri dan Kong Ja`mirin dari Kampung Marunda. Menurut Ridwan Saidi, pada masa 1650-1750, tidak diketahui lagi mengenai ulama yang memberikan kontribusi terhadap penyebaran dan perkembangan Islam di tanah Betawi.
.........


Masih dalam artikel yang sama dengan yang disebut pada tulisan terdahulu, pada alinea selanjutnya tertulis sebagaimana cuplikan di atas. Jadi bingung... Dari mana beliau bisa menyebutkan bahwa naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan 'terbit' di Cibinong? Padahal, setahu saya, naskah tersebut ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, sebuah kampung yang mewarisi peninggalan-peninggalan kerajaan Sunda, di kaki Gunung Cikuray, Garut.

Carios Parahiyangan

..............
Generasi penerus penyebaran Islam berikutnya, masih menurut Ridwan Saidi, adalah menak Pajajaran yang seiman dengan Kean Santang, seperti Pangeran Syarif dan Pangeran Papak. Pada saat bersamaan, daya sebar Islam di tanah Betawi mencapai momentumnya oleh peranan para dato, seperti Dato Biru di Rawa Bangke, Dato Tanjung Kait di Tangerang, Kumpi Dato di Depok, Dato Ibrahim dan Dato Tongara di Cililitan. Penyeberan Islam di tanah Betawi penuh dengan peperangan. Menurut Ridwan Saidi sebagai yang dikutipnya dari naskah Sunda kuno Carios Parahiyangan, tercatat sebanyak 15 kali peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh para dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawesisa yang bertahta sejak tahun 1521 yang dibantu oleh para resi.
..............


Di atas adalah cuplikan artikel di Republika (online) yang berjudul "Genealogi Intelektual Ulama Betawi".

Hanya untuk koreksi, dalam khazanah naskah Sunda (setahu saya) tidak pernah ada naskah berjudul 'Carios Parahiyangan'. Yang ada adalah 'Carita Parahiyangan', naskah Sunda berisi cerita tentang raja-raja Sunda yang ditulis sekitar abad ke-16 (kalau tidak salah).

Dalam bahasa Sunda, kata carios dan carita memang mengandung arti yang sama. Namun, kata pertama, menurut tatanan undak-usuk bahasa Sunda, lebih 'halus' daripada yang kedua. Dan, sesuai dengan pengetahuan saat ini, undak-usuk bahasa Sunda dikembangkan ketika Tanah Sunda dijajah Mataram, mengadaptasi bahasa Jawa yang 'ditata' oleh Sultan Agung, untuk mengukuhkan perbedaan kedudukan sosial (antara bangsawan/menak dan rakyat jelata) dalam masyarakat Jawa. Pada abad ke-16, kata carios sepertinya belum ada dalam kosakata bahasa Sunda.