24.10.05

Sunda: hegemoni kekuasaan dan sejarah budayanya

Sebuah pertanyaan bagi berdirinya “Negara Pasundan”*

Ahmad Gibson Al-Bustomi


Beuki jauh ka cinyusu
beuki hilir beuki lali
moal nyaah ke petetan
lamun pambrih ka langari
teu paya ku pacengkadan
mun teu pambrih ku rejeki.

(Kinanti Ngahurung Balung, K. H. Hasan Mustapa)

Sunda nanjung upama nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui.

Uga Bandung

Pendahuluan

Fenomena disintegrasi Bangsa (Indonesia) dan paling tidak desentralisasi yang terjadi pada era reformasi merupakan fenomena yang cukup unik: sesuatu yang menjanjikan sekaligus dilematis. Fenomena ini mencuat pada pasca jajak pendapat yang dilakukan di Timor-Timur. Wilayah termuda yang menimbulkan gejolakdan senantiasa pro dan kontra semenjak berintegrasinya dengan Indonesia. Negara Indonesia cukup disibukkan dan tersita perhatiannya direpotkan dengan adanya persoalan tersebut. Dan uang negara pun tersedot dengan jumlah yang sangat besar, dibandingkan dengan biaya pembangun dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk pembangunan provinsi lainnya yang lebih luas sekalipun.

Sejak berdirinya Bangsa dan Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan, yang dibentuk di atas kesamaan pengalaman historis, yaitu pengalaman sejarah penderitaan, yaitu kolonialisme Belanda dan Jepang. Di atas kesadaran kesamaan sejarah tersebut lahirlah sesuatu yang kemudian dikenal dengan kesadaran nasionalionalisme, yang melahirkan momen Sumpah Pemuda. Suatu momen yang mengesampingkan sejumlah perbedaan. Sejak itulah gaung “Nasionalisme” menjadi semakin keras, sebagai senjata yang sangat efektif untuk menumbangkan
kolonialisme.

Semangat Nasionalisme ini menjadi kekuatan yang sangat efektif hingga terbentuknya Negara Kesatuan Indonesia. Riak-riak perpecahan karena isu agama berapa saat pasca Proklamasi bisa teratasi.

Namun, perjuangan untuk menyatukan bangsa Indonesia , tampaknya belum bisa disebut selesai, karena tiba-tiba muncul gejolak yang berakar dari persoalan keterpisahan bangsa Indonesia oleh beberapa hal, antara lain: prluralitas suku bangsa, keterpisaha wilayah yang demikian luas oleh lautan, perbedaan agama, budaya dan bahasa dan lain sebagainya. Hal tersebut melahirkan gejolak yang cukup keras, antara lain terkristalisasi dengan munculnya ide pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS, di bawah tekanan Belanda) walaupun tidak bertahan lama; dan terjadinya gejolak ideologi, antara ideologi yang berakar pada agama (ideologisasi agama), kerakyatan dan nasionalisme. Untuk menyelesaikan tersebut, Presiden pertama Indeonesia, Soekarno melemparkan gagarasan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang ditentang oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agama. Fenomena ideologis ini sedikit mereda karena terjadinya “penghianatan” G30 SPKI, yang menelorkan Supersemar dan Ordebaru. Beberapa saat itu gejolak-gejolak Ideologi “terkendali” walau pun menyimpan bara dalam sekam, dengan cara meregulasi partai-partai politik. Demikian pula dengan persoalan-persoalan perbedaan Suku Bangsa. Orang menjadi gamang dan ketakutan untuk memunculkan identitas dan supremasi kesukuan walau sekedar menampilkan “tradisi” lokal, karena dianggap SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Suatu istilah yang apabila keseleo “lidah”, penjara telah disediakan baginya.

Kekhawatiran “Pemerintah” Ordebaru terhadap gejolak kesukuan, agama dan golongan ini pun, khususnya persoalan kesukuan telah membelenggu perkembangan kebudayaan lokal, seperti tampak dalam upaya untuk mengurangi kuatitas dan kualitas pelajaran budaya daerah di sekolah-sekolah. Kebudayaan dan tradisi lokal hanya dipupuk dan dibiarkan hidup selama ia bisa dijadikan komoditi ekomoni (objek Wisata). Perbedaan performent budaya hanya legal dan boleh ditampilkan di Taman Mini atau pentas-pentas budaya di Luar Negeri. Sehingga, kebudayaan daerah lebih dikenal oleh para turis asing atau di luar negeri dari pada oleh pemiliknya. Dalam konteks ini terdapat paradoks, kebudayaan lokal dianggap sebagai aset nasional di satu sisi, dan dianggap sebagai ancaman bagi integrasi bangsa, di sisi lain.

Upaya penghilangan sumber-sumber konflik melalui cara-cara tersebut, ternyata malah menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi bangsa. Karena selama ini potensi-potensi konflik tidak mendapatkan saluran yang memadai.

Fenomena disintegrasi bangsa yang kini mengancam bangsa Indonesia, lebih banyak diasumsikan sebagai fenomena yang muncul karena persoalan politik dan ekonomi belaka. Tidak pernah dilihat sebagai persoalan emosi kedaerahan dan kesukuan karena secara efektif dan sistematis digiring pada suatu warna budaya dan tradisi kebudayaan kelompok budaya tertentu, yaitu pada kebuayaan Jawa (bisa dilihat pada penggunaan logat dan sosialisasi istilah-istilah Jawa yang digunakan oleh pejabat Orde Baru). Sementara persoalan ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi dan politik (dengan tidak bermaksud mengecilkan aspek tersebut) lebih merupakan pemicu strategis.

Ide, atau gagasan yang dimunculkan dalam “sawala” kali ini, dengan mengedepankan kemungkinan munculnya “Negara Bagian Pasundan” atau Negara Pasundan” (untuk ide Provinsi tidak perlu dipersoalkan, toh selama ini Pasundan merupakan sebuah provinsi yaitu provinsi Jawa Barat) atau sekedar peralihan nama dari Provinsi Jawa Barat ke Provinsi Pasundan, bila kita simak, sepertinya berpijak di atas kerangka pemikiran serta horison kedaerahan. Dengan demikian, inti persoaln yang dibicarakan, sesungguhnya, tidak terletak pada persoalan yang murni politik, akan tetapi pada kebudayaan atau paling tidak politik kebudayaan.

Karena itulah, tulisan ini akan secara spesifik lebih memfokuskan pada perkisaran persoalan budaya Sunda.

Trauma dan Obsesi Berkuasa pada Masyarakat Sunda

Sejarah Peradaban Sunda, bila menggunakan matra dinamika hegemoni “kekuasaan” dapat bagi dalam empat babakan. Antara lain: pertama, masa kerajaan Sunda (dari masa Kerajaan Tarumanagara/Salakanagara hingga masa Kerajaan Pajajaran. Kedua, masa kekuasaan Islam-Sunda, yaitu masa kekuasaan Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sultan Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati) di Banten. Ketiga, masa Sunda-Islam-Mataram yang dilanjutkan dengan masa kolonialisme Belanda-Jepang. Dan akhirnya, keempat masa kemerdekaan. Dan, sejak masa ketiga, yaitu sejak masa Sunda-Islam-Matara sejarah Sunda dan kebudayaan Sunda mengalami pasang surut yang sesungguhnya.

Pada dua masa yang awal, yaitu masa kerajaan Sunda dan masa Islam-Sunda, kebudayaan Sunda dalam berbagai aspeknya mengalami masa ke-emasannya. Selanjutnya, diawali dengan “kelonialisme” budaya dan politik Mataram dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda-Jepang, kebudayaan Sunda mengalami pasang surut, secara bertahap namun pasti. Kemunduran itu, dapat dilihat dari berbagai indikasi, baik indikasi sosial, budaya maupun politik. Secara sosiologis, kehidupan masyarakat Sunda beralih dari pola kehidupan (budaya) huma dan berladang, beralih ke pola kehidupan (budaya) sawah. Peralihan pola kehidupan ini berpengaruh sangat kuat pada sistem sosial. Pola kehidupan huma dan ladang yang cenderung egaliter, karena pola penggarapan huma dan sawah biasanya dilakukan oleh seluruh keluarga (keluarga besar=banyak anak banyak rejeki) dengan tanpa menggunakan atau mengenal buruh dan tidak memerlukan badega (bodyguard) serta manor beralih pada sistem sosial yang mengenal buruh, mandor bahkan badega. Sistem sosial ini telah merubah sistem sosial egaliter ke sistem sosial berkelas.

Peralihan sistem sosial ini diawali oleh masuknya hegemoni kekuasaan Mataram ke tatar Sunda. Suatu hegemoni kekuasaan yang ditegakkan di atas etika feodalisme khas Mataram. Jawa. Sistem stratatifikasi sosial, yang didukung oleh berkembangnya budaya bersawah, dan sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas etika kekuasaan feodalistik, telah pula menuntut perubahahan sistem budaya. Salah satu aspek budaya yang menjadi alat interaksi sosial yang secara langsung menuntut perubahan karena adanya stratifikasi sosial adalah aspek bahasa. Bahasa Sunda, yang konon tidak mengenal tingkatan (panta-panta), pada akhirnya mendapat imbas paling efektif untuk berubah. Maka lahirlah sistem bahasa Sunda yang mengenal tingkatan, yaitu halus, sedang, dan kasar. Bahasa selain sebagai alat komunikasi, ia pun telah menjadi standar etika sosial, baik atau baiknya serta sopan dan tidaknya seseorang ditentukan oleh caranya berbahasa. Tingkatan bahasa yang sebetulnya bukan merupakan tuntutan gramatika bahasa, akan tetapi lebih merupakan tuntutan sistem nilai budaya dan sistem sosial. Perubahan sistem bahasa akan secara sistematis merubah struktur budaya lainnya, bahkan berubah pula sistem nilai budayanya. Bila sistem nilai budaya sebagai kristalisasi dari akumulasi pengalaman sejarah psikologis suatu bangsa telah berubah, maka tidak ada lagi yang tersisa pada bangsa tersebut.

Bila suatu bangsa mengalami suatu masa kolonial, ia tidak akan pernah kehilangan jati dirinya, bila budayanya tidak tersentuh; akan tetapi penjajahan yang menyentuh aspek-aspek budayanya, khususnya bahasanya (bahasa sebagai ciri suatu bangsa), maka sesunggunya bangsa itu telah kehilangan jati dirinya, suatu kondisi yang lebih parah dari sekedar kematian.

Hilangnya jati diri Ki Sunda, tergambar dalam legenda Pun Boncel, yang sangat dikenal. Legenda yang menceritakan seorang anak dusun yang karena telah menjadi seorang priayi, ia sampai tega melupakan dan mengingkari ibunya sendiri. Dalam traadisi budaya (kosmologi Sunda) Seorang Ibu merupakan simbolisasi dari nilai-nilai primordial (ingat Dewi Sri dan Sunan Ambu). Salah satu nilai primordial yang paling substansial, selain nilai-nilai Ilahi, nilai-nilai budaya yang diwariskan sejak nenek moyang bangsa tersebut. Bila sosok ibu merupakan simbolisasi dari sistem nilai primordial yang terkristalisasi dalam sistem nilai budaya, maka pada kasus legenda Pun Boncel, dapat dilihat sebagai gambaran seorang priyayi Sunda yang kental dengan didikan budaya Sunda
(sebagai seorang dusun) yang melupakan dan meninggalkan nilai budayanya sendiri hanya karena mendapatkan “kedudukan” sebagai seorang Dalem. Bila melihat simbol-simbol budaya dalam legenda Pun Boncel, maka dapat diperkirakan bahwa legenda Pun Boncel tersebut menceritakan kondisi masyarakat Sunda masa Sunda-Islam-Mataram, atau paling tidak masa awal penjajahan Belanda dan akhir masa kekuasaan Mataram. Legenda Pun Boncel, menceritakan secara radikal kebanggaan seorang manusia Sunda terhadap sistem nilai budaya dengeun (bangsa lain) dari pada budayanya sendiri. Legenda tersebut merupakan kritik dan evaluasi moralitas-sosial masyarakat Sunda yang mengalami budaya “pop”, budaya yang juga dialami opeh para priayi pada masa Ordebaru, budaya latah.

Disintegralisasi Sunda-Indonesia, Sebuah Dilema
Bila apa yang diteriakkan tokoh poros tengan dan Ketua MPR Amin Rais untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Federal, sebagai satu-satunya jalan keluar yang paling memungkinkan untuk menghindari disintegrasi bagsa, maka “diperkirakan” Sunda akan menjadi salah satu Negara Federal tersebut (Dalam hal ini, persoalan apakah Provinsi Jawa Barat dirubah menjadi Provinsi Pasundan, Negara Bagian [Federal] maupun Negara Pasundan [Merdeka] tidak menjadi persoalan karena bagai Masyarakat Sunda memiliki persoalan yang sama). Hal ini bisa terjadi selain Sunda merupakan sebuah Provinsi (Jawa Barat), Sunda pun memiliki latar historis yang berbeda (khas) dengan wilayah Jawa lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Kecuali bila masih ada asumsi bahwa Sunda atau Pasundan masih merupakan wilayah kekuasaan Mataram, paling tidak hingga masa kekuasaan Suharto yang gayanya sangat Mataramisme. Maka wilayah Sunda akan masuk pada wilayah Jawa yang lainnya.

Berandai-andai Sunda menjadi salah satu Negara Federal di bawah naungan Negara Indonesia atau Nusantara, maka tampaknya terdapat beberapa persoalan yang perlu di dibenahi dan dipersiapkan.

1. Penegasan Identitas dan Referensi Sistem Nilai Budaya.
Ini menjadi penting karena hal tersebut akan menjadi sandaran kepribadian bangsa Pasundan (atau apa pun namanya). Bila Aceh telah menggulirkan khas Acehnya, yang juga menjadi salah satu dasar tuntutan Aceh untuk menjadi wilayah otonom dan wilayah yang betul-betul istimewa (Daerah Istimewa) bahkan Aceh Merdeka, maka Sunda pun tentunya “harus” memiliki landasan tersebut. Persoalannya pada landskap budaya dan sistem nilai budaya mana Negara Pasundan akan dipinjakkan. Apakah landskap Kerajaan Sunda dengan Pajajaran sebagai modelnya. Ataukah Sunda-Islam dengan masa Sunan Gunung Jati dan Sultan Hasanuddin yang berupaya mengkompromikan sistem nilai budaya lokal dengan Islam (juga sebaliknya), sebagai ladnskapnya. Atau landskap Sunda-Islam-Mataram, yang feodalistik? Atau barangkali baru akan kita rumuskan kemudian: suatu sistem budaya dan sistem nilai budaya baru yang kompromi dengan kemodernan bahkan ala modern yang belum dan tidak jelas bentuknya itu. Yang, kemudian disebut sebagak Sunda kiwari (Sunda kontemporer).

Bila kita mengamati sistem nilai budaya yang kini hidup mengakar di kalangan masyarakat Sunda, khususnya kaum muda (nonoman Sunda kiwari), dapat dikatakan bahwa mereka hidup di bawah naungan sistem nilai budaya modern yang belum jadi. Dengan kata lain, masyarakat Sunda kiwari adalah masyarakat Sunda yang tidak “nyunda”, bukan pula Indonesia, dan modern pun belum jadi. Disebut tidak nyunda, karena terdapat sejumlah karakteristik ke-Sunda-an yang telah tercerabut dari dalam diri nonoman Sunda, tergilas oleh sistem nilai budaya Barat Modern. Disebut Indonesia juga bukan, karena mereka lebih cenderung menggunakan nilai-nilai budaya Barat modern, selain memang Indonesia (sebagai negara kesatuan) sampai sekarang belum memiliki sistem nilai budaya yang jelas.

Bila orang Sunda ditakar oleh sistem nilai budaya dan kepribadian Barat Modern, maka masyarakat Sunda kiwari termasuk salah satu bangsa yang sulit untuk menjadi Barat Modern. Pada sikap keterusterangan (terbuka) sebagai contoh. Walau pun ada yang berpendapat bahwa orang Sunda itu merupakan bangsa yang terus terang (terbuka), seperti tampak pada karakteristik masyarakat Badui (Kanekes) atau Mayarakat Sirnarasa Cisolok-Sukabumi (sebagai prototipe Sunda lama), namun tampaknya pengaruh budaya Mataram telah terlalu kuat tertanam dalam kepribadian masyarakat Sunda. Masyarakat yang terlalu banyak menggunakan ungkapan silib sampir-sindang siloka, malapah gedang. Selain itu, masyarakat Sunda bukanlah masyarakat yang bisa bersikap “radikal” (dalam terminologi etik bukan epistemologis) dan prontal. Masyarakat Sunda sering lebih memilih menahan diri, uwuh pakewuh, ketika berhadapan dengan sejumlah gejolak politik. Hal ini dimungkinkan tiga hal:

Pertama, trauma sejarah politik bangsa Sunda semenjak masa kolonialisme Mataram yang memposisikan bangsa Sunda sebagai abdi penguasa Mataram hingga masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Bahkan pada masa kemerdekaan pun wilayah Pasundan (Jawa Barat) lebih sebagai wilayah perluasan penguasaan ekonomi yang sangat sedikit bisa dinikmati oleh komunitas Sunda sendiri. Kasus kecil dapat ditemukan, yaitu tersingkirnya orang Betawi (Sunda Kelapa) menjadi masyarakat pinggiran dan menjadi warga “kelas dua”.

Kedua, suatu sikap dari sa;ah dimengertinya sikap dan kebijakan yang diambil Prabu Bunisora Suradipati (dengan karakteristik kematangan spiritualnya) oleh orang Sunda yang mengakibatkan dampak psikologis dalam mengahadapi trauma dari bencana besar perang Bubat. Suatu sikap yang secara tidak sadar menjadi kepribadian bangsa Sunda (masuk wilayah tidak sadar dalam benak masyarakat Sunda). Trauma-trauma tersebut telah membentuk kepribadian masyarakat Sunda bersikap sangat hati-hati. Sikap yang menimbulkan dua kemungkinan sikap politis yang diambil oleh masyarkat Sunda. Sikap “curiga” atau sikap apriori (dingin) dan melakukan “aksi diam” terhadap persolan-persolan politik. Hal ini tampak ketika gejolak politik nasional memuncak, wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang relatif paling “aman”. Sikap tenang masyarakat Sunda yang menjadi ciri masyarakat masyarakat Jawa Barat telah menjadikan elite politik pusat dan masyarakat Indonesia pada umumnya terheran-heran bahkan kaget ketika terjadi gejolak di Tasik. Persoalan yang dipicu oleh ketersinggungan harga diri seorang ustadz/santri ketika wilayah kekuasaan dan otoritasnya diganggu. Gejolak ini secara langsung atau pun tidak telah memberikan inspirasi bagi munculnya gejolak di wilayah lainnya secara terbuka. Barangkali orang berpikir, bila masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang dikenal penyabar bisa sedemikian tersinggung apalagi yang lainnya. Maka muncullah gejolak-gejolak di wilayah lainnya.

Ketiga, karena suatu kepribadian masyarakat, yaitu pribagi “Kabayanisme”. Suatu sikap dan pribadi “anu teu nanaon ku nanaon”. Pribadi yang teguh, seperti seekor ikan di lautan. Dalam tradisi spiritual (sufisme) kondisi ini dikenal sebagai kondisi puncak ketasawufan dalam sistem Martabat Tujuh, yaitu: Insan Kamil. Kondisi ini barangkali terlalu dianggap mengada-ada. Wallahu’alam.

2. Membangun Jembatan Silaturahmi antar Elite Masyarakat Sunda

Trauma dan perjalanan sejarah masyarakat Sunda, seperti dijelaskan di atas, telah melahirkan stratatifikasi sosial yang unik. Selain stratatifikasi sosial yang terlahir dari bingkai ekonomi (buruh dan majikan atau kaya dan miskin) yang hal ini sebenarnya tidak terlalu menonjol, dan strata sosial yang terlahir dari bingkai politik (rakyat dan penguasa) dan ini pun dalam masyarakt Sunda tidak terlalu menonjol karena sejak masa kemerdekaan jarang sekali orang Sunda yang berkuasa. Stratatifikasi sosial yang lebih menonjol sebenarnya muncul dalam bingkai budaya, yaitu terjadinya tiga strata sosial, yaitu strata santri, budayawan, dan skular atau ilmuwan.

Pada masa Sunda-Islam yang dipelopori oleh Sunan Gunung Jati, kelompok santri dan budayawan ini sama sekali tidak terpilah, karena seorang santri adalah juga seorang budayawan, demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam tataran politik pun bisa dilihat, bahwa seorang penguasa sekali pun ia adalah seorang santri sekaligus budayawan. Akan tetapi bila kita melihat pada masa modern, khususnya ketika terjadi gerakan modernisasi dan purifikasi dalam pemahaman keislaman. Masyarakat Sunda yang secara kultural bersifat egaliter, tentunya memiliki kecenderungan rasional dan individual, maka gerakan ini “relatif mendapat sambutan yang spesifik dari masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Sunda di perkotaan. Sementara itu gerakan modernisasi dan purifikasi dimana pun ia berada cenderung menolak nilai-nilai budaya lokal. Gerakan ini mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat Islam yang tidak merasa cocok dengan moderniasasi dan purifikasi yang radikal, dengan cara mempertahankan tradisi beragama lokal (Arabisme klasik). Pertentangan menjadi seru, hingga tokoh yang memiliki pandangan yang berusaha yang mempertemukan kedua pandangan ini pun dieliminir oleh kedua kelompk tersebut. Salah seorang tokoh yang berusaha untuk menggabungkan kedua kelompok ini adalah K.H. Hasan Mustapa. Tokoh yang pemikirannya masih jarang dibicarakan.

Pertentangan antara agamawan dan agamawan dengan budayawan tampaknya belum bisa terselesaikan secara tuntas. Belum lagi ketidakpedulian para elite politik Sunda yang masih mabuk oleh asesoris birokrasi feodalisme. Demikian pula dengan kelompok skular Sunda yang pada umunya masih risi dan pobi dengan budaya lokalnya dan masih belum akrab dengan agamanya sendiri.

Bila “gap” (baik disadari atau pun tidak) yang muncul dalam bentuk sikap saling tidak peduli dan kehilangan silaturahmi antara elite politik, elite budaya dan elite intelektual tidak pernah berusaha untuk dijembatani, maka sulit dibayangkan bentuk negara federal macam apa yang akan terbentuk. Masing-masing, pada akhirnya, akan mendahulukan kepentingannya masing-masing kelompok. Ketika itulah lahir masyarakat feodal yang lebih parah dari masa-masa sebelumnya. Ide
Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid, (pemikiran yang pernah diupayakan oleh K.H. Mustapa) barangkali bisa dijadikan jembatan, khususnya anatara elite agama dan budayawan. Ide yang dikenal dengan “pribumisasi Islam”. Upaya untuk mempertemukan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai budaya lokal. Suatu penafsiran terhadap Islam yang tidak mengabaikan karakteristik budaya lokal. Suatu cara pandang keagamaan yang dimiliki para Wali, khususnya Sunan Gunung Jati. Upaya yang dengan sendirinya diharapkan akan mampu menjembatani kedua elite dan lokal genius baik dalam bidang keagamaan maupun budaya.

* Disampaikan dalam Diskusi Politik Dwi-Minguan dengan topik: “Dilema Ki Sunda, antara Provinsi, Negara Bagian dan Negara Pasundan”, yang diadakan oleh Harian Umum SUARA PUBLIK, pada Hari Sabtu, 27 November 1999, di Hotel Bumi Asih Jaya – Bandung.

Menghapus Jejak Masa Lalu

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Lamum mener nu asalna
Tei pahili pancakaki
disebut nugraha tea
ku nu baroga pamilih
bubuhaning jasmani
embung ieu hayang itu
ari hak-hakna mah
nu pahili di salingsing
pieusieun panjara pasalingsingan.

Sinom, K. H. Hasan Mustapa

Pembuatan atau pendirian Prasasti Batutulis pada tahun 1533 Masehi atau 1455 tahun Saka, oleh Raja kedua Kerajaan Pajajaran yaitu Maharaya Surawisesa (1521-1535) untuk mengenang jasa-jasa ayahnya, Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Raja ke-2 Kerajaan Pajajaran. Prtasasti Batutulis tersebut diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa Lingga Batu ditanamkan. Prasasti Batutulis dibuat setelah terjadinya perjanjian perdamaian dengan kesultanan Cirebon. Dengan demikian, paling tidak terdapat dua nilai budaya yang dimiliki Prasasti tersebut. Pertama, adanya tradisi untuk menghormati warisan leluhur dan untuk senantiasa menjadikan tapak lacak para pendahulu sebagai pegangan dan tauladan dalam kehidupan. Kedua, upaya-upaya persamaian dalam setiap perselisihan atau konflik dengan cara perdamaian lebih memiliki kemungkinan dan kesempatan untuk memperkokoh dan memperteguh suatu bangsa. Dengan perdamaian tersebut sejumlah kerajaan yang berada di bawah Kerajaan Pajajaran kembali bersatu setelah mengalami kegoncangan selama peperangan. Hal ini terbukti, bahwa kerajaan Pajajaran masih bertahan hingga Raja keenam, yaitu Ragamulya Suryakancana (1567-1579).

Prasasti tersebut bertuliskan, yang artinya:

"Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) dengan Gelar Sri Baduga Maharaja rau penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia nak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di guna tiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang.

Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunun-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Telaga Rena Mahawijaya. Yang Dialah (yang membuat semua itu).
Dibuat dalah tahuan Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455 Saka)."

Sri Baduga Maha Raja yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, merupakan raja pertama Pajajaran yang menyatukan kembali Kerajaan Sunda Pakuan di Kraton Sri Bima di Pakuan (Bogor), dan Kerajaan Galuh di Kraton Surawisesa Kawali.

Terdapat banyak prasasti peninggalam Raja-Raja Sunda yang kesemuanya memiliki nilai budaya yang tidak ternilai. Namun demiakian nilai dari suatu peninggal sejarah sangat tergantung pada apresiasi bangsa dan masyarakatnya terhadapa peninggalan tersebut. Apa bila kita hanya mengapresiasi peninggalan-peninggalan tersebut sebagai benda mati, tumpukan batu dan hanya dipandang sebagai harta karun, maka hanya dalam hitungan jari, peninggalann itu akan lenyap dari permukaan bumi dan lenyap pula nilai budaya dan historis yang dikandungnya.

Dengan demikian, wajarlah bila penghormatan Surawises sebagai pewaris dan pelanjut kerajaan Sunda Pajajaran untuk menghormati Raja sebelumnya, ayahnya. Karena dialah yang menyatukan kembali keutuhan Kerajaan Sunda. Di sisi lain, pendirian Prasasti Batutulis merupakan ungkapan penyesalan dari Raja Surawisesa karena tidak memapu menjaga keutuhan Kerajaan Sunda, seperti yang diamanatkannya yang juga tertulis dalam berbagai prasasti.

Dalam perspektif antropologis, semangat kebangsaan walau bagaimana pun, berakar pada adanya kesadaran historis. Kesadaran yang berakar pula dari kecintaan dan konsern masyarakat suatu bangsa terhadap peninggalan para pendahulunya. Bila kesadaran historis tersebut telah hilang dari benak anak bangsanya maka bukan mustahil apa bila kecintaan kapada bangsa atau yang dikenal dengan nasionalisme akan pula hilang dengan sendirinya. Seperti hilangnya nasionalisme dan cinta bangsa dan produk bangsa dari generasi muda bangsa Indonesia, karena simpang siurnya catatan sejarah perjuangan bangsa ini, yang disebabkan oleh keserakahan penguasa selanjutnya.

Dengan alasan pembangunan dan dengan alasan-alasan keraguan atas peninggalan sejarah yang hanya dianggap sebagai cerita mitologis , sebagai contoh, situs peninggalan sejarah masa lalu diratakan dengan tanah. Dan, dengan alasan untuk membayar hutang negara, Prasasti peninggalan etnik lain dibongkar dengan tanpa rasa hormat sedikitpun, paling tidak rasa hormat pada etnik pewaris situs tersebut.

Sudah terlalu banyak sesungguhnya situs-situ di Jawa Barat ini yang dibongkar dengan semena-mena, sebagai ekses dari pembangunan ekonomi yang tidak mengindahkan pertimbangan ekologi budaya. Alih-alih dilindungi dan dijaga, malah diratakan dengan tanah karena merasa bahwa situs tersbut, kalau pun benar, tidak memiliki nilai ekonomis yang signifikan untuk pembangunan. Padahal, kejayaan bangsa ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari sejarah bangsabangsa sebelumnya. Hal yang juga diamanatkan dalam salah satu situs Prasasti Kerajaan Sunda yang tertulis pada Kropak 632 Kabuyutan Ciburuy di Lereng Gunung Cikuray (di tulis abad ke-13/14).

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tak hana watang, hana ma tunggulnya aya tu catangnya.”


Ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu tak akan ada sekarang, ada masa silam ada masa kini, tidak ada masa silam tak akan ada masa kini, Ada tonggak ada batang, tak ada tonggak tidak akan ada batang, bila ada tunggu tentu ada catangnya.

Masyarakat Sunda, Jawa Barat, pada akhirnya hanya bisa berpangku tangan dan hanya bisa berteiak setelah peninggalan pendahulunya dibongkar atau diratakan dengan tanah. Dan setelah itu hanya mendapatkan “permohonan maaf”, karena “takut” dicopot dari jabatannya. Tampaknya memang hal tersebut harus ditema dengan lapang dada, akan tetapi yang harus dipikirkan adalah upaya-upaya yang realistis untuk melindungi dan melakukan studi secara intensip terhadap peninggalan budaya pendahulu masyarakat Sunda, Jawa Barat.

Kesulitan untuk melindungi cagar budaya dan situs-situs sejarah di Indonesia, adalah karena pada umumnya pusat-pusat kerajaan masa lalu kini menjadi ibu kota, seperti Bogor. Sehingga, karena alasan kepentingan pembangunan dan alasan utamanya yaitu keserakahan, perlindungan terhadap warisan sejarah tersebut terabaikan. Apalagi, posisi kota bogor sebagai penyangga Ibu Kota Negara, seperti halnya Banten. Terdapat satu wilayah yang masih belum terjangkau oleh pembangunan yang membabi buta tersebwut, yaitu wilayah Galuh dan Kawali, Ciamis. Namun wilayah tersebut aman bukan karena di jaga, tapi karena belum kelihatan potensi-potensi ekonomis yang menarik untuk digarap.

Kota-kota yang dibangun di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, masih dalam kategori kota yang dibangun di atas pertimbangan ekonomi dan politik. Belum ada kota yang dibangun sebagai kota cagar budaya. Diantara kota yang semestinya mendapat prioritas sebagai kota cagar budaya adalah Banten, Bogor, Ciamis, Banjar dan Cirebon. Dengan demikian penilain terhadap kota-kota
tersebut tidak hanya berdasarkan penilaian ekonomis akan tetgapi juga berdasarkan penilaian-penilaian historis. Jangan samapai bangsa ini menjadi bangsa bermental Malin Kundang atau Pun Boncel, yang melupakan tapak-tapak sejarah primordialnya hanya demi kesenangan sesaat.

21.10.05

Sajarah Sunda

Edi S. Ekadjati

Bhineka Tunggal Ika teh lambang nagara Republik Indonesia. Eta lambang hartosna "rupa-rupa tapi hiji ", ngandung hartos yen Indonesia diwangun ku rupa-rupa sukubangsa, kabudayaan, katut nusa, tapi sakumna sapuk ngahiji jadi bangsa Indonesia pikeun ngudag hiji cita-cita nasional nya eta masyarakat adil jeung ma'mur.

Salasahiji anggota bangsa Indonesia nya eta sukubangsa Sunda anu miboga kabudayaan jeung lemah cai sorangan, wujudna mangrupa kabudayaan Sunda jeung Tanah Sunda atawa Tatar Sunda. Kecap Sunda anu ngandung harti wewengkon atawa daerah mimiti kacatet dina prasasti (Prasasti Juru Pangambat) taun 458 Saka (536 Masehi). Anu pasti pisan Sunda sabage nagara (karajaan) kacatet dina prasasti Sanghiyang Tapak taun 952 Saka (1030 Masehi). Dina ieu prasasti disebutkeun sababaraha kali yen Sri Jayabhupati ngaku sabage raja Sunda. Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat.

Sangkan jaga henteu nimbulkeun salah paham atawa ngabingungkeun, pedaran ngeunaan sajarah Sunda dibagi dua. Kahiji, medar harti sajarah jeung gambaran sajarah Sunda nurutkeun kabudayaan Sunda. Kadua, medar sajarah Sunda dumasar hasil panalungtikan elmu sajarah. Soalna, harti sajarah sacara tradisi dina hirup kumbuh urang Sunda mangsa katukang geuning beda atawa aya bedana jeung harti sajarah dumasar elmu sajarah ayeuna. Sacara tradisi harti sajarah ceuk urang Sunda teu bina ti legenda atawa mitologi, nyaritakeun kahirupan manusa di ieu dunya, tapi bari dipacampurkeun hirup kumbuhna jeung kahirupan mahluk gaib kayaning jin, arwah luluhur, sato kajajaden. Apan sajarah nurutkeun elmu sajarah mah kudu nyaritakeun kahirupan manusa di ieu dunya anu sajalantrahna, bisa dibuktikeun manusa-manusana kungsi hirup di ieu dunya tur kahirupanana enya-enya kungsi kajadian. Atuh dina nyaritakeunana kudu kaharti ku akal (rasional), marele (sistematis), jeung runut runtuyan waktuna (kronologis).

Dina ieu kasempetan pedaran sajarah Sunda diwatesanan ku sajarah Sunda periode Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh anu ngawengku waktu kurang leuwih 9 abad ti mimiti ahir abad ka-7 nepi ka ahir abad ka-16 Masehi.

I. SAJARAH SUNDA JEROEUN KABUDAYAAN SUNDA

Dumasar titinggal tinulis anu mangrupa prasasti jeung naskah, dina abad wewelasan urang Sunda geus katembong gede kasadaran sajarahna. Sababaraha prasasti anu dikaluarkeun ku raja Sunda disebutna sakakala. Eta istilah ngandung harti pangeling-ngeling; pangeling-ngeling ka mangsa katukang. Jadi, prasasti sakakala hartina prasasti anu dikaluarkeun atawa eusina pikeun mieling hiji hal (kajadian, kaayaan) anu geus kalakonan. Beda jeung prasasti piteket, nya eta prasasti anu dikaluarkeun pikeun mutuskeun hiji hal atawa anu eusina kaputusan raja ngeunaan hiji hal. Eusi prasasti sakakala nyaritakeun kajadian atawa kaayaan mangsa katukang, ari prasasti piteket ngembarkeun hal anu kajadian harita. Kukituna prasasti sakakala leuwih eces nembongkeun kasadaran sajarahna tibatan prasasti piteket, sok sanajan duanana oge ngandung ajen dokumen historis. Prasasti Batutulis anu aya di kota Bogor ayeuna bisa dijadikeun conto prasasti sakakala. Ieu prasasti anu ditulis make basa Sunda (kuna) dikaluarkeun ku Prabu Surawisesa (raja Sunda nu marentah taun 1521-1535) taun 1533 pikeun mieling ramana, Sri Baduga Maharaja (raja Sunda nu marentah taun 1482-1521), anu pupus 12 taun kalangkung (1521) bari sakalian ngayakeun upacara srada, nya eta upacara pikeun nyampurnakeun arwah luluhur. Dina ieu prasasti dicaritakeun ngeunaan gelar Sri Baduga Maharaja anu sababaraha kali gentos luyu sareng kalungguhanana, luluhur Sri Baduga, jeung hasil garapanana. Unina awal eta prasasti kieu. "Wan na pun. Iti sakakala Prebu Ratu purane pun. …" (Mugi-mugi salamet. Ieu tanda mieling haturan Prebu Ratu almarhum. …). Conto prasasti piteket nya eta prasasti Sanghiyang Tapak anu dikaluarkeun ku Sri Jayabhupati, raja Sunda taun 1030-1042. Ieu prasasti ngabewarakeun kaputusan Sri Jayabhupati ngeunaan wates daerah kabuyutan (daerah kaagamaan) Sanghiyang Tapak, larangan ngaganggu eta daerah kabuyutan, larangan ngala lauk di walungan nu aya di eta daerah, jeung ancaman hukuman ka sing saha anu ngalanggar larangan-larangan kasebut.

Luhurna kasadaran sajarah urang Sunda harita katembong oge tina amanat Rakeyan Darmasiksa, raja Sunda taun 1175-1297, ka putra-putuna, jembarna ka sakumna urang Sunda sapandeurieunana. Eta amanat kaunggel dina naskah Amanat Galunggung anu ditulis dina daun lontar make aksara jeung basa Sunda (kuna). Unina kieu.

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke.
Aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna.
Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang.
Hana ma tunggulna aya tu catangna."

(Aya bareto aya jaga, lamun teu aya bareto moal aya jaga.
Aya baheula aya ayeuna, lamun teu aya baheula moal aya ayeuna.
Aya iteuk aya dahan, lamun teu aya iteuk moal aya dahan.
Lamun aya tunggul tangtu aya urut tangkalna.)

Hiji cecekelan hirup manusa anu sifatna historis, ngandung tilu dimensi sajarah: mangsa katukang, mangsa ayeuna, jeung mangsa nu bakal datang. Yen dina ngalakonan hirup alam ayeuna perlu nyoreang jeung ngaca ka alam tukang sarta seukeut deuleu jeung teteg hate dina nyanghareupan alam nu bakal kasorang. Sabab, saur Ayatrohaedi oge, sajarah teh nya eta tapak lacak nu kasorang, cecekelan urang leumpang, enggoning ngudag tujuan.

Atuh babaran sajarah anu luyu jeung eta kasadaran sajarah aya contona, seperti babaran sajarah nu aya dina naskah Bujangga Manik (disusun memeh taun 1511) jeung naskah Carita Parahiyangan (disusun teu lila ti saruntagna Karajaan Sunda). Bujangga Manik nyaritakeun pangalaman pangarangna (Prabu Jaya Pakuan) nalika ngalalana ngurilingan Pulo Jawa jeung Bali. Sacara ringkes Carita Parahiyangan nyaritakeun sajarah Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh ti mimiti ngadeg nepi ka runtagna. Raja-raja Sunda jeung Galuh ditataan saurang-saurang bari disebutkeun lilana nyekel pamarentahan.

Hanjakal pisan kasadaran sajarah jeung cara nyusun sajarah kitu teh henteu lana, da sabadana mah sajarah teh dihartikeunana meh sarua jeung legenda, malah sarua jeung mitologi. Atuh carita-carita sajarahna oge disusun dumasar eta harti nepi ka eusina pacampur antara sajarah jeung legenda atawa mitologi. Tegesna, sajarah meh taya bedana jeung dongeng. Gambaran sajarah kitu teh babakuna lamun nyaritakeun zaman Karajaan Sunda, Karajaan Galuh, jeung sumebarna Islam di Tanah Sunda. Katembong pisan saruntagna Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh urang Sunda ngagungkeun eta dua karajaan. Zaman harita dianggapna, malah dipercaya, sabage zaman ideal urang Sunda. Katelahna zaman harita teh zaman subur ma'mur loh jinawi, rea ketan rea keton, tata tengtrem kerta raharja. Tapi ngagungkeunana ku carita anu sifatna legendaris atawa mitologis boh dina wangunan tradisi lisan boh dina wangunan tradisi tulisan. Tradisi lisan ngawujudna dina carita pantun, carita legenda hiji tempat, kapercayaan sabubuhan masyarakat, saperti carita pantun Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara, Lutung Kasarung, legenda leuweung Sancang, kapercayaan kana maung kajajaden anu asalna rayat Pajajaran. Tradisi tulisan ngawujud dina naskah, saperti Babad Pajajaran, Carios Prabu Siliwangi, Wawacan Kean Santang, Sajarah Banten, Carita Dalem Pasehan. Mundinglaya di Kusumah, putera raja Pajajaran, bisa ngapung nyaba ka langit padahal henteu jangjangan sarta bisa ngelehkeun mahluk gaib raksasa (Jonggrang Kalapetung) ku kakuatan gaib. Ciung Wanara keur mangsa orokna dipalidkeun ka walungan, terus nyangsang dina badodon (alat paranti ngala lauk) Aki Balangantrang, tapi henteu kua-kieu, salamet. Guruminda, putera (dewa) Sunan Ambu, ti kaindraan turun ka dunya bari nyamar jadi lutung (Lutung Kasarung) sangkan patepung jeung putera mahkota, Purbasari. Ku kakuatan gaib Guruminda bisa ngayakeun karaton nu singsarwa endah jeung ngabendung walungan masing-masing dina waktu ukur sapeuting. Kean Santang, putera raja Pajajaran Prabu Siliwangi, bisa napak rancang dina beungeut cai laut nyebrang nepi ka tanah Arab. Di Arab Kean Santang tepang sareng Bagenda Ali, oge Nabi Muhammad. Kean Santang lebet Islam, alatan eleh jajaten teu mampuh nyabut iteuk Bagenda Ali anu ditanclebkeun kana taneuh. Sunan Burung Baok, putera Prabu Siliwangi, bisa nerus bumi ti Pakuan (Bogor) ka Suci (Garut) bulak-balik.

Harti jeung gambaran sajarah kitu teh di kalangan tertentu masyarakat Sunda masih keneh lumangsung nepi ka ayeuna. Nepi ka taun 1984 hiji tokoh Sunda di Bandung sok ngadatangkeun roh Prabu Siliwangi anu ngajirim dina awak anak buahna. Sacara teu sadar eta anak buahna nembangkeun kidung anu pikasediheun bari gerak-gerikna siga maung. Dina hiji pajumuhan ilmiah sim kuring kungsi medar sababaraha urang raja Sunda anu hengker tur goreng adat jeung laku-lampahna nepi ka ngabalukarkeun karajaan jadi nyirorot kakuatanana, malah ahirna mah runtag samasakali (1579). Teu lila ti harita muncul komentar-komentar anu sifatna emosional ti sababaraha tokoh Sunda. Aranjeunna nganaha-naha sarta henteu nampi eta pedaran kalawan alesan anu teu jelas. Ringkesna mah, aranjeunna henteu suka raja Sunda digogoreng kitu. Padahal pedaran sim kuring dumasar kana informasi tina naskah Carita Parahiyangan anu disusun ku pangarang warga keneh Karajaan Sunda. Minangkana mah eta pangarang manghanjakalkeun ka raja-raja Sunda anu talajakna kitu.

Harti jeung gambaran sajarah Sunda saperti dipedar di luhur teh mimiti muncul dina awal abad ka-18 sanggeus kabudayaan Jawa asup ka jero kabudayaan Sunda. Asupna kabudayaan Jawa ka Tanah Sunda di mimitian ku asupna kakawasaan Kasultanan Mataram ka Priangan (1625) jeung ka Cirebon (1650). Saenyana dina ahir abad ka-17 nepi ka awal abad ka-18 masih aya keneh tulisan sajarah (historiografi) anu sifatna historis dihasilkeun di Tatar Sunda, nya eta ti Cirebon jeung ti Banten anu geus ngajanggelek jadi karajaan Islam (kasultanan). Bisa jadi eta tulisan sajarah teh, di sagigireun masih keneh aya pangaruh alam pikiran zaman samemehna, oge dipangaruhan ku konsep sajarah nurutkeun paham Islam. Asupna kabudayaan Islam ka Tatar Sunda dimimitian ku kagiatan buniaga jeung mukimna para sodagar Islam di palabuan-palabuan Karajaan Sunda. Eta kaum muslimin ditangtayungan ku Kasultanan Demak (1475-1546). Tapi sanggeus kakawasaan di Tanah Sunda aya dina cangkingan pamarentah kolonial Walanda (ti wangkid 1800) harti jeung gambaran sajarah anu miboga sifat legendaris/mitologis teh beuki ngandelan tur nerekab ka meh sakumna masarakat Sunda. Sigana mah eta teh perlambang kaayaan sabenerna yen urang Sunda geus teu boga kakawasaan deui di lemah caina, anu nyampak ngan kakawasaan nu aya di awang-awang atawa dina lamunan. Pikeun ngabeberah hate nya digambarkeun yen urang Sunda bisa hirup kumbuh pacampur jeung mahluk gaib, malah bisa ngelehkeun maranehanana.

Aya dua masalah anu sajalan tur pikatajieun upama dibahas dina raraga ieu pedaran. Kahiji, masalah Pajajaran sabage jenengan karajaan. Kadua, masalah identitas Prabu Siliwangi. Dina meh sakumna tradisi tulis jeung tradisi lisan anu disusun sabada asupna pangaruh kabudayaan Jawa jeung kakawasaan Walanda, karajaan di Tanah Sunda samemeh asupna Islam make jenengan Pajajaran. Eta tradisi miboga sifat jeung ajen sastra. Padahal dina sumber-sumber sajarah mah (prasasti, naskah primer, beja ti mancanagara) di Tanah Sunda teu aya nagara anu jenenganana Pajajaran. Istilah Pajajaran atawa lengkepna Pakuan Pajajaran dina eta sumber sajarah dipake pikeun nyebut jenengan puseur dayeuh, lain ngaran nagara. Ari jenengan nagarana mah nya eta Sunda, Karajaan Sunda.

Timbulna Pajajaran jadi jenengan nagara, bisa jadi ngaliwatan proses luyu jeung perjalanan sajarahna. Ti taun 1579 Karajaan Sunda taya wujudna deui, sabab geus runtag. Nu masih aya keneh wujudna iwal ti titinggalna (prasasti, arca, batu tahta, benteng, jalan, makam, tatangkalan, tradisi lisan) nu dumuk di patilasan puseur dayeuh karajaan. Eta titinggal kasaksian keneh ku urang Walanda nu datang ka eta tempat taun 1687, 1690, 1703, 1704, jeung 1709. Sababaraha titinggal kasebut masih bisa disaksikeun keneh nepi ka kiwari. Bisa kaharti lamun zaman harita jenengan puseur dayeuh Pakuan Pajajaran mindeng disebut-sebut. Ahirna fungsi istilah Pakuan Pajajaran jadi robah. Anu tadina sacara gembleng sabage jenengan puseur dayeuh, saterusna pecah jadi dua. Pakuan pikeun jenengan puseur dayeuh sarta Pajajaran pikeun jenengan nagara. Memang istilah Pakuan Pajajaran asalna tina dua kecap anu miboga harti sewang-sewangan. Pakuan asalna tina kecap paku (ngaran sabangsaning tutuwuhan palm) atawa kecap akuwu (tempat padumukan raja), ditambah ahiran an atawa awalan pa jeung ahiran an anu nuduhkeun harti katerangan tempat; tempat anu loba tangkal pakuna atawa tempat padumukan raja. Pajajaran asalna tina kecap jajar, ditambah awalan pa jeung ahiran an anu nuduhkeun kaayaan tempat; kaayaan (tangkal paku atawa patempatan) nu ngajajar. Aya nu nafsirkeun Pakuan Pajajaran teh nuduhkeun loba tangkal paku anu ngajajar di sabudereun karaton atawa sabudereun puseur dayeuh. Aya oge tafsiran Pakuan Pajajaran teh nuduhkeun lima wangunan anu ngajajar di kompleks karaton. Dina Carita Parahiyangan eta lima wangunan karaton disebut jenenganana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Istilah Sunda sabage jenengan nagara kaluli-luli, lila-lila robah dipake jenengan wewengkon, penduduk, katut kabudayaanana, nya eta Tanah Sunda (oge Selat Sunda, Sunda Besar, Sunda Kecil, jeung Dataran Sunda), urang Sunda, jeung kabudayaan Sunda. Kituna mah memang aya kabiasaan di kalangan masarakat yen jenengan puseur dayeuh, malah jenengan karaton, sok dipake pikeun nyebut jenengan nagara, saperti Surosowan di Banten, Ngayogyakarta jeung Surakarta di Tanah Jawa.

Teu aya deui raja Pajajaran anu pangkamashurna iwal ti Prabu Siliwangi. Tegesna, Prabu Siliwangi teh raja Pajajaran anu taya tandingna. Waktu dimasalahkeun, naha Karajaan Pajajaran ngan boga hiji-hijina raja anu kamashur? Sacara tradisi jawabna teh, kusabab sadaya raja Pajajaran jenenganana Prabu Siliwangi. Kukituna aya Prabu Siliwangi kahiji, kadua, katilu, jeung saterusna, saperti oge raja Majapahit di Tanah Jawa, aya Prabu Brawijaya kahiji, kadua, katilu jeung saterusna. Samemeh jadi raja Pajajaran, Prabu Siliwangi ngalaman heula hirup prihatin kulantaran dipikangewa ku dulur terena. Memang anjeunna putra raja Pajajaran, nuju alit kakasihna Sang Pamanahrasa. Kasieunan mahkota karajaan ragrag ka Sang Pamanahrasa, anu memang hakna, dulur terena kungsi rek nandasa, tapi sacara gaib teu mempan. Saterusna Sang Pamanahrasa dibalur kulitna nepi ka rupana jadi hideung sarta dijual ka sudagar, tapi dijual deui ka raja daerah Sindangkasih nu perenahna di wewengkon Cirebon ayeuna. Kusabab laku lampahna hade tur loba kabisa, Sang Pamanahrasa dipulung minantu ku raja Sindangkasih, malah teu mangkuk lami diangkat jadi raja Sindangkasih ngagentos mertuana. Sanggeus identitasna kabuka sarta ku kamotekaran jeung kasantikaanana, ahirna Sang Pamanahrasa dijungjung lungguh raja Pajajaran. Ti harita jenenganana digentos jadi Prabu Siliwangi. Anjeunna kongas raja wijaksana, nyaah ka rayat, gede wawanen, loba akal tarekah, sareng sifatna adil palamarta. Cindekna, pribadi Prabu Siliwangi mangrupa tokoh manusa, pamingpin, sareng raja nu ideal. Eta anggapan, malah kapercayaan, hirup keneh di kalangan urang Sunda nepi ka kiwari.

Kiwari jenengan Karajaan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi dipake pikeun ngajenenganan rupa-rupa hal, saperti lembaga pendidikan, jalan, majalah, organisasi. Basana teh ngalap berkah tina nanjungna Karajaan Pajajaran jeung seungitna Prabu Siliwangi sarta itung-itung ngalanggengkeun sajarah luluhur. Pajajaran diantarana dipake jenengan hiji universitas utama di Tanah Sunda, organisasi kasenian, jalan, majalah, teks lagu, jeung sajaba ti eta. Kitu deui siliwangi dipake jenengan kasatuan militer di Tanah Sunda, universitas, organisasi pamuda, bioskop, jalan, majalah/suratkabar, jeung sajaba ti eta.

Taun 1966 Moh. Amir Sutaarga ngumumkeun hasil panalungtikanana ngeunaan identitas Prabu Siliwangi ditilik tina jihad sajarah. Dumasar perbandingan rupa-rupa sumber boh anu miboga ajen sastra boh anu mibona ajen sajarah boh ajen sejenna anjeunna nyindekkeun yen Prabu Siliwangi sabage tokoh sastra identik sareng Sri Baduga Maharaja sabage tokoh sajarah. Eta tokoh teh luhung elmuna, loba hasil garapanana, gede wewesenna, sarta dipikaserab kapamingpinanana. Tapi nurutkeun Ayatrohaedi, tokoh sastra Prabu Siliwangi teh identik sareng tokoh sajarah Prabu Niskala Wastukancana, akina Sri Baduga Maharaja. Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475) kongas wijaksana, nanjeurkeun hukum, hirup sederhana religius (satmata), sarta ngutamakeun kapentingan rayat. Pamiangan eta kacindekan dumasar kana katerangan naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian yen taun 1518 jenengan Siliwangi geus jadi ngaran lalakon carita pantun. Kukituna mustahil raja anu nyangking kalungguhan keneh jenenganana parantos dianggo ngaran carita pantun anu sifatna sastra. Tapi deuih Ayatrohaedi henteu nolak kacindekan Moh. Amir Sutaarga. Saurna, bisa jadi duanana disinugrahan gelar Prabu Siliwangi ku rayatna, lantaran duanana raja agung tur populer. Saurna deui, jenengan Prabu Siliwangi asalna tina Prabu Wangi, gelar almarhum Prabu Maharaja, ramana Prabu Niskala Wastukancana, anu kawangikeun alatan gugur di Bubat (1357) nuju ngabela kahormatan nagara katut lemah caina.

Ahir Karajaan Sunda digambarkeun oge di jero kabudayaan Sunda. Gambaranana henteu negatif, lain aib, tapi sabage parobahan anu sifatna alamiah. Prabu Siliwangi keukeuh mageuhan agemanana (zaman heubeul), tapi henteu nyarek putrana (Walangsungsang, Rarasantang, Kean Santang) lebet Islam (zaman anyar). Prabu Siliwangi nutup lalakonna ku cara ngahiyang ka alam kalanggengan, putrana nguniang hudang nyieun sajarah anyar.

Kukituna, kaayaan urang Sunda katut lemahcaina dina mangsa Karajaan Pajajaran, nurutkeun kabudayaan Sunda mah mangrupa kaayaan ideal, mangsa Sunda jaya. Prabu Siliwangi digambarkeun sabage pahlawan kabudayaan Sunda. Timbulna gambaran kitu teh, jigana, kulantaran sabadana mangsa Karajaan Pajajaran, urang Sunda katut lemahcaina terus-terusan pinanggih jeung kaprihatinan, salilana aya dina kakawasaan deungeun (jati kasilih ku junti), tapi bari terus ngarep-ngarep tandangna deui Prabu Siliwangi kiwari sarta ngalaman deui zaman Pajajaran anyar. Dina sabagian teks lagu mah digambarkeun yen Prabu Siliwangi ngungun ningali ti alam kahiyangan kaayaan Tatar Sunda katut rayatna paburantak tur lara balangsak.

"Hasil meleng hasil ngimpleng, anjogna semet ngahuleng, Tatar Sunda paburantak, paburantak, rahayatna lara balangsak.
Beak taun beak windu, ngabandungan nyerangkeun ti kaanggangan, lampahna pra seuweu-siwi, Pajajaran."


II. KARAJAAN SUNDA JEUNG KARAJAAN GALUH

1. Ngadegna Karajaan Kembar

Katompernakeun abad ka-7 Karajaan Tarumanaga anu ngadeg di Tatar Sunda ti mimiti awal abad ka-5 Masehi tinemu suda kakawasaan katut kakuatanana. Bisa jadi eta teh dilantarankeun ku eleh saingan di laut jeung Karajaan Sriwijaya ti wewengkon Sumatera Kidul. Tarumanagara anu puseur dayeuhna di basisir kaler (Sundapura?) di antara Jakarta-Bekasi kasieuhkeun pangupahjiwana jeung kaamananana ku mekarna Sriwijaya jadi nagara maritim di wewengkon Indonesia beulah kulon. Tapi pairing-iring jeung caremna Tarumanagara, di wewengkon pagunungan mitembeyan ngadeg dua karajaan anyar anu dingaranan Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh. Karajaan Sunda diadegkeun ku raja Tarusbawa, ari nu ngadegkeun Karajaan Galuh nya eta Wretikandayun. Duanana oge masih keneh sarerehan, tunggal teureuh Tarumanagara. Puseur dayeuh Karajaan Sunda nya eta Pakuan (kota Bogor ayeuna), perenahna di sisi walungan Ciliwung anu ngamuara di kota palabuan Kalapa (kota Jakarta ayeuna). Ari puseur dayeuh Karajaan Galuh kungsi aya dua tempat. Mimiti puseur dayeuhna di Bojong Galuh (wetaneun kota Ciamis kiwari), perenahna di antara tinemuna walungan Citanduy jeung walungan Cimuntur anu brasna ka Laut Kidul (Lautan Hindia ayeuna). Laju pindah ka Kawali (kalereun kota Ciamis) anu perenahna di tutugan Gunung Sawal. Wates alam wewengkon eta dua karajaan mangrupa walungan Citarum. Beulah kuloneun walungan Citarum mangrupa wewengkon Karajaan Sunda, kawetankeun wewengkon Karajaan Galuh. Wates alam wewengkon Karajaan Sunda beulah kaler, kulon, jeung kidul mangrupa laut, nya eta Laut Kaler (Laut Jawa ayeuna), Selat Sunda, jeung Laut Kidul. Ari wates beh kaler, wetan, jeung kidul Karajaan Galuh nya eta Laut Kaler, walungan Cipamali, jeung Laut Kidul. Beh wetan Karajaan Galuh tepung wates jeung Karajaan Majapahit anu puseur dayeuhna Trowulan (deukeut kota Mojokerto ayeuna), perenahna di sisi kali Brantas anu ngamuara di kota palabuan Surabaya ayeuna. Majapahit minangka karajaan urang Jawa (sukubangsa Jawa ayeuna).

Ieu dua karajaan disebut kembar, lantaran duanana lahir dina waktu anu meh bareng (akhir abad ka-7 Masehi) tur perenahna parerendeng. Di sagigireun eta, tali mimitran diantara duanana raket pisan boh dina kakulawargaan boh dina kanagaraan. Malah mindeng kajadian kakawasaan raja di hiji karajaan ngurung kakawasaan di karajaan nu hiji deui, boh kulantaran boga hak tina alatan pernikahan boh kulantaran boga hak tina alatan turunan (sagetih), saperti nalika pamarentahan raja Sanjaya (623-632), Rakeyan Darmasiksa (1175-1297), Perbu Niskala Wastukancana (1371-1475), Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Sok sanajan kitu, sawaktu-waktu mah kajadian oge pagetreng diantara eta dua karajaan, kulantaran parebut kadudukan jeung beda pamadegan di antara para pamingpinna, tapi henteu ari nepi ka ngabalukarkeun bengkah duduluran katut peperangan rongkah mah. Keur urang luar Sunda mah ieu dua karajaan katelahna Karajaan Sunda bae.

2. Kahirupan Ekonomi

Pindahna puseur dayeuh karajaan ti basisir (Tarumanagara) ka pagunungan mawa dampak ka nagara katut rakyat Karajaan Galuh jeung Karajaan Sunda leuwih ngutamakeun kahirupan tatanen tibatan kagiatan buniaga. Harita tatanen urang Sunda anu ngabaku nya eta ngahuma, melak pare di huma, di lahan anu tuhur, lain di lahan baseuh (sawah). Tanah di Tatar Sunda memang lendo, bubuhan leuweung geledegan keneh, lapisan taneuh bagian luhur loba nu asalna tina lebu gunung api anu bitu, tingparentul gunung anu mindeng ngadatangkeun hujan nepi ka cai curcor, walungan ting raringkel di ditu di dieu. Kukituna teu wudu mucekil hasil tina tatanen teh. Lian ti nyukupan pikeun dahar sapopoe, paleuleuwih beasna dijual ka mancanagara. Hasil melak pedes oge, lolobana mah iangkeuneun ka mancanagara. Mangsa harita pedes, cengkeh, jeung pala anu disebut rempah-rempah jadi barang dagangan internasional anu dijual sacara tatalepa nepi ka Eropa.

Sasela-selaning ngahuma, loba patani anu sok moro sato ngarah daging, kulit, tanduk, jeung culana. Sato-sato anu sok diboro kayaning uncal, peucang, banteng, badak, jeung rea-rea deui. Di sagigireun eta, para patani migawe oge nyadap tangkal kawung pikeun diala lahangna. Lahang teh mangrupa cai anu kaluar tina langgari kawung, rasana amis matak seger kana badan. Tapi babakuna lahang jadi bahan pikeun nyieun gula, disebutna gula kawung. Hasil tina nyadap oge mokaha, bisa ngajual gula kawung ka para padagang boh padagang pribumi boh padagang ti mancanagara.

Ti jaman Tarumanagara basisir kaler jadi jalan dagang laut internasional anu nyambungkeun tata buniaga ti wewengkon Indonesia ka Asia Kidul, Asia Kulon, katut Asia Wetan. Barang dagangan anu laris mangsa harita nya eta emas, rempah-rempah, kaen, beas. Lila-lila mah di wewengkon ieu dua karajaan ngadeg sababaraha kota palabuan. Nurutkeun catetan Tome Pires, urang Portugis anu ngideran jaladri Indonesia taun 1513, aya 6 kota palabuan sapanjang basisir kaler wewengkon Karajaan Sunda, ngajajar ti kulon ka wetan nya eta Banten, Pontang, Cikande, Kalapa, Karawang, jeung Cimanuk. Kota palabuan Cirebon jeung Japura, ceuk Tome Pires, geus misah ti Karajaan Sunda.

Di jero karajaan aya sabaraha jalan anu nyambungkeun hiji daerah jeung daerah sejen, hiji kota jeung kota sejen. Diantarana jalan gede anu nyambungkeun puseur dayeuh Pakuan jeung puseur dayeuh Galuh ngaliwatan jalan kaler jeung jalan kidul. Kitu deui jeung daerah Banten di beh kulon disambungkeun ka Pakuan ku dua jalan ngaliwatan jalan kaler jeung jalan kidul. Jalan kaler mapay padataran anu sajajar jeung basisir kaler, jalan kidul mah mileuweungan mapay wewengkon pagunungan. Mangsa harita walungan dijadikeun jalan oge anu ngahubungkeun daerah basisir jeung daerah pagunungan make kapal atawa parahu. Walungan anu kakoncara loba balawiri parahuna nya eta Cibanten, Cisadane, Ciliwung, Citarum, jeung Cimanuk. Walungan Ciliwung ngahubungkeun puseur dayeuh Pakuan, katelah oge Pakuan Pajajaran, jeung kota palabuan Kalapa. Ti ieu kota palabuan merlukeun waktu dua poe perjalanan make kapal pikeun ngajugjug ka Pakuan. Kalapa minangkana mah kota palabuan panggedena jeung pangramena di Karajaan Sunda mah. Kapala kota palabuanana oge gede wibawa jeung pangaruhna.

Penduduk puseur dayeuh Pakuan Pajajaran kurang leuwih 50.000 jiwa jumlahna. Dina tanggal 21 Agustus 1522 di dieu kungsi ditanda hiji perjangjian gawe bareng dina widang ekonomi jeung pertahanan antara gegeden Karajaan Sunda jeung gegeden urang Portugis anu puseur kagiatanana di Malaka.

3. Pamarentahan

Karajaan diparentah ku raja. Jaman harita kadudukan raja dumasar kana konsep kultus dewaraja, nyaeta pandangan yen raja teh sabage wakil dewa di bumi. Kukituna raja kacida dihormatna, malah tampolana disembah ku rayatna siga ka dewa. Raja nyekel kakawasaan mutlak tur miboga hak turun-tumurun ngalinggihan tahta karajaanana. Lilana raja marentah henteu diwatesanan, umumna mah dugi ka pupusna atanapi dugi ka ngaraos sepuh sareng hoyong ngahenang-ngahening museurkeun lelembutanana kana kahirupan jaga sabada ninggalkeun dunya.

Aya aturan anu nangtukeun saha pigentoseun raja anu pupus atanapi anu ngecagkeun kalungguhan. Eta aturan nangtukeun daftar prioritas hak waris dumasar kana tingkat padeukeutna hubungan getih raja jeung anu bakal ngagantina. Anu pangluhurna nya eta putra raja pameget ti prameswari anu cikalna. Upama cikalna putra istri nya turun ka putra pameget adina anu kahiji, kadua, jeung saterusna. Upama teu aya putra pameget ti prameswari, turun ka putra pameget ti selir. Upama teu aya putra pameget bisa oge turun hak waris ka putra istri. Raja anu teu kagungan putra, ragrag hak warisna ka saderek sagetih. Kungsi kajadian hak waris karajaan ragrag ka minantu (lalaki).

Pamarentahan Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh disusun ku wangunan federasi. Ku kituna aya raja pamarentah puseur anu nyekel kakawasaan sakumna karajaan tur linggihna di puseur dayeuh nagara, gelarna maharaja. Aya oge raja-raja di daerah anu nyekel kakawasaan di daerah-daerah. Umumna raja di daerah masih keneh katalian dulur (getih, pernikahan) jeung raja di puseur, malah aya raja daerah anu naek pangkat jadi raja puseur, waktu jabatan raja di puseur kosong. Rakeyan Darmasiksa, upamana, memeh mangku kaprabon di Pakuan, kungsi jadi raja daerah heula di Saunggalah.

Di sabudereun raja aya pajabat-pajabat anu mangku pancen masing-masing, kayaning patih (anu ngajalankeun pamarentahan sapopoe), mangkubumi (anu ngatur urusan tanah), lengser (pangbantu pribadi raja), nu nangganan (pajabat nu nguruskeun masalah jeung daerah), wado (pajabat puseur nu aya di daerah), hulujurit (panglima perang), jurubasa darmamurcaya (penterjemah rupa-rupa basa). Kitu deui di daerah aya sababaraha pajabat daerah anu ngabantu raja daerah, kayaning pangurang dasa calagara anu pancenna nagihan pajeg. Raja daerah boga hak pikeun mungut pajeg ka rayat. Sabagian tina eta pajeg digunakeun pikeun ngajalankeun pamarentahan di daerah (pangwereg), sabagian deui disetorkeun ka pamarentah puseur (pamwatan). Sabalikna, raja daerah boga kawajiban datang ka puseur dayeuh sabage tanda satia ka raja puseur bari sakalian masrahkeun pajeg jeung upeti anu mangrupa hasil bumi ti eta daerah.

Pamarentahan diatur ku rupa-rupa papagon anu disusun nungtut unggal generasi.

Undang-undang (papagon) pamarentahan munggaran nya eta Sanghiang Watangageung anu disusun ku Rahiyangta ri Medangjati kira-kira dina abad ka-7. Saterusna eta papagon dilengkepan saban waktu upama katimbang perlu, nepi ka ahirna aya undang-undang pikeun ngatur kagiatan kaagamaan (dewasasana), pamarentahan (rajasasana), jeung kahirupan rayat sakumna (manusasasana). Eta aturan dumasar kana dua sumber hukum, nya eta ajaran agama (Hindu, Buddha, Jatisunda) jeung ajaran luluhur (patikrama, purbastiti, purbajati). Karajaan Sunda ngutamakeun pisan aturan (hukum) dina ngolah nagarana nepi ka digambarkeun waktu hukum dicekel pageuh, nagara tinemu aman santosa, kerta raharja; tapi waktu hukum disapirakeun, nagara nyorang awut-awutan, malah ahirna mah (1579) runtag samasakali.

4. Kaagamaan

Kahirupan jaman harita raket pisan pakaitna jeung kapercayaan tur kagiatan kaagamaan. Agama anu dianut nyoko kana ajaran agama Hindu jeung agama Buddha anu asalna ti India. Eta dua agama asup ka Tatar Sunda ti jaman Karajaan Tarumanagara keneh. Bukti-bukti anu kapanggih ngeunaan eta hal, saperti candi Cangkuang di Garut, candi Batujaya di Karawang, patung Buddha di Talaga (Majalengka), arca Syiwa di Kendan (Bandung). Sok sanajan kitu, dibandingkeun jeung pangaruh agama Hindu/Buddha anu tumerap di Tanah Jawa (Mataram, Kediri, Singasari, Majapahit), pangaruh eta dua agama di Tatar Sunda kaasup leutik pisan. Titinggal mangrupa patilasan punden berundak, kabuyutan, arca tipe Polynesia, jeung naskah nembongkeun yen sabagian gede masyarakat Sunda jeung Galuh ngagem agama Jatisunda, nya eta agama hasil sinkretisme kapercayaan ka arwah luluhur, ajaran Hindu, jeung ajaran Buddha. Dina ieu hal urang Sunda alam harita geus ngabogaan konsep sorangan ngeunaan kaagamaan anu ngurung tilu hal, nya eta (1) kapangeranan, (2) kahirupan sanggeus nyawa ninggalkeun raga, jeung (3) cara-cara pikeun nyalametkeun diri boh keur salila kumelendang di ieu dunya boh keur hirup jaga di aherat.

Tilu dewa (Trimurti) anu dianggap pangeran pangluhurna ceuk agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa), nurutkeun ajaran Jatisunda, perenahna sahandapeun sanghiyang. Jadi, sanghiyang minangka unsur kakawasaan anu pangluhurna. Sanghiyang nyiptakeun alam sagemblengna. Sanghiyang ngatur sakumna mahluk. Sacara mutlak Sanghiyang nyekel kakawasaan di jagat raya. Tempat dumuk Sanghiyang di Kahiyangan anu pernahna di luar alam dunya ieu. Kahiyangan teh alam anu suci, sepi, tur langgeng taya gangguan kahirupan dunya.

Asup ka alam Kahiyangan katut hirup ngahiji sareng Hiyang sabada nyawa ninggalkeun raga mangrupa panyileukan manusa, sabab nya di dinya nyampak kabagjaan abadi. Eta panyileukan bisa kahontal, upama manusa salila hirupna di alam dunya ngagungkeun tur nyembah Hiyang sarta loba nyieun kahadean ka sasama manusa, laku lampahna hade luyu jeung pancen hirupna.

Kasalametan jeung kabagjaan hirup di alam pawenangan (dunya) jeung di alam kalanggengan (aherat) gumantung kana ajen tapa hiji jalma anu dilakonan salila hirupna di alam dunya. Tapa teh nya eta garapan gawe nurutkeun kaahlian jeung pagawean masing-masing. Lamun tapana hade tur daria, kahirupan di dunya jeung di aheratna oge pinanggih kasalametan jeung kabagjaan. Tapi sabalikna, lamun tapana goreng, kahirupanana oge bakal tinemu jeung kacilakaan katut katunggaraan boh di dunya boh di aherat.

5. Basa, Aksara, jeung Sastra

Yakin pisan yen masyarakat Sunda zaman Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh geus ngabogaan basa jeung aksara. Eta hal teh dumasar bukti-bukti mangrupa titinggal tinulis (prasasti, naskah, jeung catetan urang mancanagara). Salian ti eta, zaman harita urang Sundana sorangan ngaku yen geus ngabogaan basa jeung aksara sorangan. Kiwari basa jeung aksara anu dipake zaman harita disebutna basa Sunda Kuna jeung aksara Sunda Kuna. Eta sesebutan pikeun ngabedakeun jeung basa Sunda ayeuna anu katelah basa Sunda Modern. Adeg-pangadeg aksara Sunda Kuna jeung kabeungharan kecap basa Sunda Kuna dipangaruhan ku basa Sansekerta jeung aksara Palawa anu asalna ti India.

Hanjakal pisan basa jeung aksara Sunda Kuna henteu lana hirupna, kulantaran menak-menak Sunda kabongroy ku basa jeung aksara anyar ti piluaran ti mimiti ahir abad ka-17. Atuh ieu basa jeung aksara teh pegat di tengah jalan, henteu nyambung ka zaman satuluyna. Balukarna loba nu nyangka, kaasup urang Sundana sorangan, yen urang Sunda teu bogaeun aksara sorangan jeung basana henteu bisa dipake masamoan dina kahirupan sastra, kanagaraan, jeung elmu pangaweruh. Kitu deui, lamun urang Sunda kiwari maca teks Sunda Kuna, aksarana teu kabaca sarta basana teu kaharti. Kumaha wujud basa Sunda Kuna teh? Ieu contona sakadar ubar kapanasaranan. "Nya mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang disri enak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas." Tarjamahna: "Mana sang rama tengtrem nguruskeun bahan pangan. Sang resi tengtrem ngajalankeun palaturan karesianana, ngamalkeun tali-paranti karuhun, adat baheula. Sang disri tengtrem ngaracik rupa-rupa ubar. (Raja) ngalaksanakeun aturan kahirupan manusa, ngabagi-bagi leuweung jeung tanah di sabudereunana."

Aksara Sunda Kuna dijieun sanggeus urang Sunda wanoh kana aksara Palawa pikeun nuliskeun basa Sanskerta. Kumaha cara nuliskeun basa Sunda? Kalawan cecekelan aksara Palawa, nya dijieun aksara Sunda (Kuna) pikeun ngawujudkeun basa Sunda (Kuna) sacara tinulis. Ti harita gubrag ka dunya aksara Sunda (Kuna). Abjadna dumasar kana engang dina kecap anu jumlahna 18 sarta unina: ka ga nga, ca ja nya, ta da na, pa ba ma, ya ra la, dan wa sa ha. Aya oge aksara lambang vokal mandiri, angka, jeung tanda pikeun lambang sora vokal sejen katut tambahan tanda lianna.

Puisi zaman harita diwangun ku susunan jajar demi jajar anu unggal jajar kauger ku 8 engang. Eta wangunan puisi teh disebutna carita pantun. Pantun mangrupa seni pertunjukan asli urang Sunda. Juru pantun nembangkeun carita pantun bari dipirig ku kacapi. Ku kituna carita pantun miang tina tradisi lisan. Conto puisi jenis pantun kaunggel di handap ieu.

Ambuing karah sumanger
Ibu wilujeng kantun
Pawekas pajeueung beungeut
Panungtung patembong raray
ambu kita deung awaking
ibu sareng diri abdi

Sapoe ayeuna dini
Sapoe poe ieu pisan
pajeueung beungeut deung aing
patepung lawung sareng sim abdi
Mo nyorang pacarek deui
(Jaga mah) moal ngalaman pataros deui

moma tina pangimpian
iwal dina pangimpian
pajeueung beungeut di bulan
patepung lawung di bulan
patempuh awak di angin
pasalisir awak di angin


6. Runtagna Karajaan

Iwal ti nyatet kota-kota palabuan di Karajaan Sunda jeung kagiatanana, Tome Pires nyatet oge kaayaan Karajaan Sunda anu pakait jeung sabab runtagna ieu karajaan. Dicaritakeun yen harita raja Sunda nyieun kawijakan pikeun ngawatesanan jumlah padagang muslim buniaga di wewengkon Karajaan Sunda, sabab ngarasa hariwang ku mekarna buniaga jeung jumlah kaum muslimin. Memang harita geus loba padagang muslim bubuara di kota palabuan Cimanuk, malah kota palabuan Cirebon jeung Japura mah geus misahkeun diri ti lingkungan Karajaan Sunda. Kabejakeun oge di kota palabuan Banten jeung Karawang geus aya para padagang jeung kaum muslimin sejenna anu mukim. Atuh rayat Sunda mimiti nungtutan pindah agama jadi ngagem agama Islam. Keur pamarentah puseur mah eta hal teh jadi ancaman anu sawaktu-waktu ngbarubahkeun. Memang teu mangkuk lila ti harita timbul daerah-daerah anu baruntak, untung Prabu Surawisesa (1521-1535) masih keneh kuat mingpin pasukan pikeun ngungkulanana.

Sapupusna Prabu Surawisesa, raja-raja Sunda (4 raja) teuing ku hengker tur sikep paripolahna henteu hade, leuwih loba ngutamakeun kasenangan dirina tibatan ngurus nagara jeung rayat. Di ditu di dieu timbul deui nu baruntak, teu bisa diungkulan. Banten misahkeun diri. Ahirna Karajaan Sunda teu mangga pulia nyanghareupan kakuatan gabungan Cirebon, Banten, jeung Demak anu ngarurug puseur dayeuh Pakuan Pajajaran taun 1579.

Edi S. Ekadjati
Gurubesar Tamu Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies
(disalin tina Majalah Manglé,
édisi online)

19.10.05

Pranata Mangsa, Masih Penting untuk Pertanian

Oleh: Dedik Wiriadiwangsa

Selama ribuan tahun mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, akhirnya nenek moyang kita membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.

Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau mungkin juga berperang. Sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.

Tabel Pranata Mangsa selama setahun:
1. Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.
2. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
4. Kapat (Kaopat) 18/19 September - 13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.
5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
7. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.
8. Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
9. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.

Catatan: Sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100)
Sumber: Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000

Dari Pranata Mangsa itu diketahui bahwa pada bulan Desember-Januari-Pebruari adalah musimnya badai, hujan, banjir, dan longsor. Mendekati kecocokan dengan situasi alam sekarang.
Selanjutnya pada musim berikut yaitu Kawolu antara 2/3 Pebruari - 1/2 Maret, bersiap-siaga waspada menghadapi penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan, mungkin akibat dari banjir, badai dan longsor tersebut akan berdampak menyebarnya penyakit, kelaparan dan sebagainya. Hal tersebut masuk akal karena manusia atau binatang bahkan tanamanpun belum siap mempertahankan diri dari serangan hama penyakit. Dalam keadaan lemah tersebut dengan mudah penyakit menyerang kita.

Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani mereka saat melaut. Sudah tentu mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa mereka saat yang baik melaut dan akan mendapatkan ikan banyak. Sebaliknya mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah dan pekerjaan selain melaut.

Tulisan ini bukan bertujuan mengecilkan arti ilmu pengetahuan dan teknologi modern, melainkan sebagai review untuk kita masyarakat Indonesia yang sudah berbudaya tinggi dalam mencermati alam semesta sejak ribuan tahun yang lalu dan sebagai evaluasi untuk mengingatkan kembali sebagai manusia beragama bahwa bumi ini juga adalah mahluk ciptaan Allah SWT, seperti; matahari, bintang, planet dan benda-benda angkasa lainnya mengisyaratkan bahwa bumi pun ingin berkomunikasi kepada kita, ingin diperhatikan, ingin dipelihara. Oleh karena itu menjaga dan memelihara lingkungan hidup ini tidak hanya sekedar semboyan atau simbolis saja, lebih penting dari itu bagaimana penerapan di lapangan.

Perubahan-perubahan alam memang perlu dilakukan tetapi jangan sampai terjadi pengrusakan tatanan yang sudah ada. Misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS) sepenting apapun penggunaan lahan pada pinggiran sungai jangan memberikan toleransi ijin kepada masyarakat yang akan menggunakan untuk tempat tinggal, atau tempat yang tidak ada hubungannya dengan sungai tersebut. Perlu dipertimbangkan dampak buruk yang akan terjadi yang akan menjadi boomerang bagi mereka dan bagi pemberi ijinnya. Contoh lain hutan di hulu sungai, boleh saja ditata, tapi bila sudah mengarah dikelola, lain lagi ceritanya, bisa-bisa karena dengan alasan kebutuhan habis dibabat oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Hutan ya hutan jangan diganti komoditas lain. Apapun alasan dan kebutuhannya.

Contoh lain, seperti hama dan penyakit tanaman, seperti tikus, wereng, kutu loncat, virus, bakteri atau apapun namanya keberadaan mereka sudah ada dan sudah sebagai pengganggu, hanya karena kita sebagai manusia yang membuat mereka menjadi tidak seimbang kehidupannya. Apakah kita mungkin bisa memusnahkannya dari muka bumi ini?

Suatu hal yang mustahil!, sampai kiamatpun yang namanya hama penyakit itu akan tetap ada. Jadi yang penting bagaimana kita mengupayakan agar keseimbangan hidupnya terjaga, populasinya tidak terganggu. Contoh hewan liar di hutan atau padang rumput. Mereka ada pemangsa dan yang dimangsa itu bukan masalah buas atau lemahnya hewan, melainkan suatu proses keseimbangan yang sudah diatur oleh yang Maha Pencipta.

Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengguna dan mudah-mudahan bencana, musibah atau malapetaka yang diakibatkan oleh kekeliruan kita terhadap pengelolaan alam ini segera dapat dihindarkan bahkan dapat dicegah sebelumnya.


Dedik Wiriadiwangsa
Penulis adalah Staf Puslitbang Tanaman Pangan
Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005

LATAR KOSMOLOGI SENI TRADISI: kritik nalar poskolonial

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Seni tradisi, secara antropologis, merupakan presentasi tearerikal pandangan kosmologi masyarakatnya. Dalam konteks tertentu, seni tradisi merupakan suatu “ritus” yang menghubungkan antara diri dan biografi dirinya dengan sejarah masa lalu primordial masyarakatnya yang sakral. Sakralitas seni tradisi terletak pada “apresiasi” masyarakat terhadap sejarah masa lalunya, bukan pada objek yang diapresiasi. Sakralitas yang tentunya tidak bisa diidentikan dengan sakralitas keagamaan, yang bukan hanya pada apresiasi tapi juga pada objek apresiasinya.

Sebagai presentasi pandangan kosmologis suatu masyarakat, seni tradisi pada wujud dan nilainya tentunya tidak mungkin bersebrangan dengan pandangan kosmologi tersebut. Demikian pula dengan seni tradisi masyarakat Sunda. Pandangan kosmologi Sunda yang tergambar dalam mitologinya, yang memposisikan Sunan Ambu, Dewi Sri (tokoh-tokoh di Kahiyangan), Purba Sari, Dewi Asri, Dayang Sumbi (tokoh-tokoh di marcapada), dan yang lainnya, sebagai sosok “ideal”. Kehadiran tokoh Sangkuriang, Mundinglaya di Kusumah (tokoh di marcapada), dan Lutung Kasarung atau Guru Minda (tokoh Kahiyangan) merupakan tokoh penegas terhadap sosok ideal tersebut. Dengan kata lain, dengan Sunan Ambu dan Dewi Sri (anak angkat Sunan Ambu) sebagai performa ideal, struktur mitologi Sunda didasarkan pada kearifan tokoh “ibu”. Hal ini bisa dipahami, dari pola mata pencaharian dalam bentuk pertanian, yang mengedepankan simbol kesuburan, yaitu sosok perempuan. Namun, sosok perempuan tersebut dimunculkan dalam nuansa yang berwarna “keibuan”, ambu, dengan diawali terma “sunan” yang bisa dimakna “anu disuhun” atau yang diagungkan.

Pemunculan sosok perempuan dengan performa “ibu” (ambu) sebagai pusat gravitasi dalam mitologi Sunda, tidak berujung dan tidak pula berawal dari tema-tema dan pesan-pesan erotisme, akan tetapi lebih pada sisi-sisi moralitas keperempuanan (ibu, ambu) sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati, lembut, khrismatis, penuh kasih sayang, dan hal lain yang sejenis.

Kontur geografis Sunda yang pada umumnya adalah pengunungan dan perbukitan (pasir). Kontur giografis yang membentuk budaya pertanian dalam bentuk tradisi huma dan palawija. Sistem cocok tanam yang lebih menggantungkan diri pada keteraturan dan curah turunnya hujan, bukan pada irigasi. Hal ini bisa dimengerti karena pada umunya wilayah Sunda, Jawa Barat, memiliki curah hujan yang tinggi. Sehingga, masyarakat Sunda tidak memiliki ketergantungan terhadap solidaritas dan kerja-sama masyarakatnya. Dengan demikian, pada asalnya, masyarakat Sunda tidak mengenal budaya populis (tidak mementingkan popularitas), budaya yang melahirkan sikap mengalah atau tidak memiliki keinginan untuk tampil.

Terdapat hal yang unik, dibanding dengan kosmologi jawa, simbolisasi kesuburan yang digunakan adalah dalam sosok “ibu” (Sunan Ambu, Dewi Sri) yang memiliki “kharisma”, sabar, bijak, lebut, melindungi, mau berkorban dan sebagainya. Sedangkan dalam kosmologi jawa simbolisasi kesuburan digambarkan dalam bentuk “lingga”, alat kelamin. Perbedaan simbolisasi tergambar dalam karakteritik seni tradisinya. Seni tradisi jawa memiliki kecenderungan mengeksploitasi aspek-aspek erotis dari seorang perempuan, seperti terungkap dalam seni tadisi Tayuban, Ronggeng dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tradisi Sunda terungkap dalam seni tradisi seperti Degung, Kecapi Suling, dan seni-seni lainnya.

Dengan demikian, autentisditas seni tradisi suatu masyarakat dapat “diukur” dengan melakukan pembacaan dan analisis dalam pendekatan pandangan kosmologinya.

Seni tradisi Cianjuran sebagai contoh, dapat dilihat sebagai seni tradisi campuran antara tradisi Jawa-Mataram dan Sunda. Dilihat dari sisi genre gaya puitiknya (struktur dan aturan“persajankan”), merupakan seni tradisi Jawa, sedangkan dari jiwa dan iraman serta nuansa kelebutan lebih merupakan unsur dari karakter seni tradisi Sunda. Unsur-unusr kesundaan yang berpijak pada karakter kosmologi ke-ambu-an, keibuan.

Dalam logika post-kolonial, tardisi Cianjuran merupakan upaya resistensi seni trasisi Sunda, dari seorang Pangeran Pancaniti, terhadap hegemoni seni trasdisi Jawa yang mengeksploitasi unsur-unsur erotis, dengan menggantikan unsur erotisme dengan menampilkan kelembutan yang penuh dengan kesantunan. Lain halnya dengan seni tradisi Tayuban atau Ronggeng yang dikenal wilayah pesisir utara (pantura), karena tidak terjadi proses resistensi oleh tokoh budayawannya, maka seni tersebut masuk secara utuh dalam masyarakat Sunda pesisir utara. Seni tradisi tersebut, Ronggeng dan Tayuban, merupakan seni tradisi Jawa-Mataram yang terinternalisasi dalam masyarakat Sunda ketika terjadi proses pengiriman pasukan Mataram ke Batavia, melalui jalur pantura. Apalagi, karena daerah Karawang sebagai salah satu wilayah jalur pantura tersebut dijadikan kantung yang menyediakan akomodasi pangan dalam menghadapi peperangan dengan Belanda atau VOC di Batavia.

Bila dilakukan pemetaan pola hubungan tradisi di tatar Sunda, dapat dilihat terdapat empat struktur dan biografi yang membentuk tadisi Sunda pada masa pendudukan Mataran di tatar Sunda, Priangan. Pertama, tradisi Sunda-asli yang diwariskan dari sejarah klasik masyarakat Sunda. Kedua, tradisi Islam-Sunda yang merupakan warisan Sunda-Islam masa para wali. Tradisi ini kemudian sering disebut sebagai tradisi pesantren, Sunda-pesantren; Suatu tradisi yang telah menyatu antara kebudayaan dan tradisi Sunda dengan tradisi keislaman (merupakan strategi dakwah Sunan Gunung Jati). Ketiga, tradisi Jawa-Mataram asli. Keempat, tradisi Jawa Mataram-Islam. Unsur ketiga dan kempat ini dibawa oleh bala tentara Mataram yang pada umunya berasal dari kelompok masyarat biasa, abangan, lebih banyak dibandingan dengan yang berasal dari masyarakat kraton dan pesantren.

Dengan demikian, peristiwa pengiriman pasukan Mataram ke Batavia, yang pada akhirnya juga diikuti dengan pendudukan Mataram di wilayah Priangan, khususnya, telah merubah struktur, formasi dan biografi seni dan tradisi bahkan sistem kosmologi masyarakat Sunda, khususnya di wilayah pantura dan pusat-pusat kekuasaan Mataram. Lain halnya dengan di pusat-pusat kekuasaan (perkotaan, dayeuh), di sana terdapat sejumlah budayawan yang bahkan terdapat juga budayawan yang merangkap sebagai priyayi (bangsawan) atau bangsawan Sunda-Mataram, maka proses resistensi budaya terjadi secara efektif, melalui proses negosiasi kultural. Berbeda dengan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan, terjadi secara langsung tanpa proses penyaringan yang berarti. Sedangkan, dalam hal penggunaan bahasa, terjadi sebaliknya.

Bila melihat matriks tersebut, maka ketika tradisi Sunda melakukan resistensi terhadap tradisi Jawa (Mataram) sebagai contoh, seperti dalam kasus lahirnya seni tradisi Jaipongan dan Cianjuran, maka peta resistensi tersebut dapat dilihat dalam dua bentuk resistensi. Pertama, resistensi Sunda-asli terhadap seni tradisi Jawa Mataram asli atau seni tradisi Mataram-Islam. Kedua, resistensi Sunda-Islam terhadap seni tradisi Jawa-Mataram atau terhadap Mataram-Islam. Pada kasus tradisi Cianjuran, sebagai contoh, bisa dipandang sebagai resistensi tradisi seni Sunda-asli terhadap seni tradisi Jawa-Mataram, dengan menghilangkan aspek erotik yang diganti dengan usnur-unsur kelembutan. Atau resistensi pesantren-Sunda terhadap Jawa-Mataram terhadap unsur yang sama, dengan memunculkan aspek-aspek religius dalam syair-syair Cianjuran. Demikian juga dengan seni Tradisi Jaipongan sebagai wujud baru sebagai hasil dari resistensi seni-tadisi Sunda terhadap seni Tayuban dan Ronggeng. Dan bila melihat upaya eliminasi unsur-unsur erotis dalam seni-tradisi Jawa-Mataram yang dilakukan oleh seniman tradisi Sunda-asli dan Sunda-pesantren atau Sunda-Islam, maka terdapat kesamaan cara pandang yang “sama” terhadap erotisme (antara Sunda-asli dan Sunda-pesantren). Dengan demikian, asumsi yang kini berkembang bahwa seni Tayuban dan seni Ronggeng yang berkembang di Karawang dan daerah sekitarnya merupakan resistensi seni-tradisi Sunda-asli terhadap Sunda-pesantren, merupakan asumsi yang sangat tidak berdasar. Karena, seni-seni tradisi Tayuban, Ronggeng serta tradisi sejenis seperti seni tradisi Dombret, tradisi “warung-remang” dan sejenisnya, merupakan seni dan tradisi warisan pasukan Mataram di tatar Sunda. Asimilasi budaya tardisi erotisme yang berpijak di atas kosmologi “lingga” merupakan pemenuhan kebutuhan “seksual” pasukan Mataram ketika melakukan penyerangan ke Batavia.

Terdapat upaya seniman untuk mempertemukan seni tradisi peninggalan tradisi Mataram tersebut dengan memasukkan unsur-unsur kesundaan. Lahirnya seni tradisi Jaipongan, sebagai contoh, bisa dipandang sebagai hasil negosiasi antara dua tradisi, yaitu tradisi Jawa (Tayuban atau Ronggeng) dengan tradisi Sunda, sehingga dalam Jaipongan telah mengalami proses penghalusan unsur-unsur erotisnya, dengan memasukkan unsur seni pencak silat, ketuk tilu, walupun unsur erotisme tersebut tampak masih kental.

Dalam analisis kosmologi, tradisi dan seni-tradisi warisan tradisi Mataram tersebut, bila dilihat dari cara pandang konsmologi Sunda, sangat bersebrangan. Karena, dalam kerangka kosmologi Sunda, eksploitasi unsur-unsur erotisme dianggap tabu. Apalagi, bentuk-bentuk penyimpangan seksual. Dengan demikian, sulit untuk dipahami bila budaya dan tradisi yang mengandung untur eksploitasi erotisme ditemukan dalam seni tradisi Sunda. Lain halnya, bila seni dan tradisi tersebut merupakan unsur adopsi dari budaya dan tradisi luar.

Namun demikian, bila memang unsur-unsur luar dan bersebrangan dengan prinsip kosmologi Sunda tersebut telah dianggap sebagai seni tradisi yang autentik bagi masyarakat Sunda tertentu, persoalannya menjadi lain. Artinya, telah terjadi perkembangan atau bahkan peralihan paradigma kosmologis, dan itu biasa dalam masyarakat. Bila pengaruh Mataram tersebut telah demikian kuat ditambah lagi kini dengan mundulnya proses modensasi di berbagai bidang, maka wajar bila kini masyarakat Sunda, khususnya generasi muda, yang tidak mengenal pandangan ksomologinya sendiri. Fenomena innilah yang digambarkan dalam cerita Pun Boncel. Sosok yang telah menafikan keberadaan ibunya, menafikan Sunan Ambu. Menafikan nilai-nilai primordial bangsanya. Maka, tunggulah kutuk “Sunan Ambu”.

Penulis: Dosen dan Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Anggota Kelompok Studi Budaya Sunda “Pasamoan Sophia Bandung”.