29.3.07

Bujangga Menolak Cinta

Oleh HAWE SETIAWAN
(Pikiran Rakyat, 28 Januari 2007)

KIRANYA tak banyak figur publik seperti Bujangga Manik. Kabarnya, tokoh yang juga bernama Ameng Layaran alias Pangeran Jaya Pakuan ini lebih keren daripada Silih Wangi dan Banyak Catra. Ia pun suka membaca, dan pandai berbahasa asing. Dalam bahasa lagu pop Cirebon, dia pasti bisa disebut "pemuda idaman".

Sekali waktu, ketika Bujangga Manik sedang bercengkerama dengan ibunya di istana, datanglah perempuan bernama Jompo Larang. Dia adalah asisten putri cantik dari istana lain yang bernama Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Begitu melihat Bujangga Manik, Jompo Larang terpesona, lantas bergegas kembali ke istananya.

Bak reporter infotainment kini, Jompo Larang mendeskripsikan sosok Bujangga Manik dengan penuh semangat kepada bosnya. Dia bilang, Bujangga Manik layak dijadikan pasangan sang putri. Pokoknya, jika waktu itu sudah ada MTV, sang bujangga dan sang putri pasti disebut "chemistry". Ajung Larang pun terpengaruh, bahkan jatuh cinta saat itu juga, mungkin seperti fans berat Ariel Peterpan.

Saking cintanya, putri yang cantik dan halus budi itu ingin titip salam dan kirim kado kepada sang bujangga. Karena itu, asistennya segera diutus untuk menemui Bujangga Manik dengan membawa seabreg cendera mata seperti keris baja, pakaian mahal, perhiasan, parfum, buah-buahan, dan perlengkapan mengunyah sirih.

Sayang sekali, misi diplomatik mak comblang Jompo Larang tak berhasil. Sang bujangga menolak kiriman sang putri, meski tidak seperti Soekarno menolak bantuan Amerika. Sang bujangga menolaknya secara halus agar tak melukai hati sang putri. Meski ibunya sendiri mendesak agar maksud baik sang putri diterima, Bujangga Manik tak bisa dipaksa.

Apa pasal? Harap dicatat, Bujangga Manik bukan sembarang figur publik. Dia adalah rahib. Hidupnya dicurahkan untuk berguru, mendalami ilmu agama, menyelami kitab, dan bertapa. Seks dan harta, agaknya, dia anggap sebagai godaan yang bisa menjauhkannya dari jalan kebenaran. Bahkan saran ibunya itu pun dianggapnya sebagai "jalan ke neraka" (jalan ka na kapapaan).

Itulah salah satu hal yang mendorong Bujangga Manik mengembara sepanjang Pulau Jawa, hingga ke Bali, seraya menyendiri. Ia tidak seperti turis yang keluar masuk kafe. Ia menghindari orang banyak, dan hanya berurusan dengan sesama manusia dalam soal-soal teknis semisal ketika ia perlu naik perahu. Di tempat-tempat yang dianggap suci, yakni kabuyutan, dia bertapa, bahkan ada kalanya hingga bertahun-tahun.

Namun, sudah pasti, di tempat meditasi orang bahkan lebih keras diuji. Buktinya, sekali waktu, datanglah ke pertapaannya seorang perempuan pertapa (tiagi wadon). Sang perempuan mendekati Ameng Layaran, curhat padanya, dan berharap bisa dianggap adik oleh sang bujangga.

Reaksi sang bujangga dari Bogor itu, bisa diduga, tak memperlihatkan antusiasme. Seperti intelektual dalam forum seminar, ia hanya mengutip buku (apus) yang berjudul Siksaguru. Katanya:

Kadiangganing ring geni,
lamun padeukeut deung eu(n)juk,
mu(ng)ku burung eta seungeut,
kitu lanang deungeun wadon.

(Tak ubahnya dengan api,
apabila tersentuh ijuk,
niscaya akan menyala,
bagai pria dan wanita)

Dengan cara seperti itulah antara lain Bujangga Manik menghadapi ujian demi ujian. Akhirnya, setelah bertapa sekian tahun dan mengembara sekian jauh, rahib Hindu itu menaruh tubuh (nunda raga) di bumi, dan sukmanya terangkat ke langit hingga menyatu dengan para dewa di surga.

Kita tahu, kisah tentang asketisme Sunda itu berasal dari abad ke-16. Jarak waktu yang memisahkannya dengan zaman kita lebih kurang lima abad. Barangkali itulah sebabnya sosok ahli agama yang tergambar di dalam naskah Sunda kuna itu hari ini terasa langka, sulit dicarikan padanannya.***

Penulis, penulis lepas, tinggal di Bandung.

No comments: