Ti Antaranews.com
Minggu, 25 Agustus 2013
Bandung (ANTARA News) - Peneliti Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (BBPJB) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Ade Mulyanah menyebutkan hanya 40 persen anak Jawa Barat yang mengetahui dan mampu berbahasa Sunda.
"Persentase itu didapat dari anak yang kedua orang tuanya asli orang Sunda, bayangkan bagaiman dengan orang tua yang bukan asli Sunda," kata Ade Mulyanah saat menghadiri final pemilihan duta bahasa Jawa Barat di The Hotel Majesty Bandung, Minggu.
Menurut Ade, pengguna Bahasa Sunda terancam terus menurun, khususnya di kalangan generasi muda karena warga Jawa Barat mulai tidak terbiasa menggunakan bahasa daerah.
Ade menyebutkan dua hal yang menyebutkan bahasa daerah terancam punah yakni karena dibiarkan punah dan tidak sengaja dibiarkan karena dianggap tidak penting.
"Mereka takut dengan bahasa daerah sendiri, karena mereka menganggap bahasa asing adalah trend setter (pencipta kecenderungan), padahal tidak demikian juga," katanya.
Saat ini BBPJB sedang menggalakkan cinta bahasa daerah sendiri, dengan mensosialisasikan penggunaan bahasa daerah dan Bahasa Indonesia ke sekolah-sekolah lewat slogan "Bahasa daerah itu pasti Bahasa Indonesia itu wajib, Bahasa asing itu perlu".
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2013
Kumpulan artikel atawa naon baé ngeunaan Sunda & nu lianna, disalin ti rupa-rupa média, utamana ti Internét... Pernak-pernik Sunda & sebagainya, diambil dari berbagai sumber... All about Sunda & any other things, retrieved from any resources...
9.2.16
5.2.16
Islam Bersemi di Tatar Sunda (3-Habis)
Ti Republika > Khazanah > Dunia Islam
Medal 02 Juni 2014
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1513 M, Islam dikabarkan sudah meluas hingga ke Indramayu. Laksamana Cheng Ho yang juga seorang Muslim, juga sempat singgah di kota berpenduduk Islam di Cirebon pada abad ke-15 atau 16 M.
Mengutip penjabaran Carita Purwaka Caruban Nagari (Sejarah Mula Jadi Cirebon) pada 1972 oleh Atja, Mumuh menuliskan Syekh Datuk Kahfi menyarankan Walangsungsang dan Lara Santang untuk berhaji. Di Tanah Suci, Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Nyai Lara Santang mendapat gelar Syarifah Mudaim. Dari pernikahan mereka lahir Syarif Hidayat pada 1448 M. Syarif Hidayat kelak menjadi salah satu wali dari Wali Songo.
Rute
Islam menyebar ke sekeliling ibu kota Kerajaan Sunda yang ketika itu berpusat di Kota Pakuan (kini Bogor). Pada 1579 M, barulah pasukan Kerajaan Banten masuk dan menaklukkan Pakuan dari arah barat.
Secara garis besar, akademisi Universitas Padjadjaran Edi S Ekadjati dalam "Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat" memetakan penyebaran Islam di Jawa Barat ke dalam enam rute:
- Cirebon - Kuningan - Talaga - Ciamis.
- Cirebon - Kadipaten - Majalengka - Darmaraja - Garut.
- Cirebon - Sumedang - Bandung.
- Cirebon - Talaga - Sagalaherang - Cianjur.
- Banten - Jakarta - Bogor - Sukabumi.
- Banten - Banten Selatan - Bogor - Sukabumi.
Medal 02 Juni 2014
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1513 M, Islam dikabarkan sudah meluas hingga ke Indramayu. Laksamana Cheng Ho yang juga seorang Muslim, juga sempat singgah di kota berpenduduk Islam di Cirebon pada abad ke-15 atau 16 M.
Mengutip penjabaran Carita Purwaka Caruban Nagari (Sejarah Mula Jadi Cirebon) pada 1972 oleh Atja, Mumuh menuliskan Syekh Datuk Kahfi menyarankan Walangsungsang dan Lara Santang untuk berhaji. Di Tanah Suci, Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Nyai Lara Santang mendapat gelar Syarifah Mudaim. Dari pernikahan mereka lahir Syarif Hidayat pada 1448 M. Syarif Hidayat kelak menjadi salah satu wali dari Wali Songo.
Rute
Islam menyebar ke sekeliling ibu kota Kerajaan Sunda yang ketika itu berpusat di Kota Pakuan (kini Bogor). Pada 1579 M, barulah pasukan Kerajaan Banten masuk dan menaklukkan Pakuan dari arah barat.
Secara garis besar, akademisi Universitas Padjadjaran Edi S Ekadjati dalam "Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat" memetakan penyebaran Islam di Jawa Barat ke dalam enam rute:
- Cirebon - Kuningan - Talaga - Ciamis.
- Cirebon - Kadipaten - Majalengka - Darmaraja - Garut.
- Cirebon - Sumedang - Bandung.
- Cirebon - Talaga - Sagalaherang - Cianjur.
- Banten - Jakarta - Bogor - Sukabumi.
- Banten - Banten Selatan - Bogor - Sukabumi.
Islam Bersemi di Tatar Sunda (2)
Ti Republika > Khazanah > Dunia Islam
Medal 02 Juni 2014
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam "Penyebaran Islam di Jawa Barat", Mumuh Muchsin Z menulis dari sumber lokal diketahui orang yang per tama memeluk Islam di wilayah Sunda adalah Haji Purwa pada 1337 M. Haji Purwa adalah putra Kuda Lalean. Ia masuk Islam melalui interaksi dengan pedagang Arab.
Saat pulang ke Kerajaan Galuh (wi la yah Ciamis sekarang), ia berupaya mengajak adiknya untuk masuk Islam. Namun, tidak berhasil. Ia lalu memilih menetap di Cirebon. Haji Purwa itu iden tik dengan Syekh Maulana Saifud din. Mumuh mengemukakan, Haji Pur wa menjadi orang Islam per ta ma yang menetap di Cire bon yang saat itu dipim pin Juru Labuan Ki Gendeng Kasmaya. Ki Gendeng Kasmaya lalu digantikan Ki Gendeng Sedangkasih, lalu Ki Gendeng Tapa.
Selain Haji Purwa, orang Islam juga masuk melalui para ulama dari Campa yang sudah lebih dulu disentuh Islam pada abad ke-11. Dalam Carita Pur waka Caruban Nagari, disebut Dukuh Pasambangan didatangi guru-guru Islam, salah satunya dari Campa, Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik. Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di Quro, Karawang.
Juru Labuan Cirebon kala itu, Ki Gendeng Tapa, mengirim anaknya, Nyi Subang Larang, untuk mempelajari Islam kepad Syekh Quro. Pada 1422 M, Nyi Subang Larang dinikahi dan menjadi salah satu istri Prabu Sili wangi, raja Pajajaran. Kala itu, Cirebon menjadi wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Nyi Subang Larang dan Prabu Siliwangi memiliki anak, Pangeran Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Pangeran Kean Santang. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang sempat berguru pada Ki Gendeng Jumajan Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati menerima utusan Raja Parsi, Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, di Pasambangan. Ia diterima dengan baik oleh Ki Gendeng Jumajan Jati.
Syekh Datuk Kahfi lalu diperbolehkan mendirikan pondok di Bukit Am paran Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati meminta Walangsungsang (Cakrabuana) bersama istrinya, Edang Ayu, serta adiknya, Lara Santang, untuk berguru pada Syekh Datuk Kahfi. Walangsungsang lalu digelari Samdullah.
Atas petunjuk gurunya, mereka membuka sebuah wilayah yang awalnya tegal alang-alang pesisir yang lalu menjadi desa yang dikepalai seorang kuwu. Desa ini dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Para pedagang di Muara Jari dan Dukuh Pasambangan kemudian pindah ke Pelabuhan Caru ban.
Medal 02 Juni 2014
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam "Penyebaran Islam di Jawa Barat", Mumuh Muchsin Z menulis dari sumber lokal diketahui orang yang per tama memeluk Islam di wilayah Sunda adalah Haji Purwa pada 1337 M. Haji Purwa adalah putra Kuda Lalean. Ia masuk Islam melalui interaksi dengan pedagang Arab.
Saat pulang ke Kerajaan Galuh (wi la yah Ciamis sekarang), ia berupaya mengajak adiknya untuk masuk Islam. Namun, tidak berhasil. Ia lalu memilih menetap di Cirebon. Haji Purwa itu iden tik dengan Syekh Maulana Saifud din. Mumuh mengemukakan, Haji Pur wa menjadi orang Islam per ta ma yang menetap di Cire bon yang saat itu dipim pin Juru Labuan Ki Gendeng Kasmaya. Ki Gendeng Kasmaya lalu digantikan Ki Gendeng Sedangkasih, lalu Ki Gendeng Tapa.
Selain Haji Purwa, orang Islam juga masuk melalui para ulama dari Campa yang sudah lebih dulu disentuh Islam pada abad ke-11. Dalam Carita Pur waka Caruban Nagari, disebut Dukuh Pasambangan didatangi guru-guru Islam, salah satunya dari Campa, Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik. Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di Quro, Karawang.
Juru Labuan Cirebon kala itu, Ki Gendeng Tapa, mengirim anaknya, Nyi Subang Larang, untuk mempelajari Islam kepad Syekh Quro. Pada 1422 M, Nyi Subang Larang dinikahi dan menjadi salah satu istri Prabu Sili wangi, raja Pajajaran. Kala itu, Cirebon menjadi wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Nyi Subang Larang dan Prabu Siliwangi memiliki anak, Pangeran Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Pangeran Kean Santang. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang sempat berguru pada Ki Gendeng Jumajan Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati menerima utusan Raja Parsi, Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, di Pasambangan. Ia diterima dengan baik oleh Ki Gendeng Jumajan Jati.
Syekh Datuk Kahfi lalu diperbolehkan mendirikan pondok di Bukit Am paran Jati. Ki Gendeng Jumajan Jati meminta Walangsungsang (Cakrabuana) bersama istrinya, Edang Ayu, serta adiknya, Lara Santang, untuk berguru pada Syekh Datuk Kahfi. Walangsungsang lalu digelari Samdullah.
Atas petunjuk gurunya, mereka membuka sebuah wilayah yang awalnya tegal alang-alang pesisir yang lalu menjadi desa yang dikepalai seorang kuwu. Desa ini dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Para pedagang di Muara Jari dan Dukuh Pasambangan kemudian pindah ke Pelabuhan Caru ban.
Islam Bersemi di Tatar Sunda (1)
Ti Republika > Khazanah > Dunia Islam (medal 02 Juni 2014)
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Tanah Sunda yang kini Jawa Barat menjadi bagian penting sejarah Nusantara dengan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara. Jawa Barat juga memiliki kerajaan besar yang sejajar dengan Majapahit, Kerajaan Pajajaran. Islam masuk dan bersatu dengan ke hidupan masyarakat mengganti kepercayaan SangHyang sehingga masyarakat Sunda saat ini identik dengan Islam.
Tiar Anwar Bachtiar dalam artikel nya, "Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan", menulis jika membicarakan Islam di Tatar Sunda, wilayah yang dimaksud adalah wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Pengaruh historiografi kolonial membuat sejarah penyebaran Islam di wilayah Sunda selalu dibenturkan dengan adat istiadat. Islamisasi di wilayah Sunda lebih merupakan proses pendekatan budaya.
Jika terjadi perang, misalnya, antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Sunda, Tiar memandang karena kepentingan politik dibanding mempertahankan budaya. Masyarakat Sunda sendiri meme luk Islam dengan wajar tanpa kekerasan.
Mengutip Nina Herlina dkk dalam "Sejarah Tatar Sunda", Tiar menyebut orang Islam pertama di wilayah Sunda adalah Haji Purwa atau Bratalegawa. Ia merupakan putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh kala itu. Ia memilih menjadi saudagar yang berdagang lintas negara. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah, ia lalu menjadi Muslim dan digelari Haji Baharudin.
Kota-kota pelabuhan, seperti Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa, menjadi bagian penting masuknya Islam pada masa Kerajaan Sunda. Ketiganya menjadi akses interaksi perdagangan dengan berbagai negara, termasuk Cina, Arab, dan India.
Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, Tanah Sunda yang kini Jawa Barat menjadi bagian penting sejarah Nusantara dengan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara. Jawa Barat juga memiliki kerajaan besar yang sejajar dengan Majapahit, Kerajaan Pajajaran. Islam masuk dan bersatu dengan ke hidupan masyarakat mengganti kepercayaan SangHyang sehingga masyarakat Sunda saat ini identik dengan Islam.
Tiar Anwar Bachtiar dalam artikel nya, "Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan", menulis jika membicarakan Islam di Tatar Sunda, wilayah yang dimaksud adalah wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Pengaruh historiografi kolonial membuat sejarah penyebaran Islam di wilayah Sunda selalu dibenturkan dengan adat istiadat. Islamisasi di wilayah Sunda lebih merupakan proses pendekatan budaya.
Jika terjadi perang, misalnya, antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Sunda, Tiar memandang karena kepentingan politik dibanding mempertahankan budaya. Masyarakat Sunda sendiri meme luk Islam dengan wajar tanpa kekerasan.
Mengutip Nina Herlina dkk dalam "Sejarah Tatar Sunda", Tiar menyebut orang Islam pertama di wilayah Sunda adalah Haji Purwa atau Bratalegawa. Ia merupakan putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh kala itu. Ia memilih menjadi saudagar yang berdagang lintas negara. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah, ia lalu menjadi Muslim dan digelari Haji Baharudin.
Kota-kota pelabuhan, seperti Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa, menjadi bagian penting masuknya Islam pada masa Kerajaan Sunda. Ketiganya menjadi akses interaksi perdagangan dengan berbagai negara, termasuk Cina, Arab, dan India.
Inilah Faktor Suksesnya Islamisasi Tanah Sunda
Ti Republika > Khazanah > Dunia Islam (medal 07 April 2015)
REPUBLIKA.CO.ID, Mengutip Aditya Gunawan dalam tulisannya yang bertajuk ‘Naskah-naskah Islam Sunda Kuna’, akulturasi budaya Islam dan Sunda kuno menjadi faktor penting mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Sunda kuno ketika itu.
Aditya mendasari kesimpulannya itu kepada puluhan naskah Sunda Kuna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI), terdapat beberapa di antaranya berisi teks-teks keislaman yang, meski jumlahnya tidak banyak, penting untuk dikaji. Teks “Carita Waruga Guru” (CWG) yang diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913) adalah salah satu contohnya. Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai memperkaya bahasa Sunda Kuna dalam teks, seperti istilah kitab yang menggantikan istilah apus.
Pola penyebaran Islam di Tanah Sunda selaras dengan islamisasi yang berlaku di Jawa secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan ialah cara-cara damai dan persuasif. Kebudayaan dan keyakinan pra-Islam, seperti Sunda Wiwitan, dikikis secara perlahan dan tanpa ada faktor pemaksaan.
Dadan Wildan dalam ‘Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda’ membuktikan, islamisasi yang gencar di Tanah Pasundan ketika itu, tidak memaksakan komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Mereka tetap bertahan dengan ajaran warisan leluhurnya, yakni Sunda Wiwitan.
Meski demikian, ia juga sepakat bahwa pendekatan akulturasi budaya sangat kental dalam proses awal dakwah Islam di Jawa Barat. Ini antara lain misalnya, tampak dari penamaan bulan. Nama-nama bulan itu, dalam tradisi Sunda, sebagian mengadaptasi sistem penamaan dalam kalender Hijriyah.
Sura untuk Muharram, Sapar atau Shafar, Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Masih menurut Dadan, mengutip Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”, sikap dan karakter keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat jawa pada umumnya, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh watak dasar mereka yang lentur terhadap agama luar. Meski animisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban nusantara, hal itu tidak membuat mereka antipati terhadap keyakinan baru.
Dan, kecenderungan yang berlaku, keyakinan anyar yang datang belakangan itu, dibuat sedemikian rupa, agar khas dan sesuai dengan ‘selera’ lokal. Islamisasi dengan pola ‘adaptasi’ ini, juga terlihat jelas dari penggunaan media seni sebagai alat efektif menyampaikan dakwah, terlebih pada zaman itu, keberadaan dai tak seramai sekarang. Musik atau ritual keagamaan, menjadi jurus jitu untuk mendekatkan mereka denga Islam. Dan, faktanya pola ini berhasil.
REPUBLIKA.CO.ID, Mengutip Aditya Gunawan dalam tulisannya yang bertajuk ‘Naskah-naskah Islam Sunda Kuna’, akulturasi budaya Islam dan Sunda kuno menjadi faktor penting mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Sunda kuno ketika itu.
Aditya mendasari kesimpulannya itu kepada puluhan naskah Sunda Kuna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI), terdapat beberapa di antaranya berisi teks-teks keislaman yang, meski jumlahnya tidak banyak, penting untuk dikaji. Teks “Carita Waruga Guru” (CWG) yang diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913) adalah salah satu contohnya. Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai memperkaya bahasa Sunda Kuna dalam teks, seperti istilah kitab yang menggantikan istilah apus.
Pola penyebaran Islam di Tanah Sunda selaras dengan islamisasi yang berlaku di Jawa secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan ialah cara-cara damai dan persuasif. Kebudayaan dan keyakinan pra-Islam, seperti Sunda Wiwitan, dikikis secara perlahan dan tanpa ada faktor pemaksaan.
Dadan Wildan dalam ‘Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda’ membuktikan, islamisasi yang gencar di Tanah Pasundan ketika itu, tidak memaksakan komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Mereka tetap bertahan dengan ajaran warisan leluhurnya, yakni Sunda Wiwitan.
Meski demikian, ia juga sepakat bahwa pendekatan akulturasi budaya sangat kental dalam proses awal dakwah Islam di Jawa Barat. Ini antara lain misalnya, tampak dari penamaan bulan. Nama-nama bulan itu, dalam tradisi Sunda, sebagian mengadaptasi sistem penamaan dalam kalender Hijriyah.
Sura untuk Muharram, Sapar atau Shafar, Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Masih menurut Dadan, mengutip Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”, sikap dan karakter keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat jawa pada umumnya, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh watak dasar mereka yang lentur terhadap agama luar. Meski animisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban nusantara, hal itu tidak membuat mereka antipati terhadap keyakinan baru.
Dan, kecenderungan yang berlaku, keyakinan anyar yang datang belakangan itu, dibuat sedemikian rupa, agar khas dan sesuai dengan ‘selera’ lokal. Islamisasi dengan pola ‘adaptasi’ ini, juga terlihat jelas dari penggunaan media seni sebagai alat efektif menyampaikan dakwah, terlebih pada zaman itu, keberadaan dai tak seramai sekarang. Musik atau ritual keagamaan, menjadi jurus jitu untuk mendekatkan mereka denga Islam. Dan, faktanya pola ini berhasil.
Subscribe to:
Posts (Atom)