8.6.06

Iyar Wiarsih, "Mojang Priangan Tea"

GENERASI yang kini berusia di atas 40 tahun pasti kenal dan masih hafal lagu Mojang Priangan yang pernah mencapai puncak ketenaran selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1960. Selama periode itu, lagu tersebut berhasil mencapai masa jaya sehingga sekaligus mengangkat citra tentang mojang-mojang dari Priangan.

Mojang dalam bahasa Sunda artinya gadis, sedangkan Priangan adalah pusat Tanah Sunda. Karena keindahan alamnya, psikolog MAW Brouwer (almarhum) sering mengungkapkan Tanah Priangan sebagai "daerah yang diciptakan Tuhan pada saat tersenyum".

Sebagai lagu Sunda, Mojang Priangan berhasil memperpanjang masa jaya lagu-lagu Sunda yang sebelumnya dipopulerkan Upit Sarimanah (almarhum) dan Titim Fatimah (almarhum). Keduanya merupakan pesinden atau juru kawih lagu-lagu Sunda yang legendaris dan hingga kini belum ada gantinya.

"Pada mulanya, saya tidak menduga lagu itu akan begitu populer," kenang sang pencipta lagu Iyar Wiarsih.

Juru kawih yang dikenal sangat selektif memilih nayaga pengiringnya itu ternyata masih tetap memiliki suara emas walaupun usianya sudah 71 tahun. Pantas jika belakangan ini ia dipilih menjadi pendamping Euis Komariah. Salah seorang penembang lagu-lagu Cianjuran tersebut tengah berusaha membawakan lagu-lagu tradisi yang biasa diiringi gamelan ke dalam tembang Cianjuran.

BIASA dipanggil "Mamah Iyar", ibu dua anak dan nenek tujuh cucu serta buyut empat cicit itu masih tampak gesit. Bahkan, untuk wanita seusianya, aktivitasnya tidak hanya sebatas mengikuti pengajian. Selain berusaha menularkan ilmunya, sesekali ia dipercaya menjadi juri dalam berbagai kegiatan lomba lagu-lagu Sunda.

Iyar Wiarsih bukan hanya dikenal sebagai juru kawih gamelan yang terkenal pada zamannya. Ia sekaligus merupakan saksi hidup masa jaya kesenian Sunda dan peran Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat itu, lagu-lagu Sunda berhasil mengungguli lagu-lagu Indonesia.

Coba saja, siapa yang tidak kenal dengan lagu Dikantun Tugas yang melukiskan nasib seorang istri yang ditinggal suaminya yang bertugas ke medan perang. Lagu tersebut ia ciptakan setelah Presiden Soekarno menyampaikan komando Trikora (Tiga Komando Rakyat).

Namun, Iyar bukan hanya dikenal sebagai juru kawih dengan suara emas. Ia dikenal pula sebagai pencipta lagu yang produktif. Selama kariernya sebagai juru kawih, ia mencipta tidak kurang dari 58 lagu. Beberapa lagu ciptaannya yang sempat populer antara lain Kalakay Murag, Wanita Jaya, Reret Mojang, dan Gutak-gitek.

Padahal, jika dilihat dari pendidikan formalnya di bidang kesenian, ia tidak berbeda dengan juru kawih lagu-lagu Sunda pada umumnya yang hanya mengandalkan praktik dari satu panggung ke panggung lainnya. Satu-satunya perbedaan terletak pada semangat dan ketekunannya untuk belajar. Kemampuannya dalam olah suara sudah diasah sejak kecil tatkala usianya baru sembilan tahun.

Lahir 21 September 1932 dari keluarga seniman tradisional di Kampung Cilunjar, Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Bandung, bakatnya sudah tampak sejak kecil. Ayahnya, Enduy Kartaatmadja, dikenal sebagai pemetik kecapi dan pembawa wawacan (cerita atau kisah dalam bahasa Sunda yang dibawakan dalam bentuk dangding) kemudian menitipkan pada Sastra, temannya yang menjadi pemain rebab. Rebab adalah instrumen gesek dalam gamelan Sunda. "Saya belajar mengenal seni Sunda dari Pak Sastra," katanya tentang almarhum gurunya.

Dalam usianya yang masih sangat muda, anak pertama dari delapan bersaudara itu sudah belajar membawakan lagu-lagu dasar tatkala usianya baru menginjak sepuluh tahun. Setahun kemudian, Iyar yang saat itu sering dipanggil nyai oleh nayaga atau awak gamelan lainnya sudah diajak tampil di atas panggung. Dalam masyarakat Sunda, nyai sama artinya dengan neng, yakni panggilan untuk anak gadis.

Setelah sukses di atas panggung, sejak usia 13 tahun, Iyar aktif mengisi acara siaran di Radio Nirom, sebuah stasiun radio pemerintah kolonial Belanda. Padahal, saat itu, seleksi untuk bisa mengudara sangat selektif.

Gadis remaja itu rupanya berusaha mengadu nasib di Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, tahun 1947, ia sempat menjadi juru kawih gamelan Sekar Arum dan Satia Manah yang mengisi acara tetap di studio RRI Jakarta. Namun, setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Bandung. Alasannya, honor yang diterima tidak memadai. Maklum, nasib kesenian pada awal kemerdekaan.

SETELAH kembali ke tempat dilahirkan, penulis buku Pasinden jeung Rumpakana (Juru Kawih dan Lirik Lagu) yang banyak dijadikan pedoman oleh pesinden-pesinden itu memperoleh pelajaran berkat pergaulannya dengan seniman-seniman kesenian Sunda. Apalagi setelah ia bergabung dalam gamelan Sundayana yang dipimpin suaminya, Warsa Muharam.

Lagu Mojang Priangan yang kemudian melahirkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1985) dan Bupati Bandung (1993) pada awalnya lahir dari sebuah senandung. Dengan bantuan kecapi, suaminya kemudian berusaha menyusun notasinya. Tetapi tatkala lirik lagu tersebut sudah selesai dikerjakan, ia bingung memberi judulnya. "Mula-mula diberi judul Putri Priangan," katanya.

Karena dianggap kurang cocok, judulnya kemudian diubah menjadi Dara Priangan, lalu Gadis Priangan. Namun, belakangan, ia memilih Mojang Priangan, sebuah judul yang ia anggap sangat pas karena menggunakan kata yang sangat kental dengan bahasa Sunda. Lagu itu bukan hanya menjadi trademark-nya Iyar Wiarsih, tetapi sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Sunda.

MENEMPATI sebuah rumah sederhana di bilangan Padalarang, Bandung, Iyar Wiarsih yang pernah menjadi staf pengajar kepesindenan di Konservatori Karawitan Bandung (1966-1970) itu ternyata masih memperlihatkan ciri khas suara emasnya. Selama berbincang-bincang, pembicaraannya sesekali diseling dengan senandung, walau tanpa iringan gamelan.

"Juru kawih sekarang beruntung karena mereka banyak ditolong kemajuan teknologi," kata penerima penghargaan dari Menteri Penerangan (1977) dan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981) itu. Katanya, suaranya yang fals bisa ditutupi karena menggunakan audio yang modern. Sebaliknya dengan juru kawih pada zamannya. Tanpa bantuan pengeras suara, tanpa bantuan peralatan audio lainnya, setiap juru kawih akan kelihatan sekali suara aslinya.

Sayangnya, dukungan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penguasaan dalam membawakan lagu. "Juru kawih sekarang, baru bisa satu-dua lagu sudah tampil di atas panggung karena ukurannya bukan keterampilan, tetapi tampilan fisik," katanya. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah sebagai juru kawih sehingga hal ini saling berpengaruh antara nasib lagu-lagu Sunda dan apresiasi masyarakatnya.

Padahal, seorang juru kawih harus mempelajari dulu dan menguasai lagu-lagu dasar, misalnya Sekar Ageung dan lagu lainnya. Para nayaga-nya juga harus memiliki apresiasi tinggi karena mereka benar-benar sebagai nayaga. "Bukan sebagai pekerjaan sambilan," tuturnya. Dengan demikian, ketika mereka tampil, kesalahan sekecil apa pun bisa segera terasa. Seorang juru kawih juga harus bisa menangkap "keinginan" dalang, kapan ia harus menembang dan kapan harus berhenti.

Kecewa karena tidak menemukan lagi nayaga yang memenuhi harapannya, juru kawih yang mandiri itu lebih memilih menarik diri dari atas panggung. Seni Sunda benar-benar merasakan kehilangan. Apalagi setelah ia mengundurkan kegiatannya di RRI Bandung dan salah satu radio swasta. (Her Suganda)

1 comment:

andi said...

Postingannya bagus, memang Jawa Barat cocoknya bernama provinsi priangan, coba aja denger lagu Halo-halo Bandung, ibukota Priangan