(Pikiran Rakyat, Kemis, 27 Pebruari 2003)
TULISAN A. Chaedar Alwasilah (ACA), "Meluruskan Politik Bahasa Ibu", Jumat (21/2), menarik untuk ditindaklanjuti. Dalam salah satu paragraf artikelnya, ACA menulis, "Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikkan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi."
Penafian itu hampir sempurna ketika dalam projek History of Translation in Indonesia and Malaya yang diselenggarakan atas kerjasama Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) dan Archipel 2000 - 2004, tak menyinggung sejarah terjemahan bahasa Arab ke bahasa Sunda. Projek ini dipimpin oleh Henri Chambert-Loir (HCL) dari EFEO dan Monique Zaini-Lajoubert dari Centre National de la Recherche Scientifique. Projek ini diawali sebuah workshop di Paris Prancis, 2-5 April 2002. Dua tokoh Sunda yang diundang menghadiri workshop yakni Ajip Rosidi (AR) dan Yus Rusyana (YR). AR yang mewakili University of Osaka Japan, memaparkan "My experience as a translator, from Sundanese and Japanese into Indonesian". Artikel ini dimuat di harian ini, 13-14 Juni 2002 dengan judul "Beberapa Catatan tentang Pengalaman Menerjemahkan". Sementara YR dari UPI Bandung menyampaikan makalah, "Translations in the Sundanese language".
Beruntung, berkat jasa baik Dr. Asvi Warman Adam, penulis dikenalkan kepada HCL melalui e-mail. Rupanya, dari sekira 30 pakar yang diundang, belum ada yang mengangkat sejarah terjemahan Arab-Sunda. Oleh karena itu, artikel penulis berjudul, "Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan", dapat diikutsertakan dalam projek tersebut. Rencananya, edisi Inggris hasil workshop itu terbit tahun 2003 dan edisi Indonesia tahun 2004. Sekalipun tidak berkesempatan mengikuti workshop, penulis cukup reueus, dapat mengabadikan sejarah terjemahan Arab-Sunda melalui projek tersebut.
Tulisan yang bersumber dari riset awal itu memang masih harus disempurnakan. Namun, setidaknya, sebagaimana dikomentari Henri dalam e-mail-nya, "Laporan itu sangat menarik sebagai pengantar masalah asal-usul dan perkembangan ngalogat serta fungsi dan maknanya dalam konteks kebudayaan Sunda." Dalam kesempatan lain ia berkomentar, "Saya senang membacanya dan saya yakin artikel itu akan merupakan sumbangan yang berharga untuk buku tentang sejarah terjemahan di Indonesia."
Bukan mencari kambing hitam
Pernyataan ACA di atas memang benar. Penafian itu seolah tidak disadari orang Sunda yang -- konon -- sangat islami itu. Dari situlah saya menangkap adanya ambiguitas orang Sunda. Misalnya dalam dunia sastra. Ketika kagum kepada karya Muhammad Moesa dan Hasan Mustapa, kita seolah lupa bahwa keduanya menulis dalam aksara pegon. Kita lupa pula bahwa keduanya adalah ajengan yang pernah belajar di pesantren. Institusi pendidikan yang hingga saat ini masih menjadikan aksara pegon sebagai sarana komunikasi. Atau saat marak tuntutan pemberlakuan syariat Islam, persoalan ini sama sekali tidak pernah disinggung.
Atau tengok saja klaim-klaim kesenyawaan Sunda-Islam yang dilontarkan sejarawan/budaywan Sunda. Seperti Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang sampai pada kesimpulan "puncak" bahwa kata Sunda berasal dari bahasa Arab sanada yang berarti mendaki atau naik. Sunda adalah gabungan huruf sin-nun-dal. Argumennya, pelaut Arab ketika mendekati laut Sunda, serasa mendaki/naik gunung-gunung. Ini berkait dengan dugaan kontak dagang Arab-Sunda yang sudah dimulai sejak sebelum abad I Masehi. Sejauh ini tak ada yang membantah penjelasan AMS itu. Sedemikian yakin AMS dan para pembela Sunda-Islam lainnya akan kebenaran kesenyawaan itu. Namun, pengabaian akan aksara pegon adalah kebenaran yang tak terbatah pula bahwa orang Sunda susungguhnya "alergi" pada yang berbau Arab, yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan Islam itu.
Kemudian soal masih berlakunya Arab Jawi di Malaysia, dapat menjadi perbandingan menarik. Produk Malaysia berupa kamus Al-Marbawi, hingga kini masih digunakan kalangan pesantren. Kamus Arab-Melayu karya Syekh Al-Marbawi ini menggunakan aksara Arab Jawi. Hingga akhir 1980-an, mayoritas pesantren masih menggunakannya di samping Al-Munjid karya Louis Ma'luf. Baru setelah terbit kamus Al-Munawwir karya Warson Munawwir, popularitas Al-Marbawi mulai menurun. Malaysia, dalam berbagai segi memiliki keunggulan dari Indonesia. Pendidikan, ekonomi, termasuk penghargaan negara yang baik kepada para budayawan. Dengan kemajuan tersebut, Negeri Jiran itu toh masih memberi tempat untuk Arab Jawi. Sementara Indonesia, khususnya komunitas Sunda, seolah alergi pada aksara yang disebut ACA identik dengan Islam itu.
Di Tahun Kambing emas ini, katanya, haruslah semakin bersatu menata langkah. Siapa keluar dari lingkaran, ia akan diterkam serigala sendirian. Maka, dalam hal terpinggirnya aksara pegon, tidak perlu dicari-cari biang keladinya, untuk sekadar menumpahkan penyesalan. Tanpa harus malu mengakui, dunia budaya Sunda -- khususnya bahasa -- memang masih dalam pengaruh kebijakan kolonial. Tidak semua pengaruh itu negatif, tetapi tidak seluruhnya juga adiluhung. Harus ada keberanian radikal untuk melakukan koreksi ke dalam, mengkaji kembali kebijakan budaya (bahasa) Sunda itu. Selama masih ada komunitas terpinggirkan, berarti orang Sunda tak pernah serius menginginkan kebangkitan kebudayaannya. Jika aksara Sunda yang sudah mati saja bisa dihidupkan kembali dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003, hal yang sama harusnya bisa dilakukan pada aksara pegon yang masih tumbuh dan berlaku. Jumlah pesantren dan santri di Tatar Sunda ini terlalu mahal untuk diabaikan. Sudah tiba saatnya elemen Sunda yang terpinggirkan dari wacana budaya Sunda itu dihiap-hiap kembali. Bukan dengan dasar kasihan, tetapi pengakuan atas keberadaan dan potensinya. Pengakuan kembali terhadap aksara pegon ini akan menjadi test-case, ujian kesungguh-sungguhan kita membangun budaya Sunda.
Arab identik dengan Islam?
Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa kearaban yang berlaku di kalangan pesantren salafiyah (baca: tradisional) Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Kearaban itu sudah mengalami Sundanisasi sedemikian rupa sehingga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini terjadi di semua wilayah di mana Islam tesebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang Arab saat ini. Kearaban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah berubah nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan (logat, lentong) orang Sunda. Ketika seorang nenek kaget dan spontan ia mengucap innalillahi atau lailahaillallah, sama sekali tidak bermaksud sok Arab. Ungkapan itu sudah bersenyawa dalam kesundaannya.
Atau ajaklah seorang santri berdebat soal pembacaan sebuah kalimat berbahasa Arab. Dengan fasih ia akan mengupasnya panjang lebar, memakai argumen yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda(!). Lalu ajaklah ia berbicara dengan bahasa Arab kontemporer, boleh dibuktikan, pembicaraan akan tersendat-sendat. Unsur Arab dalam keberislaman orang Sunda adalah pengaruh tak terhindarkan sebagai konsekuensinya berislam. Tak berbeda dengan orang Sunda "modern" saat menyelipkan kosa-kata Inggris dalam ucapan/tulisannya. Kalau didengar/baca orang Inggris asli, tak jarang membuatnya pusing memahami.
Berbeda halnya dengan tuntutan mode pakaian atau tata rambut/jenggot yang memang diniatkan meniru orang Arab. Fenomena inilah yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini, yang menjadi ikutan dari arus tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Tak perlu diperdebatkan, toh di situlah inti pemahamannya tentang Islam. Islam kaffah dipahami sampai dengan meniru kearabannya pembawa ajaran islam, bukan menyadari kompleksitas dan universalitas Islam dalam memandang kehidupan.
Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Jumlah orang Sunda yang seperti si nini dan santri dalam ilustrasi di atas adalah mayoritas Sunda-Muslim. Sementara kelompok yang menuntut berislam harus dengan berbaju gamis serta berjenggot, jumlahnya minoritas. Dengan kearabannya itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa Sunda melalui tradisi ngalogat-nya.
Marilah kita tempatkan sejarah penyerangan Banten ke Pajajaran atau Mataram ke Sunda sebagai masalah politik. Jangan sampai kasus tersebut terus menerus mengungkung kita untuk mengekspresikan kesundaan secara lepas sehingga menghambat proses orang Sunda menemukan identitas mutakhirnya, post-Pajajaran-Demak-Mataram-Belanda-Jepang-Jakarta. Sudah saatnya kita mampu bersunda tanpa terbebani warisan dendam sejarah. Rentetan kekalahan Sunda (politik) itu biarlah menjadi cermin, tempat kita berkaca bagaimana memulai langkah kembali. Menjadi muara otokritik dan sumber spirit. Bukan keranjang apologi yang didasari semangat inferioritas.
Dari mana memulai
Apakah perlu menyelenggarakan kongres atau konferensi untuk memberlakukan kembali aksara pegon? Saya kira tidak. Dana besar untuk penyelenggaraan acara seremonial seperti itu akan lebih efektif digunakan "di lapangan". Dengan jabatannya saat ini, ACA bisa mengawali langkah konkret. Misalnya lewat penugasan mahasiswa untuk melakukan transliterasi, lomba mengarang sastra menggunakan aksara pegon, dan tentu saja mengajarkan kembali cara penulisan dan pembacaannya. Setidaknya, dengan upaya ini, kesalahan-kesalahan transliterasi pada naskah-naskah Hasan Mustapa bisa diperbaiki, terutama pada bagian yang mengutip ayat Alquran dan hadis nabi.
Kalangan media massa juga bisa memulainya. Yang paling mungkin mengawali kerja ini menurut penulis adalah majalah Mangle. Dengan menyediakan satu-dua halaman untuk aksara pegon, tidak akan mengurangi bobot -- satu-satunya -- majalah berbahasa Sunda ini. Justru dengan kebijakan ini, Mangle bisa merambah pasar baru, komunitas pesantren. Sekadar mengingatkan, data tahun 2001 mencatat bahwa di Tatar Sunda terdapat 2.969 pesantren salafiyah dengan jumlah santri mencapai 1.414.180.
Mestinya, kita juga berharap banyak kepada perguruan tinggi seperti IAIN dan Unpas. IAIN Bandung memiliki mahasiswa yang mayoritas berasal dari pesantren, dosen, dan stafnya juga sebagian besar alumni pesantren. Unpas -- konon -- memiliki jargon ngamumule budaya Sunda jeung syiar Islam. Kurang apalagi untuk mendukung pengakuan kembali aksara pegon?
Mugia pareng.***
Penulis adalah lulusan IAIN SGD Bandung, pemerhati kesundaan, kini tinggal di Yogya.
1 comment:
Promosi Islam ni ye.. apa mungkin karena orang Sunda sedikit Naik Haji, hingga ARAB masih kekurangan Devisa ya... tabung yang banyak.. biar dapat naik haji berkali-kali... Hidup pak haji.. hidup pak haji... bisa dapat bocoran ya.. BRAPA TABUNGAN YANG SUDAH HABIS PAK HAJI....?????
Post a Comment