..........
Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?
..........
Maaf sekali, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan, namun saya (pribadi) sering tergelitik oleh tulisan2 budayawan Ridwan Saidi.
Kata ngahiyang (ngahyang, mungkin bisa disamakan dengan istilah moksa dalam bahasa Jawa) sangat akrab dalam batin orang Sunda (mungkin tidak bagi golongan muda). Hal ini terkait dengan legenda menghilangnya Prabu Siliwangi, raja terakhir kerajaan Sunda. Sebagian ada yang mempercayai legenda ini, dan sebagian yang lain menganggap ini legenda belaka. Dari sudut sejarah, pertanyaannya malah bertambah: Prabu Siliwangi yang mana?
Kembali ke istilah ngahiyang. Setahu saya, istilah ini tidak mendahului istilah parahiyangan sebagaimana disebut dalam cuplikan artikel di atas. Kata parahiyangan berasal dari kata rahiyang yang diberi imbuhan pa- dan -an. Adapun kata rahiyang sendiri menunjuk pada sebutan untuk raja-raja atau para putra raja. Kata parahiyangan secara khusus tetrdapat dalam naskah Carita Parahiyangan, sebuah naskah Sunda yang menceritakan raja-raja Sunda dari jaman Kendan hingga menjelang runtuhnya pada abad ke-16.
2 comments:
nuhun pisan blogna. abdi keur diajar deui sagala kasundaan. sing remen ngasupkeun sagala ihwal kasundaan :)
Membaca pendapat sejarah Bang Ridwan terus terang saya agak bingung. Puncak kebingungan pertama saya, Kata Bang Ridwan Salakanagara itu ada di Sungai Tirem, Warakas.
Kebingungan terakhir tentang Bekasi. Katanya Bekasi itu merupakan entitas Sendiri yang lain dari Sunda.
Mungkin Bang Ridwan agak lupa, kalo Bekasi juga terkait dengan Tarumanagara. Atau mungkin pendapat beliau Tarumanagara itu di Jakarta (bukan di Sundapura), yang dulu namanya Kalapa.
Kalau boleh saya simpulkan, bang Ridwan itu tidak mau melepaskan Islam sebagai agama beliau dengan sejarah Betawi. Padahal sebelum masuknya islam tentu sudah ada yang lain. Itu realitas. Jadi Kalapa itu tidak ujug-ujug jadi Islam, atau ujug-ujug jadi entitas nya sendiri. Mungkin juga beliau bisa lebih arif kalau menarik sejarah Kerajaan di Tanjung Barat, suatu kerajaan yang sekarang letaknya di daerah Pasar Minggu.
Wasalam.
Post a Comment