Kumpulan artikel atawa naon baé ngeunaan Sunda & nu lianna, disalin ti rupa-rupa média, utamana ti Internét... Pernak-pernik Sunda & sebagainya, diambil dari berbagai sumber... All about Sunda & any other things, retrieved from any resources...
4.8.06
Kapamingpinan Sunda
"SELAMA ini kalau kita berbicara tentang kasundaan, hanya terbatas pada seni budaya. Sering kali hanya itu. Padahal kalau kita berbicara tentang Sunda, paling tidak ada aspek sarakan, dan aspek lingkungan. Jadi kalau ada pertanyaan; pemimpin Sunda masa depan yang diharapkan itu seperti apa, yaitu pemimpin Sunda yang didalam membuat kebijakan-kebijakannya tidak merusak sarakan, atau tidak merusak lingkungan, dan kebijakan-kebijakannya pro rakyat. Kalau sekarang ada pemimpin Sunda yang nyaah kepada kesenian tapi banyak kebijakan-kebijakan yang dia lakukan tidak menunjukkan rasa cinta terhadap sarakan, dan tidak pro urang Sunda - bahkan menyengsarakan, maka kasundaannya belumlah komplet"
Pendapat tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir., DEA, 18 April lalu, sebagai pembicara dalam acara "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" di aula Pikiran Rakyat.
Belakangan ini, seakan ada "kerinduan" munculnya pemimpin Sunda yang benar-benar aspiratif, yang mampu mencerminkan seperti apa yang digambarkan oleh Ganjar. Sekian banyak diskusi, seminar, atau tulisan apapun tentang kepemimpinan Sunda, cenderung hanya sebatas wacana, bahkan tak jarang memunculkan amarah dan keluh kesah.
Melihat kenyataan jumlah orang Sunda yang ada di DPRD Provinsi Jabar sekarang ini minoritas, maka reaksi yang diungkapkan dalam beragam tulisan adalah kekecewaan atau "saling menyalahkan", tanpa membuat solusi yang berorientasi ke depan, bagaimana mengatasi kenyataan seperti itu. Ada kalanya, malah terjebak ke dalam kebanggaan masa silam, menyebut sosok satu atau dua pemimpin Sunda yang berhasil, lalu mengungkapkan serentetan kelemahan pemimpin Sunda sekarang. Hanya sebatas itu.
Dalam banyak tulisan atau kegiatan diskusi, masalah kepemimpinan Sunda sering kali terlontar dari orang yang "belum pernah jadi pemimpin", sehingga apa yang diungkapkan hanyalah sebatas wacana. Kita tidak pernah mendengar pengalaman atau pendapat dan sikap mereka yang pernah jadi pemimpin atau yang masih memimpin. Bahkan sudut pandang kepemimpinan Sunda hanya dilihat dari ruang lingkup yang lebih sempit dengan mengungkapkan contoh-contoh yang ideal menurut gambaran yang mengawang.
Padahal, realitasnya masih ada pemimpin Sunda yang memiliki kemungkinan menjadi pemimpin masa depan. Kita malah mengabaikan seorang Marty Natalegawa, yang dalam usia yang masih muda sudah menjadi Duta Besar RI di Inggris. Atau malah sampai sekarang tidak pernah ada konsep, bagaimana caranya memunculkan pemimpin Sunda yang berkualitas.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Panitia Tetap "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda untuk Menjawab Tantangan Masa Depan", diharapkan mampu membuat solusi untuk melahirkan pemimpin Sunda dengan konsep yang terstruktur - sehingga menjadi kebijakan pemerintah daerah, bukan lagi sekadar wacana.
"Penyelenggaraan serial Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda ini kami gagas dalam upaya turut menyusun rancangan bahan resolusi kebijakan keur ngawangun kareueus jeung kanyaah ka sarakan urang, dalam menghadapai tantangan masa depan bangsa.
Tujuan dan sasaran yang dicapi melalui forum dialog ini adalah membangun kesadaran rasa kasundaan sebagai nilai potensial yang fokus kajiannya diarahkan pada usaha penggalian dan perumusan standar kompetensi kepemimpinan Sunda melalui bahasan dialog, antara lain; Sejauh mana dinamika demokrasi yang otonom telah menerpa nilai-nilai kehidupan dan bagaimana merancang serta mengelola berbagai perubahan nilai secara proporsional dan tepat sasaran?" ujar penggagas dialog, Drs. Ubun R. Sah.
Sedangkan Drs. Uu Rukmana, sebagai pengarah, mengharapkan agar Dialog Kompetensi Kepemimpinan ini jangan hanya dijadikan sebatas wacana, melainkan harus diikuti dengan kerja dan langkah-langkah nyata yang konsepsional, terarah, komprehensif, dan terukur, yang akhirnya akan bermuara pada pencapaian masyarakat adil makmur, sesuai dengan cita-cita proklamasi. Urang Sunda harus berperan di tingkat nasional, jangan hanya berperan di lembur sorangan, atau dianggap jago kandang. Urang Sunda juga harus mampu menghapus anggapan jelek; ku naon urang Sunda kalau sudah jadi pingpinan nasional sok poho ka lembur?
Tentu banyak hal menarik, ketika pemimpin Sunda menyampaikan "pengalamannya dalam memimpin", bahkan dengan bicara tanpa teks, diluar dugaan mampu mengungkapkan hal-hal yang tak terduga, seperti apa yang dikemukakan oleh pembicara lainnya dalam "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" seri pertama, yaitu mantan Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. H. Edi Darnadi, yang sudah 32 tahun bertugas di berbagai provinsi di Indonesia.
"Betapa gigihnya para sesepuh Sunda zaman dahulu menggali apa yang terjadi dalam perjalanan panjang sejarah bangsa kita. Dan itu terungkap melalui pemahaman-pemahaman dalam pedoman hidup, sebuah warisan berharga sebagai pegangan dari pemimpin terendah hingga pemimpin tertinggi. Kita mulai dari pemimpin keluarga. Ada peribahasa gagade bari nyarande. Setiap orangtua, pasti senantiasa mendambakan anaknya maju, jauh melebihi kemajuan yang dicapai oleh orangtuanya.
Kata ayahnya -”Kilangbara atuh, bapa jadi patani, maneh mah kudu jadi pamingpin-”. Jawab anaknya,"Atuh, Pa. Piraku bapa ngongkosan abdi, ngaluarkeun ongkos langkung tina kabutuhan bapa. Kata ayahnya, Keun bae bapa mah gagade bari nyarande ge, asal hidep bisa leuwih ti bapa". Itu adalah contoh kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang ayah. pemimpin yang berani berkorban untuk kemajuan anaknya. pemimpin harus seperti itu, ia harus lebih mementingkan kesejahteraan dan kemajuan anak buahnya.
Jangan jadi pemimpin yang nyalindung ka gelung. Tergantung pada orang lain, tidak punya sikap. Coba kita guar istilah haripeut ku teuteureuyeun. Itu kan gambaran keserakahan. Kalau jadi pemimpin jangan haripeut ku teuteureuyeun. Artinya, jangan serakah, jangan korupsi atau kolusi. Begitu kira-kira. Kemudian istilah kejot borosot. Anak-anak sekarang mungkin tidak mengenal ungkapan itu. Maksudnya; seorang pemimpin janganlah mengambil keputusan cepat atau tergesa-gesa.
Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang sesungguhnya bukan sekadar ungkapan, istilah, atau peribahasa, sebab kalau dihayati ternyata memiliki makna yang dalam sebagai pedoman hidup. Dan kalau petuah para sesepuh itu dijalankan, dilaksanakan, akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi. Saya kira sangat banyak ungkapan-ungkapan Sunda yang bisa dijadikan pedoman untuk dikonsepkan, sehingga Kepemimpinan Sunda tetap berpijak pada filsafat kasundaan".
Meskipun ada yang beranggapan, bahwa diskusi atau wangkongan tentang kepemimpinan Sunda hanya sebatas wacana, tak ada kemajuan, tidak ada lajuning lakuna, kitu keneh-kitu keneh wae, bagi Edi Darnadi kemajuan itu sudah ada, walaupun tidak sebesar yang diharapkan. Kemajuan yang ia maksudkan adalah kemajuan perorangan. Ia sendiri merasakan bisa melaju sebagai "pemimpin", karena konsisten menjalankan pedoman warisan para sesepuh Sunda. Yang diperlukan saat ini, menurut Edi rasa kebersamaan, menyamakan persepsi, menyatukan konsep, sehingga kriteria pemimpin Sunda seperti apa yang dikemukakan Ganjar Kurnia, ke depan bisa terealisasi.
Menurut anggota Pantap "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda", R.H. Maman H. Wangsaatmaja, dialog tersebut akan dirancang sepuluh seri dengan menampilkan dua pembicara tiap serinya. Tidak ada debat pendapat atau saling menyalahkan, sebab yang diutamakan adalah "curah pendapat" atau masukan yang nantinya akan dirumuskan, agar dijadikan suatu kebijakan pemerintah, dan disosialisasikan secara meluas.
"Peserta dialog, tiap serinya berbeda-beda, karena kita akan menyerap curah pendapat dari berbagai kalangan profesional - untuk dijadikan bahan rumusan yang terstruktur," tutur Maman.
Kita berharap agar "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda" bisa menjadi satu wadah untuk menyamakan persepsi dalam melahirkan calon pemimpin Sunda yang berkualitas. Pemimpin Sunda yang kata Ganjar Kurnia; nyaah ka sarakan, nyaah ka lingkungan, pro rakyat.
Atau seperti yang diungkapkan oleh Pangdam III Siliwangi Mayjen Sriyanto, ketika menerima Pantap Kepimpinan Sunda di kantornya tanggal 1 Agustus lalu, falsafah Sunda dan Siliwangi itu luar biasa manfaatnya jika dilaksanakan, terbukti dengan keharuman Divisi Siliwangi hingga saat ini. Tapi urang Sunda juga mesti memahami kelemahan-kelemahannya. Kalau mau jadi pemimpin masa depan, kata Sriyanto, selain harus nyaah ka rayatna atau gumati ka nu leutik, cinta pada tanah airnya atau sarakan, juga mesti punya karakter, tegas dalam menyatakan sikap, cerdas dan cepat tanggap, punya konsep yang jelas, mampu menjadi panutan, dan punya ambisi besar untuk menjadi yang terbaik dengan merebut posisi pemimpin tertinggi.***
Penulis, budayawan dan novelis, tinggal di Bandung.
8.6.06
Iyar Wiarsih, "Mojang Priangan Tea"
GENERASI yang kini berusia di atas 40 tahun pasti kenal dan masih hafal lagu Mojang Priangan yang pernah mencapai puncak ketenaran selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1960. Selama periode itu, lagu tersebut berhasil mencapai masa jaya sehingga sekaligus mengangkat citra tentang mojang-mojang dari Priangan.
Mojang dalam bahasa Sunda artinya gadis, sedangkan Priangan adalah pusat Tanah Sunda. Karena keindahan alamnya, psikolog MAW Brouwer (almarhum) sering mengungkapkan Tanah Priangan sebagai "daerah yang diciptakan Tuhan pada saat tersenyum".
Sebagai lagu Sunda, Mojang Priangan berhasil memperpanjang masa jaya lagu-lagu Sunda yang sebelumnya dipopulerkan Upit Sarimanah (almarhum) dan Titim Fatimah (almarhum). Keduanya merupakan pesinden atau juru kawih lagu-lagu Sunda yang legendaris dan hingga kini belum ada gantinya.
"Pada mulanya, saya tidak menduga lagu itu akan begitu populer," kenang sang pencipta lagu Iyar Wiarsih.
Juru kawih yang dikenal sangat selektif memilih nayaga pengiringnya itu ternyata masih tetap memiliki suara emas walaupun usianya sudah 71 tahun. Pantas jika belakangan ini ia dipilih menjadi pendamping Euis Komariah. Salah seorang penembang lagu-lagu Cianjuran tersebut tengah berusaha membawakan lagu-lagu tradisi yang biasa diiringi gamelan ke dalam tembang Cianjuran.
BIASA dipanggil "Mamah Iyar", ibu dua anak dan nenek tujuh cucu serta buyut empat cicit itu masih tampak gesit. Bahkan, untuk wanita seusianya, aktivitasnya tidak hanya sebatas mengikuti pengajian. Selain berusaha menularkan ilmunya, sesekali ia dipercaya menjadi juri dalam berbagai kegiatan lomba lagu-lagu Sunda.
Iyar Wiarsih bukan hanya dikenal sebagai juru kawih gamelan yang terkenal pada zamannya. Ia sekaligus merupakan saksi hidup masa jaya kesenian Sunda dan peran Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat itu, lagu-lagu Sunda berhasil mengungguli lagu-lagu Indonesia.
Coba saja, siapa yang tidak kenal dengan lagu Dikantun Tugas yang melukiskan nasib seorang istri yang ditinggal suaminya yang bertugas ke medan perang. Lagu tersebut ia ciptakan setelah Presiden Soekarno menyampaikan komando Trikora (Tiga Komando Rakyat).
Namun, Iyar bukan hanya dikenal sebagai juru kawih dengan suara emas. Ia dikenal pula sebagai pencipta lagu yang produktif. Selama kariernya sebagai juru kawih, ia mencipta tidak kurang dari 58 lagu. Beberapa lagu ciptaannya yang sempat populer antara lain Kalakay Murag, Wanita Jaya, Reret Mojang, dan Gutak-gitek.
Padahal, jika dilihat dari pendidikan formalnya di bidang kesenian, ia tidak berbeda dengan juru kawih lagu-lagu Sunda pada umumnya yang hanya mengandalkan praktik dari satu panggung ke panggung lainnya. Satu-satunya perbedaan terletak pada semangat dan ketekunannya untuk belajar. Kemampuannya dalam olah suara sudah diasah sejak kecil tatkala usianya baru sembilan tahun.
Lahir 21 September 1932 dari keluarga seniman tradisional di Kampung Cilunjar, Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Bandung, bakatnya sudah tampak sejak kecil. Ayahnya, Enduy Kartaatmadja, dikenal sebagai pemetik kecapi dan pembawa wawacan (cerita atau kisah dalam bahasa Sunda yang dibawakan dalam bentuk dangding) kemudian menitipkan pada Sastra, temannya yang menjadi pemain rebab. Rebab adalah instrumen gesek dalam gamelan Sunda. "Saya belajar mengenal seni Sunda dari Pak Sastra," katanya tentang almarhum gurunya.
Dalam usianya yang masih sangat muda, anak pertama dari delapan bersaudara itu sudah belajar membawakan lagu-lagu dasar tatkala usianya baru menginjak sepuluh tahun. Setahun kemudian, Iyar yang saat itu sering dipanggil nyai oleh nayaga atau awak gamelan lainnya sudah diajak tampil di atas panggung. Dalam masyarakat Sunda, nyai sama artinya dengan neng, yakni panggilan untuk anak gadis.
Setelah sukses di atas panggung, sejak usia 13 tahun, Iyar aktif mengisi acara siaran di Radio Nirom, sebuah stasiun radio pemerintah kolonial Belanda. Padahal, saat itu, seleksi untuk bisa mengudara sangat selektif.
Gadis remaja itu rupanya berusaha mengadu nasib di Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, tahun 1947, ia sempat menjadi juru kawih gamelan Sekar Arum dan Satia Manah yang mengisi acara tetap di studio RRI Jakarta. Namun, setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Bandung. Alasannya, honor yang diterima tidak memadai. Maklum, nasib kesenian pada awal kemerdekaan.
SETELAH kembali ke tempat dilahirkan, penulis buku Pasinden jeung Rumpakana (Juru Kawih dan Lirik Lagu) yang banyak dijadikan pedoman oleh pesinden-pesinden itu memperoleh pelajaran berkat pergaulannya dengan seniman-seniman kesenian Sunda. Apalagi setelah ia bergabung dalam gamelan Sundayana yang dipimpin suaminya, Warsa Muharam.
Lagu Mojang Priangan yang kemudian melahirkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1985) dan Bupati Bandung (1993) pada awalnya lahir dari sebuah senandung. Dengan bantuan kecapi, suaminya kemudian berusaha menyusun notasinya. Tetapi tatkala lirik lagu tersebut sudah selesai dikerjakan, ia bingung memberi judulnya. "Mula-mula diberi judul Putri Priangan," katanya.
Karena dianggap kurang cocok, judulnya kemudian diubah menjadi Dara Priangan, lalu Gadis Priangan. Namun, belakangan, ia memilih Mojang Priangan, sebuah judul yang ia anggap sangat pas karena menggunakan kata yang sangat kental dengan bahasa Sunda. Lagu itu bukan hanya menjadi trademark-nya Iyar Wiarsih, tetapi sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Sunda.
MENEMPATI sebuah rumah sederhana di bilangan Padalarang, Bandung, Iyar Wiarsih yang pernah menjadi staf pengajar kepesindenan di Konservatori Karawitan Bandung (1966-1970) itu ternyata masih memperlihatkan ciri khas suara emasnya. Selama berbincang-bincang, pembicaraannya sesekali diseling dengan senandung, walau tanpa iringan gamelan.
"Juru kawih sekarang beruntung karena mereka banyak ditolong kemajuan teknologi," kata penerima penghargaan dari Menteri Penerangan (1977) dan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981) itu. Katanya, suaranya yang fals bisa ditutupi karena menggunakan audio yang modern. Sebaliknya dengan juru kawih pada zamannya. Tanpa bantuan pengeras suara, tanpa bantuan peralatan audio lainnya, setiap juru kawih akan kelihatan sekali suara aslinya.
Sayangnya, dukungan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penguasaan dalam membawakan lagu. "Juru kawih sekarang, baru bisa satu-dua lagu sudah tampil di atas panggung karena ukurannya bukan keterampilan, tetapi tampilan fisik," katanya. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah sebagai juru kawih sehingga hal ini saling berpengaruh antara nasib lagu-lagu Sunda dan apresiasi masyarakatnya.
Padahal, seorang juru kawih harus mempelajari dulu dan menguasai lagu-lagu dasar, misalnya Sekar Ageung dan lagu lainnya. Para nayaga-nya juga harus memiliki apresiasi tinggi karena mereka benar-benar sebagai nayaga. "Bukan sebagai pekerjaan sambilan," tuturnya. Dengan demikian, ketika mereka tampil, kesalahan sekecil apa pun bisa segera terasa. Seorang juru kawih juga harus bisa menangkap "keinginan" dalang, kapan ia harus menembang dan kapan harus berhenti.
Kecewa karena tidak menemukan lagi nayaga yang memenuhi harapannya, juru kawih yang mandiri itu lebih memilih menarik diri dari atas panggung. Seni Sunda benar-benar merasakan kehilangan. Apalagi setelah ia mengundurkan kegiatannya di RRI Bandung dan salah satu radio swasta. (Her Suganda)
7.6.06
Syekh Hasanuddin: pendiri pesantren pertama di Jawa Barat
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.
Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.
Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.
Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.
Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.
Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.
Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang.
Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.
Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.
Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.
Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.
( uli/berbagai sumber )Situs Kendan di Nagrég: jadi TPS atau Pekuburan?
AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan bangunan pengolahan sampah secara modern.
Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan, lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.
Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda), jangan sampai terulang kembali.
Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam.
Situs kepurbakalaan Kendan
Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timur-laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.
Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.
Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.
Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.
Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya.
Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.
Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan
Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.
Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.
Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta Kerajaan Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman.
Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.
Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya.
Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.
Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.
Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya.
Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan) sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut Bandung.***
Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
1.6.06
Prof. Ekajati pupus
Asa karek kamari Mang Ayat (Prof. Ayatrohaedi) pupus, ayeuna saurang deui, muga2 nu nalungtik sajarah Sunda beuki renung...
26.4.06
Mengapa Aksara Pegon Ditelantarkan
(Pikiran Rakyat, Kemis, 27 Pebruari 2003)
TULISAN A. Chaedar Alwasilah (ACA), "Meluruskan Politik Bahasa Ibu", Jumat (21/2), menarik untuk ditindaklanjuti. Dalam salah satu paragraf artikelnya, ACA menulis, "Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikkan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi."
Penafian itu hampir sempurna ketika dalam projek History of Translation in Indonesia and Malaya yang diselenggarakan atas kerjasama Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) dan Archipel 2000 - 2004, tak menyinggung sejarah terjemahan bahasa Arab ke bahasa Sunda. Projek ini dipimpin oleh Henri Chambert-Loir (HCL) dari EFEO dan Monique Zaini-Lajoubert dari Centre National de la Recherche Scientifique. Projek ini diawali sebuah workshop di Paris Prancis, 2-5 April 2002. Dua tokoh Sunda yang diundang menghadiri workshop yakni Ajip Rosidi (AR) dan Yus Rusyana (YR). AR yang mewakili University of Osaka Japan, memaparkan "My experience as a translator, from Sundanese and Japanese into Indonesian". Artikel ini dimuat di harian ini, 13-14 Juni 2002 dengan judul "Beberapa Catatan tentang Pengalaman Menerjemahkan". Sementara YR dari UPI Bandung menyampaikan makalah, "Translations in the Sundanese language".
Beruntung, berkat jasa baik Dr. Asvi Warman Adam, penulis dikenalkan kepada HCL melalui e-mail. Rupanya, dari sekira 30 pakar yang diundang, belum ada yang mengangkat sejarah terjemahan Arab-Sunda. Oleh karena itu, artikel penulis berjudul, "Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan", dapat diikutsertakan dalam projek tersebut. Rencananya, edisi Inggris hasil workshop itu terbit tahun 2003 dan edisi Indonesia tahun 2004. Sekalipun tidak berkesempatan mengikuti workshop, penulis cukup reueus, dapat mengabadikan sejarah terjemahan Arab-Sunda melalui projek tersebut.
Tulisan yang bersumber dari riset awal itu memang masih harus disempurnakan. Namun, setidaknya, sebagaimana dikomentari Henri dalam e-mail-nya, "Laporan itu sangat menarik sebagai pengantar masalah asal-usul dan perkembangan ngalogat serta fungsi dan maknanya dalam konteks kebudayaan Sunda." Dalam kesempatan lain ia berkomentar, "Saya senang membacanya dan saya yakin artikel itu akan merupakan sumbangan yang berharga untuk buku tentang sejarah terjemahan di Indonesia."
Bukan mencari kambing hitam
Pernyataan ACA di atas memang benar. Penafian itu seolah tidak disadari orang Sunda yang -- konon -- sangat islami itu. Dari situlah saya menangkap adanya ambiguitas orang Sunda. Misalnya dalam dunia sastra. Ketika kagum kepada karya Muhammad Moesa dan Hasan Mustapa, kita seolah lupa bahwa keduanya menulis dalam aksara pegon. Kita lupa pula bahwa keduanya adalah ajengan yang pernah belajar di pesantren. Institusi pendidikan yang hingga saat ini masih menjadikan aksara pegon sebagai sarana komunikasi. Atau saat marak tuntutan pemberlakuan syariat Islam, persoalan ini sama sekali tidak pernah disinggung.
Atau tengok saja klaim-klaim kesenyawaan Sunda-Islam yang dilontarkan sejarawan/budaywan Sunda. Seperti Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang sampai pada kesimpulan "puncak" bahwa kata Sunda berasal dari bahasa Arab sanada yang berarti mendaki atau naik. Sunda adalah gabungan huruf sin-nun-dal. Argumennya, pelaut Arab ketika mendekati laut Sunda, serasa mendaki/naik gunung-gunung. Ini berkait dengan dugaan kontak dagang Arab-Sunda yang sudah dimulai sejak sebelum abad I Masehi. Sejauh ini tak ada yang membantah penjelasan AMS itu. Sedemikian yakin AMS dan para pembela Sunda-Islam lainnya akan kebenaran kesenyawaan itu. Namun, pengabaian akan aksara pegon adalah kebenaran yang tak terbatah pula bahwa orang Sunda susungguhnya "alergi" pada yang berbau Arab, yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan Islam itu.
Kemudian soal masih berlakunya Arab Jawi di Malaysia, dapat menjadi perbandingan menarik. Produk Malaysia berupa kamus Al-Marbawi, hingga kini masih digunakan kalangan pesantren. Kamus Arab-Melayu karya Syekh Al-Marbawi ini menggunakan aksara Arab Jawi. Hingga akhir 1980-an, mayoritas pesantren masih menggunakannya di samping Al-Munjid karya Louis Ma'luf. Baru setelah terbit kamus Al-Munawwir karya Warson Munawwir, popularitas Al-Marbawi mulai menurun. Malaysia, dalam berbagai segi memiliki keunggulan dari Indonesia. Pendidikan, ekonomi, termasuk penghargaan negara yang baik kepada para budayawan. Dengan kemajuan tersebut, Negeri Jiran itu toh masih memberi tempat untuk Arab Jawi. Sementara Indonesia, khususnya komunitas Sunda, seolah alergi pada aksara yang disebut ACA identik dengan Islam itu.
Di Tahun Kambing emas ini, katanya, haruslah semakin bersatu menata langkah. Siapa keluar dari lingkaran, ia akan diterkam serigala sendirian. Maka, dalam hal terpinggirnya aksara pegon, tidak perlu dicari-cari biang keladinya, untuk sekadar menumpahkan penyesalan. Tanpa harus malu mengakui, dunia budaya Sunda -- khususnya bahasa -- memang masih dalam pengaruh kebijakan kolonial. Tidak semua pengaruh itu negatif, tetapi tidak seluruhnya juga adiluhung. Harus ada keberanian radikal untuk melakukan koreksi ke dalam, mengkaji kembali kebijakan budaya (bahasa) Sunda itu. Selama masih ada komunitas terpinggirkan, berarti orang Sunda tak pernah serius menginginkan kebangkitan kebudayaannya. Jika aksara Sunda yang sudah mati saja bisa dihidupkan kembali dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003, hal yang sama harusnya bisa dilakukan pada aksara pegon yang masih tumbuh dan berlaku. Jumlah pesantren dan santri di Tatar Sunda ini terlalu mahal untuk diabaikan. Sudah tiba saatnya elemen Sunda yang terpinggirkan dari wacana budaya Sunda itu dihiap-hiap kembali. Bukan dengan dasar kasihan, tetapi pengakuan atas keberadaan dan potensinya. Pengakuan kembali terhadap aksara pegon ini akan menjadi test-case, ujian kesungguh-sungguhan kita membangun budaya Sunda.
Arab identik dengan Islam?
Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa kearaban yang berlaku di kalangan pesantren salafiyah (baca: tradisional) Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Kearaban itu sudah mengalami Sundanisasi sedemikian rupa sehingga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini terjadi di semua wilayah di mana Islam tesebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang Arab saat ini. Kearaban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah berubah nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan (logat, lentong) orang Sunda. Ketika seorang nenek kaget dan spontan ia mengucap innalillahi atau lailahaillallah, sama sekali tidak bermaksud sok Arab. Ungkapan itu sudah bersenyawa dalam kesundaannya.
Atau ajaklah seorang santri berdebat soal pembacaan sebuah kalimat berbahasa Arab. Dengan fasih ia akan mengupasnya panjang lebar, memakai argumen yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda(!). Lalu ajaklah ia berbicara dengan bahasa Arab kontemporer, boleh dibuktikan, pembicaraan akan tersendat-sendat. Unsur Arab dalam keberislaman orang Sunda adalah pengaruh tak terhindarkan sebagai konsekuensinya berislam. Tak berbeda dengan orang Sunda "modern" saat menyelipkan kosa-kata Inggris dalam ucapan/tulisannya. Kalau didengar/baca orang Inggris asli, tak jarang membuatnya pusing memahami.
Berbeda halnya dengan tuntutan mode pakaian atau tata rambut/jenggot yang memang diniatkan meniru orang Arab. Fenomena inilah yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini, yang menjadi ikutan dari arus tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Tak perlu diperdebatkan, toh di situlah inti pemahamannya tentang Islam. Islam kaffah dipahami sampai dengan meniru kearabannya pembawa ajaran islam, bukan menyadari kompleksitas dan universalitas Islam dalam memandang kehidupan.
Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Jumlah orang Sunda yang seperti si nini dan santri dalam ilustrasi di atas adalah mayoritas Sunda-Muslim. Sementara kelompok yang menuntut berislam harus dengan berbaju gamis serta berjenggot, jumlahnya minoritas. Dengan kearabannya itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa Sunda melalui tradisi ngalogat-nya.
Marilah kita tempatkan sejarah penyerangan Banten ke Pajajaran atau Mataram ke Sunda sebagai masalah politik. Jangan sampai kasus tersebut terus menerus mengungkung kita untuk mengekspresikan kesundaan secara lepas sehingga menghambat proses orang Sunda menemukan identitas mutakhirnya, post-Pajajaran-Demak-Mataram-Belanda-Jepang-Jakarta. Sudah saatnya kita mampu bersunda tanpa terbebani warisan dendam sejarah. Rentetan kekalahan Sunda (politik) itu biarlah menjadi cermin, tempat kita berkaca bagaimana memulai langkah kembali. Menjadi muara otokritik dan sumber spirit. Bukan keranjang apologi yang didasari semangat inferioritas.
Dari mana memulai
Apakah perlu menyelenggarakan kongres atau konferensi untuk memberlakukan kembali aksara pegon? Saya kira tidak. Dana besar untuk penyelenggaraan acara seremonial seperti itu akan lebih efektif digunakan "di lapangan". Dengan jabatannya saat ini, ACA bisa mengawali langkah konkret. Misalnya lewat penugasan mahasiswa untuk melakukan transliterasi, lomba mengarang sastra menggunakan aksara pegon, dan tentu saja mengajarkan kembali cara penulisan dan pembacaannya. Setidaknya, dengan upaya ini, kesalahan-kesalahan transliterasi pada naskah-naskah Hasan Mustapa bisa diperbaiki, terutama pada bagian yang mengutip ayat Alquran dan hadis nabi.
Kalangan media massa juga bisa memulainya. Yang paling mungkin mengawali kerja ini menurut penulis adalah majalah Mangle. Dengan menyediakan satu-dua halaman untuk aksara pegon, tidak akan mengurangi bobot -- satu-satunya -- majalah berbahasa Sunda ini. Justru dengan kebijakan ini, Mangle bisa merambah pasar baru, komunitas pesantren. Sekadar mengingatkan, data tahun 2001 mencatat bahwa di Tatar Sunda terdapat 2.969 pesantren salafiyah dengan jumlah santri mencapai 1.414.180.
Mestinya, kita juga berharap banyak kepada perguruan tinggi seperti IAIN dan Unpas. IAIN Bandung memiliki mahasiswa yang mayoritas berasal dari pesantren, dosen, dan stafnya juga sebagian besar alumni pesantren. Unpas -- konon -- memiliki jargon ngamumule budaya Sunda jeung syiar Islam. Kurang apalagi untuk mendukung pengakuan kembali aksara pegon?
Mugia pareng.***
Penulis adalah lulusan IAIN SGD Bandung, pemerhati kesundaan, kini tinggal di Yogya.
12.4.06
Negeri Mandiri di Pojok Negara
(Kompas edisi Rabu, 24 Agustus 2005)
Mereka terisolasi, namun justru itulah yang membentuk identitas dan etnisitas mereka. Kuat tercitrakan sebagai masyarakat adat mandiri, sekalipun tak mendapat sentuhan negara. Keterisolasian justru menjadi daya pikat, memukau orang-orang kota. Simaklah, orang-orang kota yang modern terkesima! Ternyata tradisionalisme mampu menawarkan cara hidup yang lebih sentosa.
Hari itu ribuan orang terus mengalir menuju lembah di kaki Gunung Halimun, tepatnya di kampung adat Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka tak peduli lagi jalan penuh tanjakan, turunan, dan tikungan tajam di bibir jurang hutan primer Gunung Halimun. Tekad mereka sama, menyaksikan upacara seren taun atau syukur panen yang digelar akhir pekan pertama Agustus lalu.
Upacara semacam thanksgiving itu dipusatkan di halaman imah gede, di tempat pemangku adat tertinggi atau biasa disebut kolot girang Kasepuhan Banten Kidul AE Sucipta (38) atau dikenal sebagai Abah Anom memberikan pidato. Di depan rakyat yang datang dari Sukabumi, Bogor, Lebak, Bandung, dan Jakarta itu Abah Anom tidak hanya memberikan wejangan, namun juga menyampaikan laporan pembangunan mulai dari pembangunan jalan hingga pembangkit listrik.
Laporan nota keuangan juga disampaikan secara ringkas di hadapan 740 baris kolot lebur dan ribuan rakyat. Kolot lebur adalah sesepuh perwakilan kampung dari berbagai penjuru, semacam menteri yang menjadi pembantu Abah Anom di daerah. Di tangan baris kolotlah segala ketentuan dari pusat tatanan adat sampai ke rakyat.
Begitu teratur, perkampungan Ciptagelar telah memberikan nuansa daerah terisolasi tak selamanya miskin. Warga hidup damai, berkecukupan, dan memiliki sesuatu yang didambakan masyarakat kota selama ini yaitu waktu luang (leisure time) yang panjang. Dikitari sawah hijau menghampar, riak air terus mengalir, rumah adat yang berdiri kokoh dan bersih, serta ketersediaan sumber daya alam yang mencukupi. Sebuah desa yang sebenar-benarnya.
Semua itu tak lepas dari sosok Abah Anom. Abah ini walaupun memangku jabatan kolot girang sejak remaja, namun warga tetap tunduk dan setia. Uniknya, kepatuhan dan ketundukan itu bukan karena berbagai mitos yang tercipta atau diciptakan. Kami tunduk karena memang aturan adat telah menggariskan Abah yang menjadi pemimpin, kata Ki Hendar.
Abah memang banyak dicari orang. Antrean tamu bisa sampai berhari-hari menunggu giliran bertemu. Namun demikian, berbeda dengan tokoh lain, sosok ini tak dikultuskan secara keramat. Sosok Abah tetap sederhana dan merakyat, inilah yang membuat kami makin setia, kata Hendar.
Tata kelola
Warga yakin, Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi.
Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lebur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lebur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk.
Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, kata Marjuhi.
Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat. Fungsi-fungsi yang biasanya ada di antaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda.
Di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas.
Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton, Ki Radi (50) namanya. Malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, kini gilirannya bertugas. Membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun.
Dari pantun-pantunnya, dipercaya terlantun doa agar desa itu terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. Isi pantun merupakan refleksi untuk mengingatkan identitas etnis serta sistem religi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.
Sistem refleksi itu telah menjadi alat penyembuh sosial (social healing) atau biasa disebut menjadi ruwatan terhadap desa tersebut. Karena itu, Abah Anom tidak sembarangan menunjuk pemetik kecapi buhun. Ada tidak ada penonton, saya tetap akan berpantun karena ini tugas dari Abah, katanya.
Setiap orang yang ditunjuk dengan sukarela akan menjalankan tugasnya dengan setia sebagai bagian dari tradisi. Tradisi itulah yang membuat mereka bertahan di daerah terisolir jauh dari sentuhan negara.
Fasilitas publik
Pendidikan juga diselenggarakan mandiri. Di Ciptagelar yang baru berdiri empat tahun lalu telah ada tiga lokal sekolah yang pendiriannya dibantu Bank Jabar. Pengajar di sekolah itu, sebut Upar Suparwan (28), bekerja sukarela dengan bayaran Rp 300.000 per tahun dan kadang hanya dibayar padi 18 pocong per tahun.
Ciptagelar juga memiliki media informasi berupa radio komunitas. Investasinya dibantu Institut Bisnis dan Ekonomi Rakyat, Rp 8 juta untuk membeli sejumlah peralatan.
Pendiri radio komunitas, Ugi Sugriana (20), yang juga anak Abah Anom, mengatakan radio komunitas didirikan untuk mengembangkan adat dan budaya. Berbagai ragam kesenian Sunda seperti kesenian wayang golek, klasik sunda, dan dog dog lojor diperdengarkan. Ke depannya akan diupayakan program pendidikan dan kesehatan.
Ciptagelar juga dikenal mandiri untuk pembangunan berbagai fasilitas mulai dari jalan hingga permukiman. Mereka juga tak tergantung dengan dunia luar. Kebutuhan energi terutama dipasok dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Orang sini terkenal pandai membuat kincir air, biasanya sering diminta untuk membuat kincir di daerah lain, kata Eeng.
Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat. Mereka bekerja lintas administrasi desa. Wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di negeri yang penuh kedamaian itu, tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan adat.
Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistik yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan.
Tidak hanya jumlah penduduk, pongokan juga turut menghitung jumlah hewan piaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraan memengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab, dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.
Statistik yang demikian lengkap membuat data yang dimiliki Abah sering dijadikan panduan oleh perangkat desa. Tahun ini, jumlah bayi yang lahir bertambah banyak. Tahun kemarin hanya 400 bayi, sekarang 600 bayi, kata Abah.
Pertambahan penduduk perlu dipantau karena berakibat pada daya dukung alam yang selama ini menopang mereka. Kampung Abah memang sering berpindah. Sudah 11 kali kasepuhan itu pindah tempat.
Sulit untuk mendeskripsikan bagaimana posisi struktur tata kelola adat di Kasepuhan Banten Kidul. Salah satu titik terang untuk menjelaskan fenomena itu adalah Abah tidak peduli dengan struktur, yang penting fungsional. Abah tidak peduli jabatan, yang penting bagaimana berbagi peran. Semua terlibat dan bekerja sesuai peran, tanpa komando dan tanpa bayaran, kata Eeng Suyanto, anggota kasepuhan dari kota yang menyebut dirinya baris koboi.
Baris koboi adalah istilah orang-orang kota untuk menamai barisan tandingan dari baris kolot yang sudah ada sebelumnya. Bukan tandingan untuk berebut pengaruh, melainkan untuk memperkuat fungsi kehumasan ke dunia luar. Kemeriahan seren taun memang tak terlepas dari desain dan kehumasan para baris koboi.
Fathir Muchtar, artis sinetron adik Bucek Deep, adalah salah satu orang kota yang terpesona dengan tatanan di Ciptagelar. Karena itu, kedatangan dia ke acara seren taun bukanlah sebagai artis. Dia menjadi peserta pengiring arak-arakan padi sebagai pemain debus sungguhan yang tubuhnya kebal dari senjata tajam.
Saya di sini bukan artis, saya baris koboi, katanya bangga.
Direktur Utama PT Lintas Jeram Nusantara Lody Korua yang mengelola wisata arung jeram Arus Liar di Sungai Citarik hampir tiap tahun hadir dalam acara seren taun. Sebagai baris koboi, secara moral memiliki solidaritas kuat untuk mendukung acara itu. Seren taun kali ini Lody membawa tamu-tamu dari kota dengan dua buah mobil off-roadnya. Kerja Lody dan koboi-koboi lainnya adalah kerja sosial, tanpa komando, tanpa bayaran, sehingga harus keluar duit sendiri.
Si Kabayan
(Laporan Utama-Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Oktober 2004)
NAMANYA Kabayan. Dipanggil Si Kabayan sebagai ungkapan keakraban dan kedekatan yang demikian menyatu dengan kehidupan fansnya. Nama dari cerita lucu yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda. Sulit untuk mencari orang Sunda yang tidak mengenal nama tokoh cerita ini. Kecuali, anak kecil yang belum tahu apa-apa, atau orang tua yang sejak kecil buta dan tuli. Sedemikian terkenalnya tokoh ini sehingga menutupi keterkenalan tokoh yang mengorbitkan nama tersebut. Bahkan, akhirnya nama yang mengorbitkan nama tersebut sama sekali tidak pernah dikenal.
Si Kabayan merupakan tokoh yang memiliki karakteristik yang unik, khususnya dalam imajinasi masyarakat Sunda. Tokoh ini digambarkan sebagai "figur" yang memiliki karakteristik lucu, polos, namun memiliki kecerdasan yang sulit diduga. Khususnya Si Kabayan, sering digambarkan sebagai tokoh yang serbabisa, bagaimana tidak, bila ia kadang menjadi sosok, santri, kadang menjadi sosok kiai, dukun dan tokoh lainnya. Bahkan, dalam terbitan terakhir Yus R. Ismail menceritakan Si Kabayan malih rupa menjadi seorang Sufi. Pokoknya dalam apapun gambaran Si Kabayan menjadi sah, sejauh lucu dan cerdas. Paling tidak harus lucu, itu yang sama sekali tidak boleh hilang dari karakter Si Kabayan. Selain Si Kabayan terdapat tokoh lain dalam khazanah sastra Sunda, yaitu Lengser atau Mamang Lengser kadang dipanggil Ua Lengser.
Tidak jauh berbeda dengan imaji orang tentang Si Kabayan, Mamang Lengser pun senantiasa digambarkan kurang lebih sama. Bedanya dengan Si Kabayan, Mamang Lengser senantiasa dihubungkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan, kerajaan. Mamang Lengser, cocok dengan namanya yang kurang lebih berarti "turun" (lengser, lungsur=turun), ia sering diposisikan sebagai kepanjangan titah Sang Raja. Lengser adalah "perwujudan" dan "perwakilan" dari Sang Prabu atau Raja yang turun menemui dan menyatu dengan rakyatnya. Dan perbedaan yang lain adalah Mamang Lengser dikenal dalam naskah-naskah sastra klasik Sunda, sedangkan Si Kabayan tidak demikian. Bukan kebetulan bila kata kabayan pun, dalam bahasa Sunda, memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu "utusan".
Keberadaan Mamang Lengser dan Si Kabayan merupakan prototipe kelas sosial yang tidak pernah dikenal dalam teori modern mana pun. Mamang Lengser, sebagai contoh, kalau pun ia merupakan perwujudan dan kepanjangan dari Sang Prabu, tetapi fungsi dan posisinya ini bukan merupakan fungsi dan posisi yang bersifat formal. Walaupun dalam kondisi tertentu, Mamang Lengser kadang seolah-olah berposisi sebagai Penasihat Raja, ia tetap berposisi sebagai masyarakat biasa dan tidak memiliki fasilitas apa pun dari kerajaan. Kalaupun Mamang Lengser diposisikan (dalam sistem pemerintahan modern, trias politik) sebagai wakil rakyat (DPR), sama sekali tidak bisa dianggap demikian. Karena, Mamang Lengser sama sekali tidak memiliki hak wewenang sebagaimana halnya seorang legislatif. Posisi Mamang Lengser hanya mungkin dibandingkan dengan punakawan dalam dunia pewayangan. Apakah keberadaan Mamang Lengser ini mengadopsi cerita pewayangan yang memiliki setting sosial yang kurang lebih sama? Rasanya tidak juga, karena bisa dipastikan bahwa keberadaan Mamang Lengser (dalam cerita lisan, buku tulis) lebih tua dibandingkan cerita pewayangan? Bahkan, jangan-jangan keberadaan punakawan dalam pewayanganlah yang mengadopsi keberadaan Mamang Lengser dalam cerita lisan masyarakat Sunda. Hal ini dapat dipahami bila melihat kenyataan bahwa dalam naskah Mahabrata maupun naskah lainnya yang menjadi sumber cerita pewayangan tidak dikenal tokoh-tokoh punakawan tersebut.
Bila melihat setting yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut, yang pertama Mamang Lengser dalam setting suatu masyarakat kerajaan, sedangkan yang kedua (Si Kabayan) dalam masyarakat "tidak tentu". Tidak tentu, karena jarang ada penulis cerita atau penutur cerita Si Kabayan yang menjelaskan secara rinci sistem kekuasaan atau pemerintahan apa yang berlaku pada masyarakat di mana Si Kabayan hidup. Memang sering disebut keberadaan kuwu, lurah atau kepala desa, demikian juga dengan lebe dan mantri pulisi, tetapi hal itu bisa-bisa saja sekadar pengalihan fungsi-fungsi lembaga sosial klasik dalam fungsi lembaga sosial modern. Tapi juga, tidak bisa dikatakan bahwa Si Kabayan hidup dalam setting masyarakat klasik Sunda (kerajaan), karena jarang juga yang menceritakan Si Kabayan dalam setting kehidupan demikian. Barangkali ia lebih merupakan cerita dari negara entah berantah, negara yang hanya ada dalam imajinasi masyarakat Sunda. Negara yang memungkinkan si penutur menjadi aman untuk melemparkan kritik sepedas apa pun, tembak sana tembak sini, tanpa merasa perlu khawatir menyinggung seseorang secara langsung. Uniknya, ada cerita bahwa terdapat sejumlah makam tokoh Si Kabayan di beberapa tempat. Wallahu'alam.
**
DI Timur Tengah sana, terdapat juga tokoh sejenis. Tokoh yang juga memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, di antaranya tokoh Ali Baba, Nasruddin dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut pada umumnya digambarkan sebagai tokoh dari kalangan sufi. Komunitas yang pada saat lahirnya tokoh tersebut gencar melakukan kritik terhadap para penguasa, khalifah, dan, tokoh-tokoh tersebut, khususnya Nasruddin dianggap sebagai tokoh yang benar-benar ada, hidup. Sulit dipastikan adakah hubungan saling memengaruhi kemunculan tokoh yang berkarakter hampir mirip tersebut. Bahkan untuk dikira-kira pun sulit, karena tidak ada fakta yang mendukung. Selain itu, adanya kesamaan antara satu hal dengan hal lain di dunia ini, sejauh berhubungan dengan kreativitas manusia, tidak semuanya bisa dianggap adanya saling pengaruh-memengaruhi. Bahkan jangan-jangan tidak pernah ada kontak dalam persoalan tersebut.
Bila demikian, khususnya membaca keberadaan tokoh Mamang Lengser dan Si Kabayan, dalam masyarakat Sunda, tradisi kritik yang cerdas dan membangun bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tidak pernah ada atau lembaga tertentu yang merasa tersinggung dengan ungkapan dan gaya hidup Mamang Lengser maupun Si Kabayan. Dan tidak pernah juga ada cerita penutur maupun penulis cerita ini yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik dari metode penceritaan kedua tokoh tersebut menggunakan metode yang benar-benar khas.
Pendengar atau pembaca "dipaksa" oleh penulis maupun penutur untuk melakukan "transposisi", di mana Si Kabayan tidak lagi berposisi sebagai objek baca ataupun objek dengar, dan tidak pernah berada dalam posisi sebagai "alat bicara" atau media bagi penutur maupun penulisnya. Karena Si Kabayan senantiasa berbicara atas nama pembaca maupun pendengar.
Dalam penuturan cerita Si Kabayan bagi sang pembaca atau pendengar, sang tokoh tidak pernah berposisi sebagai pembicara aktif. Yang berbicara dalam cerita tersebut tiada lain dari sang pendengar dan atau sang pembaca itu sendiri. Si Kabayan bukanlah orang lain, melainkan diri sang pembaca atau pendengar itu sendiri yang sedang berubah nama. Karakteristik kedua tokoh tersebut menjadi tampak lucu dan kritiknya sedemikian tajam namun tidak menusuk, karena yang berbicara adalah diri kita sendiri. Si Kabayan adalah bayang-bayang dalam cermin, "bukan cermin". Si Kabayan hadir sebagai impian dalam tidur nyenyak yang memutar ulang pengalaman-pengalaman kita dalam mimpi yang nyata. Pengalaman yang lucu, kocak, polos dan kadang pikasebeleun. Kita bisa tertawa lepas mendengar dan membaca cerita Si Kabayan, kita benar-benar memahami apa yang dikatakan Si Kabayan, melalui perkataan dan perilakunya. Karena perkataan dan perbuatan Si Kabayan adalah perkataan dan perbuatan kita sendiri. Lain tidak.
Si Kabayan bukanlah tokoh yang demikian sempurna tanpa cacat. Bahkan kini muncul anggapan dan pandangan yang menganggap Si Kabayan sebagai tokoh yang tidak patut untuk dicontoh, tidak cocok lagi dijadikan ikon kesundaan, karena kemalasannya. Lebih dari itu kini tokoh Sunda atau sejumlah masyarakat Sunda yang mempersalahkan Si Kabayan sebagai penyebab karakteristik masyarakat Sunda yang dianggap malas dan tidak memiliki etos kerja modern. Orang yang berpikir demikian, dalam teorema pendidikan yang membebaskan Paulo Freire dikategorikan sebagai individu masyarakat yang memiliki mental naif. Individu yang begitu terang melihat orang lain, tapi buta dalam melihat dirinya sendiri. Tahu tentang kesalahan tanpa mampu memberikan solusi. Individu yang jauh dari sikap dewasa apalagi bertanggung jawab.
Dengan demikian, sejauh kita bisa tertawa ataupun bahkan merasa sebal ketika kita membaca cerita Si Kabayan (atau cerita sejenis), artinya bahwa rohani dan akal pikiran kita masih sehat, karena kita masih bisa mengenal sifat-sifat kocak dan pikasebeleun dalam diri kita. Lebih dari itu, kita masih bisa jujur pada diri kita sendiri.***
Pribadi yang "Teu Nanaon ku Nanaon"
Pribadi yang "Teu Nanaon ku Nanaon"
Oleh AHMAD GIBSON AL BUSTOMI
(Pikiran Rakyat, Saptu, 5 Maret 2005)
Dalam sebuah diskusi apresiasi film "Si kabayan Saba Kota", saya diingatkan Kang Didi Petet tentang satu hal berkenaan dengan karakteristik atau lebih tepatnya cara pandang Si Kabayan dalam menjalani kehidupannya, yaitu teu nanaon ku nanaon. Prinsip hidup Si Kabayan ini memang sangat dikenal, sebagai cara pandang yang sangat khas "Kabayan". Maksudnya, siapa pun yang banyak membaca, atau mendengar dan penutur cerita Si Kabayan, ia tahu dengan pasti bahwa Si Kabayan sangat dikenal sebagai sosok yang berpegang pada prinsip tersebut, teu nanaon ku nanaon.
Sulit dipastikan prinsip apakah -- yang diasumsikan (diyakini) -- yang menjadi pandangan hidup hidup Si Kabayan? Cara pandang hidup yang membentuk kepribadian Si Kabayan sebagai pribadi yang tulus (lugu, polos?), dan juga cerdas, optimistik serta senantiasa menjalani kehidupannya dengan ceria (hirup mah durirang durang duraring, atau hirup mah heuheuy jeung deudeuh). Apa pun yang ia jalani dan ia terima, selalu disikapi dengan cara yang sama: easy going atau painless. Tak ada bedanya, apakah ia menghadapi kesulitan maupun kesenangan. Namun demikian, kadang juga ditemukan sikap hidup Si Kabayan yang digambarkan benar-benar berbeda dengan orang pada umumnya. Seperti tampak pada gambaran ketika Si Kabayan menjalani (nyorang) jalan menanjak dan menjalani jalan yang menurun. Ketika Si Kabayan menjalani jalan yang menanjak ia selalu tesenyum penuh kebahagiaan, karena yakin bahwa setelah itu akan menghadapi jalan yang menurun. Namun sebaliknya, ia akan merasa sedih ketika menghadapi jalan yang menurun, karena tidak akan lama lagi akan menghadapi jalan yang menanjak. Gambaran tersebut merupakan ilustrasi dari sikap arif ketika Si Kabayan menghadapi kehidupan yang senantiasa berubah, pasang surut. ketika ia menghadapi kesulitan hidup ia tidak pernah pesimis, karena ia yakin, setelah seseorang (siapa pun) itu ia akan berhadapan dengan kemudahan dan kebahagiaan. Dan sebaliknya, ketika ia sedang dalam kemudahan dan kebahagiaan, ia bersikap hati-hati, karena bukan mustahil setelah itu akan mengahadapi kesulitan dan penderitaan. Itulah mungkin mengapa orang beranggapan bahwa Si Kabayan memiliki prinsip (azimah) teu nanaon ku nanaon dalam menjalani kehidupanya. Suatu sikap dan cara pandang yang sangat sulit ditemukan dalam individu dan masyarakat yang menamakan dirinya sebagai individu dan masyarakat modern. Alih-alih menjadikan "cara pandang Si Kabayan" dijadikan sebagai alternatif sikap hidup yang positif, malah dianggap sebagai sikap yang tidak peka dan tidak bertanggung jawab?
**
KETIKA Kang Didi Petet mengingatkan pandangan hidup Si Kabayan sebagai pribadi yang teu nanaon ku nanaon, saya jadi teringat dengan karakteristik manusia yang berada dalam maqom atau derajat Insan Kamil (lautan Kainsanan) yang dijelaskan oleh K.H. Hasan Mustapa (Sufi dan Budayan Sunda yang juga dianggap mahiwal). K.H. Hasan Mustapa menyebutkan bahwa salah satu sikap hidup seorang yang telah sampai pada maqom atau derajat Insan Kamil adalah taya luhur taya handap, sampurna taya kakurang, sampurna walatra, beda soteh pangersana paranimana, jatnika ku sangsarana. Saya melihat bahwa cara pandang ketasawufan ini sama atau mirip dengan cara pandang Si Kabayan, teu nanaon ku nanaon. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi bahwa Si Kabayan senantiasa jatnika ku sangsarana, dan senang atau pun susah bagi Si Kabayan tidak dipandang sebagai kenyataan "objektif", melainkan sebagai kenyataan subjektif dari bagaimana ia menyikapi (mengapresiasi) atau menerima pengalaman yang dialaminya, beda soteh pangersana panarimana.
Terdapat satu kerakteristik yang mesti kita "pahami" dalam mengapresiasi sikap dan cara pandang dan kehidupan Si Kabayan, yaitu pada "logika" atau paradigma yang digunakannya. Bila kita menyimak alur logika Si Kabayan dalam hampir semua cerita Si Kabayan, kita akan menemukan yaitu bahwa Si Kabayan senantiasa menuntut kita untuk "menyimpan dalam tanda kurung" (melakukan "reduksi eiditik", istilah Fenomenologi) cara berfikir awam kita yang cenderung formal dan linier (vertikal). Bila tidak, kita akan merasakan betapa logika kita diputarbalikan sedemikian rupa, dan kita akan "kebingungan" dan bertanya-tanya siapa sebenarnya yang "gila"? Dengan cara berpikir ala Si Kabayan ini, kita dipaksa dan disudutkan pada suatu posisi di mana kita dengan malu-malu atau dengan jantan akan membuka kedok dan kepalsuan yang sekian lama menutup pikiran dan nurani kita. Dan, dengan cara demikian kita tidak pernah merasa "dijatuhkan" atau dipaksa untuk mengaku jatuh oleh logika Si Kabayan, karena kita sendirilah yang menaklukan logika kita sendiri. Prinsip yang mirip dengan apa yang sering para mursid tariqat katakan tentang keberhasilan muridnya, "usaha dan keuletan sang muridlah yang membuat ia berhasil bukan karena kecerdasan sang mursyid dalam mengajarkan ketasawufan".
Teu nanaon ku nanaon, itulah salah satu inti dasar kearifan yang bisa kita pelajari dari cerita Si Kabayan. Kearifan yang mengajarkan kita tentang cara menerima dan menjalani kehidupan. "Menerima dan menjalani kehidupan" sebagai anugrah yang murni diberikan oleh Tuhan, manusia tidak pernah meminta, merencanakan apalagi membuatnya. Dan, oleh karena itu Si Kabayan menerima anugrah itu dan memandang dalam kacamata yang positif. Ia sadar bahwa secara faktual manusia ditakdirkan untuk hidup bergandengan dengan alam. oleh karena itu, Si Kabayan menjadikan alam sebagai teman, bahkan sebagai bagian integral dari dirinya sendiri. Kehidupan Si Kabayan adalah prototipe manusia yang tidak mengenal dan tidak pernah akrab dengan konflik. Kalaupun ia menemukan sesuatu yang bernuansa konflik, dipandangnya sebagai potensi positif yang membuat sejarah kehidupan manusia menjadi dinamis. Potensi yang membuat pelangi di angkasa sana tampak indah namun tidak pernah bisa disentuh.
Sebagai pribadi yang menjadi ikon dari kearifan lokal "Sunda-lembur", mungkinkah ia menjadi alternatif bagi masyarakat Sunda, dan manusia secara kesuluruhan, yang hidup di perkotaan dan menapakkan kakinya di era modern ini? Ketika persoalan ini mengemuka, terdapat kegamangan, antara kemestian dan kekhawatiran. Kearifan, dari mana dan siapa pun, secara substansial dalam dirinya (inhern) merupakan "nilai" universal yang tidak hanya menjadi milik satu masyarakat atau komunitas tertentu saja. Ia menjadi sebuah kemungkinan (alternatif) bagi masyarakat lainnya. Konteks yang menjadi kemestian kearifan ala Si Kabayan ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat modern. Namun, di sisi lain terdapat pula kekhawatiran, yang kurang lebih sama dengan kekhawatiran sejumlah dalang dan tokoh budayan terhadap upaya Asep Sundandar Sunarya ketika ia melakukan beberapa improvisasi dalam pergelaran wayang goleknya. Kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dari tali paranti atau pagu. Kekhawatiran ini sebenarnya cukup bahkan sangan beralasan, sehingga kita tidak perlu menganggapnya sebagai sikap berlebih-lebihan. Karena, kekhawatiran tersebut tentunya bukan terlahir dari sikap picik dan ortodoks, akan tetapi harus dipandang sebagai satu sikap dan ekspresi dari apresiasi dan kecintaan mereka terhadap budaya warisan leluhurnya. Tarik-ulur dalam mengapresiasi warisan budaya para pendahulu suatu bangsa merupakan kenyataan yang membuat suatu bangsa dengan kebudayaannya mampu bertahan sampai kini.
Dalam konteks ini, kita dituntut untuk bersikap arif dan melihat persoalan ini secara proporsional dan penuh tanggung jawab. Jangan sampai, seperti digambarkan dalam cerita Si Kabayan yang menceritakan bagaimana orang cenderung menjadikan aspek-aspek permukaan (furu) yang bagus dan bersih, Si Kabayan disambut dan disuguhi hidangan yang serba lezat di meja yang disediakan secara khusus. Melihat gelagat tersebut, Si Kabayan membuka pakaiannya dan ditaruhnya pakaiannya di atas hidangan tersebut sambil berkata, "hai baju yang bagus, makanlah hidangan yang lezat-lezat ini, karena makanan ini diseuguhkan untuk menyambut dan menghormatimu, bukan aku!".
Restorasi dan apresiasi terhadap nilai dan budaya, merujuk pada filosofi Si Kabayan tersebut, harus mendahulukan dan meletakkan nilai-nilai substantif sebagai unsur prioritas di atas unsur-unsur luaran. Namun demikian, bukan berarti kita boleh secara semena-mena mencampakkan unsur luaran dari tradisi dan warisan budaya suatu masyarakat, karena relasi antara kedua unsur tersebut sekompleks unsur-unsur sejarah yang terlibat dalam proses kreatifnya.
Namun demikian, upaya-upaya untuk merestorasi dan "merevisi" nilai-nilai kearifan ala Si Kabayan bagi masyarakat kontemporer harus pula disikapi sebagai upaya yang tidak kecil artinya bagi kehidupan dan perkembangan budaya Sunda pituin. Insya Allah.***
27.1.06
Sangiangtikoro bukan Tempat Bobolnya Danau Bandung Purba
BILA kita memasukkan lidi ke mulut Gua Sangiangtikoro, lalu lidi terbawa masuk ke dalam, konon akan terdengar jerit kesakitan. Cerita ini mengumpamakan seperti tikoro (tenggorokan) yang sakit jika kemasukan duri.
Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh yang maha besar. Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat maestro geologi van Bemmelen percaya pula sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.Van Bemmelen yang sangat kagum pada sakakala Sangkuriang itu, melihat ada kesamaan urutan kejadian antara sakakala dengan proses geologi Bandung. Tak ayal lagi pendapat suhu ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili, sehingga semua guru lulusan B-1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia memercayai pula bahwa Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan Indonesia, sehingga sampai sekarang pun orang tetap masih meyakini Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Aliran Citarum itu bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, seperti sungai terbuka biasa, yang satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Tenggorokan dalam bahasa Sunda adalah tikoro. Maka, tempat penyayatan air di daerah batu kapur selatan Rajamandala itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiangtikoro.
Batuan di Sangiangtikoro disebut batu gamping, batu kapur, atau batu karang. Batuan kapur memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak setipis selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik, kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut. Sekira 23 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang koral mengendap di laut dangkal yang jernih antara Tagogapu Rajamandala - Palabuanratu.
Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Batuan ini dapat larut dalam air yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer, yang pada umumnya terdapat di semua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiangtikoro adalah hasil proses pelarutan sehingga dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Pada 2002 Budi Brahmantyo dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) meneliti geomorfologi di daerah Padalarang dan Rajamandala hingga Saguling untuk memperbaiki sejarah bumi Bandung. Dia menyimpulkan bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya Danau Bandung Purba!
Danau Bandung Purba
Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun pembentukan danau semakin sempurna karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung.
Air semakin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan paras air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di timur hingga Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran di selatan.
Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno - Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.
Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Pada tahun 1959 sesungguhnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis:
"... Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak di antara gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.), sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang sekarang, dengan demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan menentukan tinggi permukaan air paling atas...
Namun sayang laporannya itu kurang mendapat tanggapan yang baik dari para ahli. Budi Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI, Jakarta, menjelaskan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersentuhan dengan Sangiangtikoro.
Dalam tulisan itu disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan melalui hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.
Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300 - 400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.
Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh muka air tanah.
Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang Tengah yang berupa batuan intrusif yang muncul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri dari batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur akhirnya menyusut pula.
Curug Jompong merupakan tempat yang mudah dijangkau bila dibandingkan dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri. Di sana terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kokoh, dan mengagumkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.
Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air yang sangat halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya tempat tersayatnya batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja, yang kemudian tersayat oleh kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung Purba itu menembus batuan.
Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang lalu. Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.
Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m. atau 712,5 m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui. Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat tempat penglepasan, yang menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.
Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut itu menjadi "pisau" tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.
Pada saat Danau Bandung Purba barat surut, keadaan Danau Bandung Purba timur masih tergenang, karena sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Jadi, Danau Bandung Purba barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba timur, tapi surut lebih awal.
Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba menyusut 16.000 tahun yang lalu.
Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah menuliskan dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum di sekitar Curug Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian, ditelantarkan, padahal dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang!***
(T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).