15.10.05

Bangga (Aku) Jadi Orang Sunda, Euy!

Artikel Pikiran Rakyat édisi Saptu, 8 Oktober 2005

Oleh YAYAT R. CIPASANG

Sebagai warga yang hidup di kota metropolitan seperti Jakarta yang plural dan tempat berkumpulnya beragam etnis, kadang aku merasa cemburu dengan orang Jawa atau orang Batak.


TAUFIK Ismail memberi judul salah satu buku kumpulan puisinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Yayasan Anda, 1998). Bila Taufik Ismail boleh mengungkapkan nada satir lewat puisinya, aku juga berhak memberi judul tulisan ini, Bangga (Aku) Jadi Orang Sunda.

Kata bangga dalam konteks tulisan aku dan malu dalam konteks Taufik Ismail sebenarnya tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama secara eksplisit menunjukkan kecintaan yang mendalam kepada tanah kelahiran dan bangsanya lebih jauh.

Sebagai orang Sunda pituin, aku sangat miris bila membaca tulisan autokritik dari pemikir yang tak diragukan kesundaannya, Kang Ajip Rosidi. Paling tidak dua tulisan terakhir Kang Ajip di harian Pikiran Rakyat membuat aku tergerak untuk menulis artikel ini.

Berikut beberapa kegundahan Kang Ajip. "Kalau kegiatan seni dan ilmiah tidak didorong hidupnya di Bandung, demikian pula kalau kegiatan penerbitan buku hanya terbatas kepada buku-buku ajar untuk mengejar projek-projek pemerintah pusat dan pemda apalagi kalau dengan melakukan KKN, maka kehidupan intelektual di Bandung akan kian jauh tertinggal oleh Yogyakarta dan mungkin juga oleh kota lainnya" (Pikiran Rakyat, Rabu 4/5).

".... bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematiannya karena kita saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Kita saksikan kian banyak orang Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun dengan sesama orang Sunda. Kita juga saksikan, umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. Bahasa Sunda dianggap tidak cukup tepat atau tidak cukup terhormat untuk menyampaikan pikirannya" (Pikiran Rakyat, Senin 16/5).

Dua kutipan di atas mewakili kegundahan aku juga. Aku adalah pemuda yang hijrah ke Jakarta dari sebuah udik di Priangan Timur, tepatnya di Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Aku sudah menjadi warga Jakarta sejak tujuh tahun silam. Tetapi percayalah, tempat berpijak sekarang tidak mengubah kecintaan aku pada Tatar Sunda.

Sebagai warga yang hidup di kota metropolitan seperti Jakarta yang plural dan tempat berkumpulnya beragam etnis, kadang aku merasa cemburu dengan orang Jawa atau orang Batak. Ketika mereka bertegur sapa dengan rekannya di tempat umum di kantor atau di tempat yang sifatnya nasional mereka tetap berbicara dalam bahasa ibunya.

Atau saat naik bus tanggung Metromini, kondektur dan sopir saling cakap dalam bahasa nenek moyangnya. Kadang aku menuduh mereka egois dan tidak tahu diri atau bahasa ilmiahnya primordial. Tetapi bila berpikir jernih, mereka itu sebenarnya adalah aset daerah yang penting dalam pelestarian bahasa dan budaya secara umum.

Kegundahan aku biasanya terobati saat aku pergi ke kantor dari Depok ke Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dengan naik bus Mayasari Bhakti. Aku sangat menikmati saat sopir dan kondektur berceloteh dalam bahasa Sunda. Maklum, pentolan atau kru bus ini mayoritas barudak Tasikmalaya dan Ciamis.

Saat mengikuti diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di Pusat Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, aku tertarik dengan lontaran wartawan senior Syu'bah Asa. Saat itu mantan wartawan majalah Tempo ini menyebutkan orang Sunda termasuk yang masih bangga menggunakan bahasa daerahnya. Ini hasil pengamatan dia. Namun, aku belum percaya seratus persen karena belum ada penelitian yang komprehensif.

Sebenarnya aku sempat bangga dengan pernyataan Syu'bah Asa itu. Namun, saat membaca sebuah harian ibu kota malah kembali ciut dan sedih ketika Miing Bagito mengungkapkan pengalamannya saat bertandang ke Bandung. Ia mengaku miris saat melihat anak-anak muda Bandung sudah tak lagi bangga bercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Padahal, Bandung adalah muka Jawa Barat. Dari sini aku bisa memperkirakan anak-anak muda di kota-kota besar Jawa Barat juga kemungkinan gayanya sama.

Dalam pengamatan yang sangat dangkal, aku juga mencermati perkembangan kebudayaan massa yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir ini. Aku lebih khususnya menelisik tentang perkembangan televisi di Indonesia yang begitu masif setelah pemerintahan B.J. Habibie membuka keran media massa dan menghapus lisensi.

Perkembangan televisi yang kini sudah mencapai 11 stasiun siaran nasional adalah sebuah fenomena bagi Indonesia setelah munculnya open sky policy. Malaysia dan Singapura saja jauh tertinggal bila dilihat dari jumlahnya. Belum lagi kini dengan menjamurnya televisi lokal.

Menjamurnya televisi adalah sarana efektif untuk mengenalkan budaya lokal menjadi budaya yang menjadi milik nasional. Barudak Bandung dan Jawa Barat lainnya sebenarnya sudah memanfaatkan saluran massal ini. Lihat saja, Peterpan, Seurius, /rif, Java Jive, PAS Band, dan Kahitna adalah di antara sejumlah grup musik yang sering memenuhi acara televisi tanah air.

Belum lagi kelompok Padhyangan Project dan P Project atau presenter Rina Gunawan dan Aming. Mereka itu begitu populer belakangan ini. Termasuk presenter asal Batak, Sophie Novita yang nyunda sekali. Mereka tampil dan cukup populer. Di sela-sela omongan dan candaan mereka kerap telontar kata-kata, idiom-idiom dan logat Sunda yang cukup kental. Begitu juga bila melihat Asep Sunandar Sunarya dan kelompoknya manggung di Televisi Pendidikan Indonesia setiap malam Ahad. Bila melihat mereka tampil di televisi aku bangga.

Aku bekerja di sebuah stasiun televisi partikelir nasional. Kondisi kantorku beragam etnis dari mulai Sunda, Batak, Bugis, Jawa (Tegal, Surabaya) dan Palembang. Namun, setiap masuk kantor aku merasakan seperti di Tatar Sunda.

Aku sempat terheran-heran ketika wong Jawa Timur di kantor fasih banget berbicara dalam bahasa Sunda halus. Belakangan aku ketahui ternyata ia menghabiskan masa kuliahnya di Bandung. Begitu juga orang Tegal, tak kalah fasihnya ngomong Sunda. Orang Batak juga tak kalah serunya. Cuma bedanya kalau bilang ”punten” ia masih menggunakan ”punten” dengan e taling.

Belakangan munculnya juga fenomena Aa. Penyebutan Aa belakangan ini begitu populer seiring semakin mencorongnya figur Aa Gym atau Abdullah Gymnastiar yang punya Pesantren Daarut Tauhid. Sekarang tak segan-segan seorang gadis walaupun bukan dari Sunda memanggil pacar atau suaminya dengan panggilan Aa. Aa begitu populer dan generik.

Suatu saat aku merindukan ungkapan dan idiom Sunda menjadi bahasa pergaulan di kalangan anak muda Ibu Kota seperti halnya bahasa Betawi atawa Inggris. So what gitu loh, kalau meminjam istilah anak muda kiwari. Hal ini adalah sesuatu yang mungkin karena anak-anak muda pesohor dari Bandung kini banyak memenuhi televisi nasional. Mereka kerap menggunakan bahasa Sunda.***

Penulis, editor dan penulis lepas tinggal di Bogor, Jawa Barat.

No comments: