Sebuah pertanyaan bagi berdirinya “Negara Pasundan”*
Ahmad Gibson Al-Bustomi
Beuki jauh ka cinyusu
beuki hilir beuki lali
moal nyaah ke petetan
lamun pambrih ka langari
teu paya ku pacengkadan
mun teu pambrih ku rejeki.
beuki hilir beuki lali
moal nyaah ke petetan
lamun pambrih ka langari
teu paya ku pacengkadan
mun teu pambrih ku rejeki.
(Kinanti Ngahurung Balung, K. H. Hasan Mustapa)
Sunda nanjung upama nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui.
Uga Bandung
Uga Bandung
Pendahuluan
Fenomena disintegrasi Bangsa (Indonesia) dan paling tidak desentralisasi yang terjadi pada era reformasi merupakan fenomena yang cukup unik: sesuatu yang menjanjikan sekaligus dilematis. Fenomena ini mencuat pada pasca jajak pendapat yang dilakukan di Timor-Timur. Wilayah termuda yang menimbulkan gejolakdan senantiasa pro dan kontra semenjak berintegrasinya dengan Indonesia. Negara Indonesia cukup disibukkan dan tersita perhatiannya direpotkan dengan adanya persoalan tersebut. Dan uang negara pun tersedot dengan jumlah yang sangat besar, dibandingkan dengan biaya pembangun dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk pembangunan provinsi lainnya yang lebih luas sekalipun.
Sejak berdirinya Bangsa dan Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan, yang dibentuk di atas kesamaan pengalaman historis, yaitu pengalaman sejarah penderitaan, yaitu kolonialisme Belanda dan Jepang. Di atas kesadaran kesamaan sejarah tersebut lahirlah sesuatu yang kemudian dikenal dengan kesadaran nasionalionalisme, yang melahirkan momen Sumpah Pemuda. Suatu momen yang mengesampingkan sejumlah perbedaan. Sejak itulah gaung “Nasionalisme” menjadi semakin keras, sebagai senjata yang sangat efektif untuk menumbangkan
kolonialisme.
Semangat Nasionalisme ini menjadi kekuatan yang sangat efektif hingga terbentuknya Negara Kesatuan Indonesia. Riak-riak perpecahan karena isu agama berapa saat pasca Proklamasi bisa teratasi.
Namun, perjuangan untuk menyatukan bangsa Indonesia , tampaknya belum bisa disebut selesai, karena tiba-tiba muncul gejolak yang berakar dari persoalan keterpisahan bangsa Indonesia oleh beberapa hal, antara lain: prluralitas suku bangsa, keterpisaha wilayah yang demikian luas oleh lautan, perbedaan agama, budaya dan bahasa dan lain sebagainya. Hal tersebut melahirkan gejolak yang cukup keras, antara lain terkristalisasi dengan munculnya ide pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS, di bawah tekanan Belanda) walaupun tidak bertahan lama; dan terjadinya gejolak ideologi, antara ideologi yang berakar pada agama (ideologisasi agama), kerakyatan dan nasionalisme. Untuk menyelesaikan tersebut, Presiden pertama Indeonesia, Soekarno melemparkan gagarasan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang ditentang oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agama. Fenomena ideologis ini sedikit mereda karena terjadinya “penghianatan” G30 SPKI, yang menelorkan Supersemar dan Ordebaru. Beberapa saat itu gejolak-gejolak Ideologi “terkendali” walau pun menyimpan bara dalam sekam, dengan cara meregulasi partai-partai politik. Demikian pula dengan persoalan-persoalan perbedaan Suku Bangsa. Orang menjadi gamang dan ketakutan untuk memunculkan identitas dan supremasi kesukuan walau sekedar menampilkan “tradisi” lokal, karena dianggap SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Suatu istilah yang apabila keseleo “lidah”, penjara telah disediakan baginya.
Kekhawatiran “Pemerintah” Ordebaru terhadap gejolak kesukuan, agama dan golongan ini pun, khususnya persoalan kesukuan telah membelenggu perkembangan kebudayaan lokal, seperti tampak dalam upaya untuk mengurangi kuatitas dan kualitas pelajaran budaya daerah di sekolah-sekolah. Kebudayaan dan tradisi lokal hanya dipupuk dan dibiarkan hidup selama ia bisa dijadikan komoditi ekomoni (objek Wisata). Perbedaan performent budaya hanya legal dan boleh ditampilkan di Taman Mini atau pentas-pentas budaya di Luar Negeri. Sehingga, kebudayaan daerah lebih dikenal oleh para turis asing atau di luar negeri dari pada oleh pemiliknya. Dalam konteks ini terdapat paradoks, kebudayaan lokal dianggap sebagai aset nasional di satu sisi, dan dianggap sebagai ancaman bagi integrasi bangsa, di sisi lain.
Upaya penghilangan sumber-sumber konflik melalui cara-cara tersebut, ternyata malah menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi bangsa. Karena selama ini potensi-potensi konflik tidak mendapatkan saluran yang memadai.
Fenomena disintegrasi bangsa yang kini mengancam bangsa Indonesia, lebih banyak diasumsikan sebagai fenomena yang muncul karena persoalan politik dan ekonomi belaka. Tidak pernah dilihat sebagai persoalan emosi kedaerahan dan kesukuan karena secara efektif dan sistematis digiring pada suatu warna budaya dan tradisi kebudayaan kelompok budaya tertentu, yaitu pada kebuayaan Jawa (bisa dilihat pada penggunaan logat dan sosialisasi istilah-istilah Jawa yang digunakan oleh pejabat Orde Baru). Sementara persoalan ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi dan politik (dengan tidak bermaksud mengecilkan aspek tersebut) lebih merupakan pemicu strategis.
Ide, atau gagasan yang dimunculkan dalam “sawala” kali ini, dengan mengedepankan kemungkinan munculnya “Negara Bagian Pasundan” atau Negara Pasundan” (untuk ide Provinsi tidak perlu dipersoalkan, toh selama ini Pasundan merupakan sebuah provinsi yaitu provinsi Jawa Barat) atau sekedar peralihan nama dari Provinsi Jawa Barat ke Provinsi Pasundan, bila kita simak, sepertinya berpijak di atas kerangka pemikiran serta horison kedaerahan. Dengan demikian, inti persoaln yang dibicarakan, sesungguhnya, tidak terletak pada persoalan yang murni politik, akan tetapi pada kebudayaan atau paling tidak politik kebudayaan.
Karena itulah, tulisan ini akan secara spesifik lebih memfokuskan pada perkisaran persoalan budaya Sunda.
Trauma dan Obsesi Berkuasa pada Masyarakat Sunda
Sejarah Peradaban Sunda, bila menggunakan matra dinamika hegemoni “kekuasaan” dapat bagi dalam empat babakan. Antara lain: pertama, masa kerajaan Sunda (dari masa Kerajaan Tarumanagara/Salakanagara hingga masa Kerajaan Pajajaran. Kedua, masa kekuasaan Islam-Sunda, yaitu masa kekuasaan Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sultan Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati) di Banten. Ketiga, masa Sunda-Islam-Mataram yang dilanjutkan dengan masa kolonialisme Belanda-Jepang. Dan akhirnya, keempat masa kemerdekaan. Dan, sejak masa ketiga, yaitu sejak masa Sunda-Islam-Matara sejarah Sunda dan kebudayaan Sunda mengalami pasang surut yang sesungguhnya.
Pada dua masa yang awal, yaitu masa kerajaan Sunda dan masa Islam-Sunda, kebudayaan Sunda dalam berbagai aspeknya mengalami masa ke-emasannya. Selanjutnya, diawali dengan “kelonialisme” budaya dan politik Mataram dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda-Jepang, kebudayaan Sunda mengalami pasang surut, secara bertahap namun pasti. Kemunduran itu, dapat dilihat dari berbagai indikasi, baik indikasi sosial, budaya maupun politik. Secara sosiologis, kehidupan masyarakat Sunda beralih dari pola kehidupan (budaya) huma dan berladang, beralih ke pola kehidupan (budaya) sawah. Peralihan pola kehidupan ini berpengaruh sangat kuat pada sistem sosial. Pola kehidupan huma dan ladang yang cenderung egaliter, karena pola penggarapan huma dan sawah biasanya dilakukan oleh seluruh keluarga (keluarga besar=banyak anak banyak rejeki) dengan tanpa menggunakan atau mengenal buruh dan tidak memerlukan badega (bodyguard) serta manor beralih pada sistem sosial yang mengenal buruh, mandor bahkan badega. Sistem sosial ini telah merubah sistem sosial egaliter ke sistem sosial berkelas.
Peralihan sistem sosial ini diawali oleh masuknya hegemoni kekuasaan Mataram ke tatar Sunda. Suatu hegemoni kekuasaan yang ditegakkan di atas etika feodalisme khas Mataram. Jawa. Sistem stratatifikasi sosial, yang didukung oleh berkembangnya budaya bersawah, dan sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas etika kekuasaan feodalistik, telah pula menuntut perubahahan sistem budaya. Salah satu aspek budaya yang menjadi alat interaksi sosial yang secara langsung menuntut perubahan karena adanya stratifikasi sosial adalah aspek bahasa. Bahasa Sunda, yang konon tidak mengenal tingkatan (panta-panta), pada akhirnya mendapat imbas paling efektif untuk berubah. Maka lahirlah sistem bahasa Sunda yang mengenal tingkatan, yaitu halus, sedang, dan kasar. Bahasa selain sebagai alat komunikasi, ia pun telah menjadi standar etika sosial, baik atau baiknya serta sopan dan tidaknya seseorang ditentukan oleh caranya berbahasa. Tingkatan bahasa yang sebetulnya bukan merupakan tuntutan gramatika bahasa, akan tetapi lebih merupakan tuntutan sistem nilai budaya dan sistem sosial. Perubahan sistem bahasa akan secara sistematis merubah struktur budaya lainnya, bahkan berubah pula sistem nilai budayanya. Bila sistem nilai budaya sebagai kristalisasi dari akumulasi pengalaman sejarah psikologis suatu bangsa telah berubah, maka tidak ada lagi yang tersisa pada bangsa tersebut.
Bila suatu bangsa mengalami suatu masa kolonial, ia tidak akan pernah kehilangan jati dirinya, bila budayanya tidak tersentuh; akan tetapi penjajahan yang menyentuh aspek-aspek budayanya, khususnya bahasanya (bahasa sebagai ciri suatu bangsa), maka sesunggunya bangsa itu telah kehilangan jati dirinya, suatu kondisi yang lebih parah dari sekedar kematian.
Hilangnya jati diri Ki Sunda, tergambar dalam legenda Pun Boncel, yang sangat dikenal. Legenda yang menceritakan seorang anak dusun yang karena telah menjadi seorang priayi, ia sampai tega melupakan dan mengingkari ibunya sendiri. Dalam traadisi budaya (kosmologi Sunda) Seorang Ibu merupakan simbolisasi dari nilai-nilai primordial (ingat Dewi Sri dan Sunan Ambu). Salah satu nilai primordial yang paling substansial, selain nilai-nilai Ilahi, nilai-nilai budaya yang diwariskan sejak nenek moyang bangsa tersebut. Bila sosok ibu merupakan simbolisasi dari sistem nilai primordial yang terkristalisasi dalam sistem nilai budaya, maka pada kasus legenda Pun Boncel, dapat dilihat sebagai gambaran seorang priyayi Sunda yang kental dengan didikan budaya Sunda
(sebagai seorang dusun) yang melupakan dan meninggalkan nilai budayanya sendiri hanya karena mendapatkan “kedudukan” sebagai seorang Dalem. Bila melihat simbol-simbol budaya dalam legenda Pun Boncel, maka dapat diperkirakan bahwa legenda Pun Boncel tersebut menceritakan kondisi masyarakat Sunda masa Sunda-Islam-Mataram, atau paling tidak masa awal penjajahan Belanda dan akhir masa kekuasaan Mataram. Legenda Pun Boncel, menceritakan secara radikal kebanggaan seorang manusia Sunda terhadap sistem nilai budaya dengeun (bangsa lain) dari pada budayanya sendiri. Legenda tersebut merupakan kritik dan evaluasi moralitas-sosial masyarakat Sunda yang mengalami budaya “pop”, budaya yang juga dialami opeh para priayi pada masa Ordebaru, budaya latah.
Disintegralisasi Sunda-Indonesia, Sebuah Dilema
Bila apa yang diteriakkan tokoh poros tengan dan Ketua MPR Amin Rais untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Federal, sebagai satu-satunya jalan keluar yang paling memungkinkan untuk menghindari disintegrasi bagsa, maka “diperkirakan” Sunda akan menjadi salah satu Negara Federal tersebut (Dalam hal ini, persoalan apakah Provinsi Jawa Barat dirubah menjadi Provinsi Pasundan, Negara Bagian [Federal] maupun Negara Pasundan [Merdeka] tidak menjadi persoalan karena bagai Masyarakat Sunda memiliki persoalan yang sama). Hal ini bisa terjadi selain Sunda merupakan sebuah Provinsi (Jawa Barat), Sunda pun memiliki latar historis yang berbeda (khas) dengan wilayah Jawa lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Kecuali bila masih ada asumsi bahwa Sunda atau Pasundan masih merupakan wilayah kekuasaan Mataram, paling tidak hingga masa kekuasaan Suharto yang gayanya sangat Mataramisme. Maka wilayah Sunda akan masuk pada wilayah Jawa yang lainnya.
Berandai-andai Sunda menjadi salah satu Negara Federal di bawah naungan Negara Indonesia atau Nusantara, maka tampaknya terdapat beberapa persoalan yang perlu di dibenahi dan dipersiapkan.
1. Penegasan Identitas dan Referensi Sistem Nilai Budaya.
Ini menjadi penting karena hal tersebut akan menjadi sandaran kepribadian bangsa Pasundan (atau apa pun namanya). Bila Aceh telah menggulirkan khas Acehnya, yang juga menjadi salah satu dasar tuntutan Aceh untuk menjadi wilayah otonom dan wilayah yang betul-betul istimewa (Daerah Istimewa) bahkan Aceh Merdeka, maka Sunda pun tentunya “harus” memiliki landasan tersebut. Persoalannya pada landskap budaya dan sistem nilai budaya mana Negara Pasundan akan dipinjakkan. Apakah landskap Kerajaan Sunda dengan Pajajaran sebagai modelnya. Ataukah Sunda-Islam dengan masa Sunan Gunung Jati dan Sultan Hasanuddin yang berupaya mengkompromikan sistem nilai budaya lokal dengan Islam (juga sebaliknya), sebagai ladnskapnya. Atau landskap Sunda-Islam-Mataram, yang feodalistik? Atau barangkali baru akan kita rumuskan kemudian: suatu sistem budaya dan sistem nilai budaya baru yang kompromi dengan kemodernan bahkan ala modern yang belum dan tidak jelas bentuknya itu. Yang, kemudian disebut sebagak Sunda kiwari (Sunda kontemporer).
Bila kita mengamati sistem nilai budaya yang kini hidup mengakar di kalangan masyarakat Sunda, khususnya kaum muda (nonoman Sunda kiwari), dapat dikatakan bahwa mereka hidup di bawah naungan sistem nilai budaya modern yang belum jadi. Dengan kata lain, masyarakat Sunda kiwari adalah masyarakat Sunda yang tidak “nyunda”, bukan pula Indonesia, dan modern pun belum jadi. Disebut tidak nyunda, karena terdapat sejumlah karakteristik ke-Sunda-an yang telah tercerabut dari dalam diri nonoman Sunda, tergilas oleh sistem nilai budaya Barat Modern. Disebut Indonesia juga bukan, karena mereka lebih cenderung menggunakan nilai-nilai budaya Barat modern, selain memang Indonesia (sebagai negara kesatuan) sampai sekarang belum memiliki sistem nilai budaya yang jelas.
Bila orang Sunda ditakar oleh sistem nilai budaya dan kepribadian Barat Modern, maka masyarakat Sunda kiwari termasuk salah satu bangsa yang sulit untuk menjadi Barat Modern. Pada sikap keterusterangan (terbuka) sebagai contoh. Walau pun ada yang berpendapat bahwa orang Sunda itu merupakan bangsa yang terus terang (terbuka), seperti tampak pada karakteristik masyarakat Badui (Kanekes) atau Mayarakat Sirnarasa Cisolok-Sukabumi (sebagai prototipe Sunda lama), namun tampaknya pengaruh budaya Mataram telah terlalu kuat tertanam dalam kepribadian masyarakat Sunda. Masyarakat yang terlalu banyak menggunakan ungkapan silib sampir-sindang siloka, malapah gedang. Selain itu, masyarakat Sunda bukanlah masyarakat yang bisa bersikap “radikal” (dalam terminologi etik bukan epistemologis) dan prontal. Masyarakat Sunda sering lebih memilih menahan diri, uwuh pakewuh, ketika berhadapan dengan sejumlah gejolak politik. Hal ini dimungkinkan tiga hal:
Pertama, trauma sejarah politik bangsa Sunda semenjak masa kolonialisme Mataram yang memposisikan bangsa Sunda sebagai abdi penguasa Mataram hingga masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Bahkan pada masa kemerdekaan pun wilayah Pasundan (Jawa Barat) lebih sebagai wilayah perluasan penguasaan ekonomi yang sangat sedikit bisa dinikmati oleh komunitas Sunda sendiri. Kasus kecil dapat ditemukan, yaitu tersingkirnya orang Betawi (Sunda Kelapa) menjadi masyarakat pinggiran dan menjadi warga “kelas dua”.
Kedua, suatu sikap dari sa;ah dimengertinya sikap dan kebijakan yang diambil Prabu Bunisora Suradipati (dengan karakteristik kematangan spiritualnya) oleh orang Sunda yang mengakibatkan dampak psikologis dalam mengahadapi trauma dari bencana besar perang Bubat. Suatu sikap yang secara tidak sadar menjadi kepribadian bangsa Sunda (masuk wilayah tidak sadar dalam benak masyarakat Sunda). Trauma-trauma tersebut telah membentuk kepribadian masyarakat Sunda bersikap sangat hati-hati. Sikap yang menimbulkan dua kemungkinan sikap politis yang diambil oleh masyarkat Sunda. Sikap “curiga” atau sikap apriori (dingin) dan melakukan “aksi diam” terhadap persolan-persolan politik. Hal ini tampak ketika gejolak politik nasional memuncak, wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang relatif paling “aman”. Sikap tenang masyarakat Sunda yang menjadi ciri masyarakat masyarakat Jawa Barat telah menjadikan elite politik pusat dan masyarakat Indonesia pada umumnya terheran-heran bahkan kaget ketika terjadi gejolak di Tasik. Persoalan yang dipicu oleh ketersinggungan harga diri seorang ustadz/santri ketika wilayah kekuasaan dan otoritasnya diganggu. Gejolak ini secara langsung atau pun tidak telah memberikan inspirasi bagi munculnya gejolak di wilayah lainnya secara terbuka. Barangkali orang berpikir, bila masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang dikenal penyabar bisa sedemikian tersinggung apalagi yang lainnya. Maka muncullah gejolak-gejolak di wilayah lainnya.
Ketiga, karena suatu kepribadian masyarakat, yaitu pribagi “Kabayanisme”. Suatu sikap dan pribadi “anu teu nanaon ku nanaon”. Pribadi yang teguh, seperti seekor ikan di lautan. Dalam tradisi spiritual (sufisme) kondisi ini dikenal sebagai kondisi puncak ketasawufan dalam sistem Martabat Tujuh, yaitu: Insan Kamil. Kondisi ini barangkali terlalu dianggap mengada-ada. Wallahu’alam.
2. Membangun Jembatan Silaturahmi antar Elite Masyarakat Sunda
Trauma dan perjalanan sejarah masyarakat Sunda, seperti dijelaskan di atas, telah melahirkan stratatifikasi sosial yang unik. Selain stratatifikasi sosial yang terlahir dari bingkai ekonomi (buruh dan majikan atau kaya dan miskin) yang hal ini sebenarnya tidak terlalu menonjol, dan strata sosial yang terlahir dari bingkai politik (rakyat dan penguasa) dan ini pun dalam masyarakt Sunda tidak terlalu menonjol karena sejak masa kemerdekaan jarang sekali orang Sunda yang berkuasa. Stratatifikasi sosial yang lebih menonjol sebenarnya muncul dalam bingkai budaya, yaitu terjadinya tiga strata sosial, yaitu strata santri, budayawan, dan skular atau ilmuwan.
Pada masa Sunda-Islam yang dipelopori oleh Sunan Gunung Jati, kelompok santri dan budayawan ini sama sekali tidak terpilah, karena seorang santri adalah juga seorang budayawan, demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam tataran politik pun bisa dilihat, bahwa seorang penguasa sekali pun ia adalah seorang santri sekaligus budayawan. Akan tetapi bila kita melihat pada masa modern, khususnya ketika terjadi gerakan modernisasi dan purifikasi dalam pemahaman keislaman. Masyarakat Sunda yang secara kultural bersifat egaliter, tentunya memiliki kecenderungan rasional dan individual, maka gerakan ini “relatif mendapat sambutan yang spesifik dari masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Sunda di perkotaan. Sementara itu gerakan modernisasi dan purifikasi dimana pun ia berada cenderung menolak nilai-nilai budaya lokal. Gerakan ini mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat Islam yang tidak merasa cocok dengan moderniasasi dan purifikasi yang radikal, dengan cara mempertahankan tradisi beragama lokal (Arabisme klasik). Pertentangan menjadi seru, hingga tokoh yang memiliki pandangan yang berusaha yang mempertemukan kedua pandangan ini pun dieliminir oleh kedua kelompk tersebut. Salah seorang tokoh yang berusaha untuk menggabungkan kedua kelompok ini adalah K.H. Hasan Mustapa. Tokoh yang pemikirannya masih jarang dibicarakan.
Pertentangan antara agamawan dan agamawan dengan budayawan tampaknya belum bisa terselesaikan secara tuntas. Belum lagi ketidakpedulian para elite politik Sunda yang masih mabuk oleh asesoris birokrasi feodalisme. Demikian pula dengan kelompok skular Sunda yang pada umunya masih risi dan pobi dengan budaya lokalnya dan masih belum akrab dengan agamanya sendiri.
Bila “gap” (baik disadari atau pun tidak) yang muncul dalam bentuk sikap saling tidak peduli dan kehilangan silaturahmi antara elite politik, elite budaya dan elite intelektual tidak pernah berusaha untuk dijembatani, maka sulit dibayangkan bentuk negara federal macam apa yang akan terbentuk. Masing-masing, pada akhirnya, akan mendahulukan kepentingannya masing-masing kelompok. Ketika itulah lahir masyarakat feodal yang lebih parah dari masa-masa sebelumnya. Ide
Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid, (pemikiran yang pernah diupayakan oleh K.H. Mustapa) barangkali bisa dijadikan jembatan, khususnya anatara elite agama dan budayawan. Ide yang dikenal dengan “pribumisasi Islam”. Upaya untuk mempertemukan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai budaya lokal. Suatu penafsiran terhadap Islam yang tidak mengabaikan karakteristik budaya lokal. Suatu cara pandang keagamaan yang dimiliki para Wali, khususnya Sunan Gunung Jati. Upaya yang dengan sendirinya diharapkan akan mampu menjembatani kedua elite dan lokal genius baik dalam bidang keagamaan maupun budaya.
* Disampaikan dalam Diskusi Politik Dwi-Minguan dengan topik: “Dilema Ki Sunda, antara Provinsi, Negara Bagian dan Negara Pasundan”, yang diadakan oleh Harian Umum SUARA PUBLIK, pada Hari Sabtu, 27 November 1999, di Hotel Bumi Asih Jaya – Bandung.
Fenomena disintegrasi Bangsa (Indonesia) dan paling tidak desentralisasi yang terjadi pada era reformasi merupakan fenomena yang cukup unik: sesuatu yang menjanjikan sekaligus dilematis. Fenomena ini mencuat pada pasca jajak pendapat yang dilakukan di Timor-Timur. Wilayah termuda yang menimbulkan gejolakdan senantiasa pro dan kontra semenjak berintegrasinya dengan Indonesia. Negara Indonesia cukup disibukkan dan tersita perhatiannya direpotkan dengan adanya persoalan tersebut. Dan uang negara pun tersedot dengan jumlah yang sangat besar, dibandingkan dengan biaya pembangun dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk pembangunan provinsi lainnya yang lebih luas sekalipun.
Sejak berdirinya Bangsa dan Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan, yang dibentuk di atas kesamaan pengalaman historis, yaitu pengalaman sejarah penderitaan, yaitu kolonialisme Belanda dan Jepang. Di atas kesadaran kesamaan sejarah tersebut lahirlah sesuatu yang kemudian dikenal dengan kesadaran nasionalionalisme, yang melahirkan momen Sumpah Pemuda. Suatu momen yang mengesampingkan sejumlah perbedaan. Sejak itulah gaung “Nasionalisme” menjadi semakin keras, sebagai senjata yang sangat efektif untuk menumbangkan
kolonialisme.
Semangat Nasionalisme ini menjadi kekuatan yang sangat efektif hingga terbentuknya Negara Kesatuan Indonesia. Riak-riak perpecahan karena isu agama berapa saat pasca Proklamasi bisa teratasi.
Namun, perjuangan untuk menyatukan bangsa Indonesia , tampaknya belum bisa disebut selesai, karena tiba-tiba muncul gejolak yang berakar dari persoalan keterpisahan bangsa Indonesia oleh beberapa hal, antara lain: prluralitas suku bangsa, keterpisaha wilayah yang demikian luas oleh lautan, perbedaan agama, budaya dan bahasa dan lain sebagainya. Hal tersebut melahirkan gejolak yang cukup keras, antara lain terkristalisasi dengan munculnya ide pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS, di bawah tekanan Belanda) walaupun tidak bertahan lama; dan terjadinya gejolak ideologi, antara ideologi yang berakar pada agama (ideologisasi agama), kerakyatan dan nasionalisme. Untuk menyelesaikan tersebut, Presiden pertama Indeonesia, Soekarno melemparkan gagarasan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang ditentang oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agama. Fenomena ideologis ini sedikit mereda karena terjadinya “penghianatan” G30 SPKI, yang menelorkan Supersemar dan Ordebaru. Beberapa saat itu gejolak-gejolak Ideologi “terkendali” walau pun menyimpan bara dalam sekam, dengan cara meregulasi partai-partai politik. Demikian pula dengan persoalan-persoalan perbedaan Suku Bangsa. Orang menjadi gamang dan ketakutan untuk memunculkan identitas dan supremasi kesukuan walau sekedar menampilkan “tradisi” lokal, karena dianggap SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Suatu istilah yang apabila keseleo “lidah”, penjara telah disediakan baginya.
Kekhawatiran “Pemerintah” Ordebaru terhadap gejolak kesukuan, agama dan golongan ini pun, khususnya persoalan kesukuan telah membelenggu perkembangan kebudayaan lokal, seperti tampak dalam upaya untuk mengurangi kuatitas dan kualitas pelajaran budaya daerah di sekolah-sekolah. Kebudayaan dan tradisi lokal hanya dipupuk dan dibiarkan hidup selama ia bisa dijadikan komoditi ekomoni (objek Wisata). Perbedaan performent budaya hanya legal dan boleh ditampilkan di Taman Mini atau pentas-pentas budaya di Luar Negeri. Sehingga, kebudayaan daerah lebih dikenal oleh para turis asing atau di luar negeri dari pada oleh pemiliknya. Dalam konteks ini terdapat paradoks, kebudayaan lokal dianggap sebagai aset nasional di satu sisi, dan dianggap sebagai ancaman bagi integrasi bangsa, di sisi lain.
Upaya penghilangan sumber-sumber konflik melalui cara-cara tersebut, ternyata malah menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi bangsa. Karena selama ini potensi-potensi konflik tidak mendapatkan saluran yang memadai.
Fenomena disintegrasi bangsa yang kini mengancam bangsa Indonesia, lebih banyak diasumsikan sebagai fenomena yang muncul karena persoalan politik dan ekonomi belaka. Tidak pernah dilihat sebagai persoalan emosi kedaerahan dan kesukuan karena secara efektif dan sistematis digiring pada suatu warna budaya dan tradisi kebudayaan kelompok budaya tertentu, yaitu pada kebuayaan Jawa (bisa dilihat pada penggunaan logat dan sosialisasi istilah-istilah Jawa yang digunakan oleh pejabat Orde Baru). Sementara persoalan ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi dan politik (dengan tidak bermaksud mengecilkan aspek tersebut) lebih merupakan pemicu strategis.
Ide, atau gagasan yang dimunculkan dalam “sawala” kali ini, dengan mengedepankan kemungkinan munculnya “Negara Bagian Pasundan” atau Negara Pasundan” (untuk ide Provinsi tidak perlu dipersoalkan, toh selama ini Pasundan merupakan sebuah provinsi yaitu provinsi Jawa Barat) atau sekedar peralihan nama dari Provinsi Jawa Barat ke Provinsi Pasundan, bila kita simak, sepertinya berpijak di atas kerangka pemikiran serta horison kedaerahan. Dengan demikian, inti persoaln yang dibicarakan, sesungguhnya, tidak terletak pada persoalan yang murni politik, akan tetapi pada kebudayaan atau paling tidak politik kebudayaan.
Karena itulah, tulisan ini akan secara spesifik lebih memfokuskan pada perkisaran persoalan budaya Sunda.
Trauma dan Obsesi Berkuasa pada Masyarakat Sunda
Sejarah Peradaban Sunda, bila menggunakan matra dinamika hegemoni “kekuasaan” dapat bagi dalam empat babakan. Antara lain: pertama, masa kerajaan Sunda (dari masa Kerajaan Tarumanagara/Salakanagara hingga masa Kerajaan Pajajaran. Kedua, masa kekuasaan Islam-Sunda, yaitu masa kekuasaan Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sultan Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati) di Banten. Ketiga, masa Sunda-Islam-Mataram yang dilanjutkan dengan masa kolonialisme Belanda-Jepang. Dan akhirnya, keempat masa kemerdekaan. Dan, sejak masa ketiga, yaitu sejak masa Sunda-Islam-Matara sejarah Sunda dan kebudayaan Sunda mengalami pasang surut yang sesungguhnya.
Pada dua masa yang awal, yaitu masa kerajaan Sunda dan masa Islam-Sunda, kebudayaan Sunda dalam berbagai aspeknya mengalami masa ke-emasannya. Selanjutnya, diawali dengan “kelonialisme” budaya dan politik Mataram dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda-Jepang, kebudayaan Sunda mengalami pasang surut, secara bertahap namun pasti. Kemunduran itu, dapat dilihat dari berbagai indikasi, baik indikasi sosial, budaya maupun politik. Secara sosiologis, kehidupan masyarakat Sunda beralih dari pola kehidupan (budaya) huma dan berladang, beralih ke pola kehidupan (budaya) sawah. Peralihan pola kehidupan ini berpengaruh sangat kuat pada sistem sosial. Pola kehidupan huma dan ladang yang cenderung egaliter, karena pola penggarapan huma dan sawah biasanya dilakukan oleh seluruh keluarga (keluarga besar=banyak anak banyak rejeki) dengan tanpa menggunakan atau mengenal buruh dan tidak memerlukan badega (bodyguard) serta manor beralih pada sistem sosial yang mengenal buruh, mandor bahkan badega. Sistem sosial ini telah merubah sistem sosial egaliter ke sistem sosial berkelas.
Peralihan sistem sosial ini diawali oleh masuknya hegemoni kekuasaan Mataram ke tatar Sunda. Suatu hegemoni kekuasaan yang ditegakkan di atas etika feodalisme khas Mataram. Jawa. Sistem stratatifikasi sosial, yang didukung oleh berkembangnya budaya bersawah, dan sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas etika kekuasaan feodalistik, telah pula menuntut perubahahan sistem budaya. Salah satu aspek budaya yang menjadi alat interaksi sosial yang secara langsung menuntut perubahan karena adanya stratifikasi sosial adalah aspek bahasa. Bahasa Sunda, yang konon tidak mengenal tingkatan (panta-panta), pada akhirnya mendapat imbas paling efektif untuk berubah. Maka lahirlah sistem bahasa Sunda yang mengenal tingkatan, yaitu halus, sedang, dan kasar. Bahasa selain sebagai alat komunikasi, ia pun telah menjadi standar etika sosial, baik atau baiknya serta sopan dan tidaknya seseorang ditentukan oleh caranya berbahasa. Tingkatan bahasa yang sebetulnya bukan merupakan tuntutan gramatika bahasa, akan tetapi lebih merupakan tuntutan sistem nilai budaya dan sistem sosial. Perubahan sistem bahasa akan secara sistematis merubah struktur budaya lainnya, bahkan berubah pula sistem nilai budayanya. Bila sistem nilai budaya sebagai kristalisasi dari akumulasi pengalaman sejarah psikologis suatu bangsa telah berubah, maka tidak ada lagi yang tersisa pada bangsa tersebut.
Bila suatu bangsa mengalami suatu masa kolonial, ia tidak akan pernah kehilangan jati dirinya, bila budayanya tidak tersentuh; akan tetapi penjajahan yang menyentuh aspek-aspek budayanya, khususnya bahasanya (bahasa sebagai ciri suatu bangsa), maka sesunggunya bangsa itu telah kehilangan jati dirinya, suatu kondisi yang lebih parah dari sekedar kematian.
Hilangnya jati diri Ki Sunda, tergambar dalam legenda Pun Boncel, yang sangat dikenal. Legenda yang menceritakan seorang anak dusun yang karena telah menjadi seorang priayi, ia sampai tega melupakan dan mengingkari ibunya sendiri. Dalam traadisi budaya (kosmologi Sunda) Seorang Ibu merupakan simbolisasi dari nilai-nilai primordial (ingat Dewi Sri dan Sunan Ambu). Salah satu nilai primordial yang paling substansial, selain nilai-nilai Ilahi, nilai-nilai budaya yang diwariskan sejak nenek moyang bangsa tersebut. Bila sosok ibu merupakan simbolisasi dari sistem nilai primordial yang terkristalisasi dalam sistem nilai budaya, maka pada kasus legenda Pun Boncel, dapat dilihat sebagai gambaran seorang priyayi Sunda yang kental dengan didikan budaya Sunda
(sebagai seorang dusun) yang melupakan dan meninggalkan nilai budayanya sendiri hanya karena mendapatkan “kedudukan” sebagai seorang Dalem. Bila melihat simbol-simbol budaya dalam legenda Pun Boncel, maka dapat diperkirakan bahwa legenda Pun Boncel tersebut menceritakan kondisi masyarakat Sunda masa Sunda-Islam-Mataram, atau paling tidak masa awal penjajahan Belanda dan akhir masa kekuasaan Mataram. Legenda Pun Boncel, menceritakan secara radikal kebanggaan seorang manusia Sunda terhadap sistem nilai budaya dengeun (bangsa lain) dari pada budayanya sendiri. Legenda tersebut merupakan kritik dan evaluasi moralitas-sosial masyarakat Sunda yang mengalami budaya “pop”, budaya yang juga dialami opeh para priayi pada masa Ordebaru, budaya latah.
Disintegralisasi Sunda-Indonesia, Sebuah Dilema
Bila apa yang diteriakkan tokoh poros tengan dan Ketua MPR Amin Rais untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Federal, sebagai satu-satunya jalan keluar yang paling memungkinkan untuk menghindari disintegrasi bagsa, maka “diperkirakan” Sunda akan menjadi salah satu Negara Federal tersebut (Dalam hal ini, persoalan apakah Provinsi Jawa Barat dirubah menjadi Provinsi Pasundan, Negara Bagian [Federal] maupun Negara Pasundan [Merdeka] tidak menjadi persoalan karena bagai Masyarakat Sunda memiliki persoalan yang sama). Hal ini bisa terjadi selain Sunda merupakan sebuah Provinsi (Jawa Barat), Sunda pun memiliki latar historis yang berbeda (khas) dengan wilayah Jawa lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Kecuali bila masih ada asumsi bahwa Sunda atau Pasundan masih merupakan wilayah kekuasaan Mataram, paling tidak hingga masa kekuasaan Suharto yang gayanya sangat Mataramisme. Maka wilayah Sunda akan masuk pada wilayah Jawa yang lainnya.
Berandai-andai Sunda menjadi salah satu Negara Federal di bawah naungan Negara Indonesia atau Nusantara, maka tampaknya terdapat beberapa persoalan yang perlu di dibenahi dan dipersiapkan.
1. Penegasan Identitas dan Referensi Sistem Nilai Budaya.
Ini menjadi penting karena hal tersebut akan menjadi sandaran kepribadian bangsa Pasundan (atau apa pun namanya). Bila Aceh telah menggulirkan khas Acehnya, yang juga menjadi salah satu dasar tuntutan Aceh untuk menjadi wilayah otonom dan wilayah yang betul-betul istimewa (Daerah Istimewa) bahkan Aceh Merdeka, maka Sunda pun tentunya “harus” memiliki landasan tersebut. Persoalannya pada landskap budaya dan sistem nilai budaya mana Negara Pasundan akan dipinjakkan. Apakah landskap Kerajaan Sunda dengan Pajajaran sebagai modelnya. Ataukah Sunda-Islam dengan masa Sunan Gunung Jati dan Sultan Hasanuddin yang berupaya mengkompromikan sistem nilai budaya lokal dengan Islam (juga sebaliknya), sebagai ladnskapnya. Atau landskap Sunda-Islam-Mataram, yang feodalistik? Atau barangkali baru akan kita rumuskan kemudian: suatu sistem budaya dan sistem nilai budaya baru yang kompromi dengan kemodernan bahkan ala modern yang belum dan tidak jelas bentuknya itu. Yang, kemudian disebut sebagak Sunda kiwari (Sunda kontemporer).
Bila kita mengamati sistem nilai budaya yang kini hidup mengakar di kalangan masyarakat Sunda, khususnya kaum muda (nonoman Sunda kiwari), dapat dikatakan bahwa mereka hidup di bawah naungan sistem nilai budaya modern yang belum jadi. Dengan kata lain, masyarakat Sunda kiwari adalah masyarakat Sunda yang tidak “nyunda”, bukan pula Indonesia, dan modern pun belum jadi. Disebut tidak nyunda, karena terdapat sejumlah karakteristik ke-Sunda-an yang telah tercerabut dari dalam diri nonoman Sunda, tergilas oleh sistem nilai budaya Barat Modern. Disebut Indonesia juga bukan, karena mereka lebih cenderung menggunakan nilai-nilai budaya Barat modern, selain memang Indonesia (sebagai negara kesatuan) sampai sekarang belum memiliki sistem nilai budaya yang jelas.
Bila orang Sunda ditakar oleh sistem nilai budaya dan kepribadian Barat Modern, maka masyarakat Sunda kiwari termasuk salah satu bangsa yang sulit untuk menjadi Barat Modern. Pada sikap keterusterangan (terbuka) sebagai contoh. Walau pun ada yang berpendapat bahwa orang Sunda itu merupakan bangsa yang terus terang (terbuka), seperti tampak pada karakteristik masyarakat Badui (Kanekes) atau Mayarakat Sirnarasa Cisolok-Sukabumi (sebagai prototipe Sunda lama), namun tampaknya pengaruh budaya Mataram telah terlalu kuat tertanam dalam kepribadian masyarakat Sunda. Masyarakat yang terlalu banyak menggunakan ungkapan silib sampir-sindang siloka, malapah gedang. Selain itu, masyarakat Sunda bukanlah masyarakat yang bisa bersikap “radikal” (dalam terminologi etik bukan epistemologis) dan prontal. Masyarakat Sunda sering lebih memilih menahan diri, uwuh pakewuh, ketika berhadapan dengan sejumlah gejolak politik. Hal ini dimungkinkan tiga hal:
Pertama, trauma sejarah politik bangsa Sunda semenjak masa kolonialisme Mataram yang memposisikan bangsa Sunda sebagai abdi penguasa Mataram hingga masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Bahkan pada masa kemerdekaan pun wilayah Pasundan (Jawa Barat) lebih sebagai wilayah perluasan penguasaan ekonomi yang sangat sedikit bisa dinikmati oleh komunitas Sunda sendiri. Kasus kecil dapat ditemukan, yaitu tersingkirnya orang Betawi (Sunda Kelapa) menjadi masyarakat pinggiran dan menjadi warga “kelas dua”.
Kedua, suatu sikap dari sa;ah dimengertinya sikap dan kebijakan yang diambil Prabu Bunisora Suradipati (dengan karakteristik kematangan spiritualnya) oleh orang Sunda yang mengakibatkan dampak psikologis dalam mengahadapi trauma dari bencana besar perang Bubat. Suatu sikap yang secara tidak sadar menjadi kepribadian bangsa Sunda (masuk wilayah tidak sadar dalam benak masyarakat Sunda). Trauma-trauma tersebut telah membentuk kepribadian masyarakat Sunda bersikap sangat hati-hati. Sikap yang menimbulkan dua kemungkinan sikap politis yang diambil oleh masyarkat Sunda. Sikap “curiga” atau sikap apriori (dingin) dan melakukan “aksi diam” terhadap persolan-persolan politik. Hal ini tampak ketika gejolak politik nasional memuncak, wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang relatif paling “aman”. Sikap tenang masyarakat Sunda yang menjadi ciri masyarakat masyarakat Jawa Barat telah menjadikan elite politik pusat dan masyarakat Indonesia pada umumnya terheran-heran bahkan kaget ketika terjadi gejolak di Tasik. Persoalan yang dipicu oleh ketersinggungan harga diri seorang ustadz/santri ketika wilayah kekuasaan dan otoritasnya diganggu. Gejolak ini secara langsung atau pun tidak telah memberikan inspirasi bagi munculnya gejolak di wilayah lainnya secara terbuka. Barangkali orang berpikir, bila masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang dikenal penyabar bisa sedemikian tersinggung apalagi yang lainnya. Maka muncullah gejolak-gejolak di wilayah lainnya.
Ketiga, karena suatu kepribadian masyarakat, yaitu pribagi “Kabayanisme”. Suatu sikap dan pribadi “anu teu nanaon ku nanaon”. Pribadi yang teguh, seperti seekor ikan di lautan. Dalam tradisi spiritual (sufisme) kondisi ini dikenal sebagai kondisi puncak ketasawufan dalam sistem Martabat Tujuh, yaitu: Insan Kamil. Kondisi ini barangkali terlalu dianggap mengada-ada. Wallahu’alam.
2. Membangun Jembatan Silaturahmi antar Elite Masyarakat Sunda
Trauma dan perjalanan sejarah masyarakat Sunda, seperti dijelaskan di atas, telah melahirkan stratatifikasi sosial yang unik. Selain stratatifikasi sosial yang terlahir dari bingkai ekonomi (buruh dan majikan atau kaya dan miskin) yang hal ini sebenarnya tidak terlalu menonjol, dan strata sosial yang terlahir dari bingkai politik (rakyat dan penguasa) dan ini pun dalam masyarakt Sunda tidak terlalu menonjol karena sejak masa kemerdekaan jarang sekali orang Sunda yang berkuasa. Stratatifikasi sosial yang lebih menonjol sebenarnya muncul dalam bingkai budaya, yaitu terjadinya tiga strata sosial, yaitu strata santri, budayawan, dan skular atau ilmuwan.
Pada masa Sunda-Islam yang dipelopori oleh Sunan Gunung Jati, kelompok santri dan budayawan ini sama sekali tidak terpilah, karena seorang santri adalah juga seorang budayawan, demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam tataran politik pun bisa dilihat, bahwa seorang penguasa sekali pun ia adalah seorang santri sekaligus budayawan. Akan tetapi bila kita melihat pada masa modern, khususnya ketika terjadi gerakan modernisasi dan purifikasi dalam pemahaman keislaman. Masyarakat Sunda yang secara kultural bersifat egaliter, tentunya memiliki kecenderungan rasional dan individual, maka gerakan ini “relatif mendapat sambutan yang spesifik dari masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Sunda di perkotaan. Sementara itu gerakan modernisasi dan purifikasi dimana pun ia berada cenderung menolak nilai-nilai budaya lokal. Gerakan ini mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat Islam yang tidak merasa cocok dengan moderniasasi dan purifikasi yang radikal, dengan cara mempertahankan tradisi beragama lokal (Arabisme klasik). Pertentangan menjadi seru, hingga tokoh yang memiliki pandangan yang berusaha yang mempertemukan kedua pandangan ini pun dieliminir oleh kedua kelompk tersebut. Salah seorang tokoh yang berusaha untuk menggabungkan kedua kelompok ini adalah K.H. Hasan Mustapa. Tokoh yang pemikirannya masih jarang dibicarakan.
Pertentangan antara agamawan dan agamawan dengan budayawan tampaknya belum bisa terselesaikan secara tuntas. Belum lagi ketidakpedulian para elite politik Sunda yang masih mabuk oleh asesoris birokrasi feodalisme. Demikian pula dengan kelompok skular Sunda yang pada umunya masih risi dan pobi dengan budaya lokalnya dan masih belum akrab dengan agamanya sendiri.
Bila “gap” (baik disadari atau pun tidak) yang muncul dalam bentuk sikap saling tidak peduli dan kehilangan silaturahmi antara elite politik, elite budaya dan elite intelektual tidak pernah berusaha untuk dijembatani, maka sulit dibayangkan bentuk negara federal macam apa yang akan terbentuk. Masing-masing, pada akhirnya, akan mendahulukan kepentingannya masing-masing kelompok. Ketika itulah lahir masyarakat feodal yang lebih parah dari masa-masa sebelumnya. Ide
Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid, (pemikiran yang pernah diupayakan oleh K.H. Mustapa) barangkali bisa dijadikan jembatan, khususnya anatara elite agama dan budayawan. Ide yang dikenal dengan “pribumisasi Islam”. Upaya untuk mempertemukan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai budaya lokal. Suatu penafsiran terhadap Islam yang tidak mengabaikan karakteristik budaya lokal. Suatu cara pandang keagamaan yang dimiliki para Wali, khususnya Sunan Gunung Jati. Upaya yang dengan sendirinya diharapkan akan mampu menjembatani kedua elite dan lokal genius baik dalam bidang keagamaan maupun budaya.
* Disampaikan dalam Diskusi Politik Dwi-Minguan dengan topik: “Dilema Ki Sunda, antara Provinsi, Negara Bagian dan Negara Pasundan”, yang diadakan oleh Harian Umum SUARA PUBLIK, pada Hari Sabtu, 27 November 1999, di Hotel Bumi Asih Jaya – Bandung.
No comments:
Post a Comment