15.10.05

Menggagas Tembang Bandungan

Laporan utama Khazanah Pikiran Rakyat édisi Saptu, 8 Oktober 2005
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/08/khazanah/utama02.htm)


"Nilai-nilai tradisi harus berkelanjutan. Berkesenian adalah sebuah proses kreatif, di dalamnya terkandung 'kehendak' untuk terus dan terus mencari kedalaman hidup dengan penuh makna. Kreasi ini, merupakan wujud kreativitas mengusung nilai-nilai tradisi dalam ungkapan masa kini. Setidaknya sebagai upaya untuk merajut kembali benang tradisi --menata ulang ruang identitas...."


SAYA dibesarkan dalam lingkungan seni tradisi Sunda, khususnya seni tembang Sunda cianjuran. Selama menekuni dan teuteuleuman di leuwi tembang Sunda, saya benar-benar bisa menikmati keindahan dan kesempurnaan tembang Sunda cianjuran. Bagi saya, tembang Sunda cianjuran adalah sebuah puncak karya seni vokal Sunda masa lalu yang sangat mapan dan telah teruji oleh masa dan mampu bertahan menembus waktu. Usianya telah melampaui satu abad lebih sejak terbentuk pada awal abad XIX di Kabupaten Cianjur.

Tembang Sunda cianjuran telah menjadi kebanggaan bagi para pengikut dan pendukungnya, dan kadang menumbuhkan fanatisme yang sangat mendalam. Tumbuhnya fanatisme itu menjadikan tembang Sunda cianjuran menghadapi kondisi stagnan dalam kreativitas, dan seakan-akan tertutup rapat bagi pengayaan serta pengembangannya. Namun di sisi lain, sifat ketertutupan ini akan sangat baik bagi upaya melembagakan serta menjaga kemurnian dan kelestarian tembang Sunda cianjuran.

Berkaitan dengan upaya kreativitas dalam tembang Sunda cianjuran, masih banyak yang berpandangan bahwa mencipta bentuk-bentuk kreativitas semacam apa pun kemungkinannya tidak akan lebih baik daripada bentuk aslinya. Oleh karena itu, kreativitas yang selama ini terjadi dalam tembang Sunda cianjuran, hanya terbatas pada produktivitas menambah jumlah penciptaan lagu-lagu baru, yang materi lagunya terasa hampir mirip dan sama, serta tidak lepas dari patokan dan ciri wanda kecianjurannya. Hal seperti itu saya alami ketika mengubah beberapa lagu tembang Sunda cianjuran untuk jenis mamaos dan panambih-nya.

Kemandekan kreativitas dalam dunia tembang Sunda setelah lebih dari satu abad kelahirannya, benar-benar sangat menggelisahkan saya. Betapa tidak, di satu sisi memang kita masih melihat kehadiran komunitas penggemar seni tembang Sunda cianjuran, tetapi jumlahnya terus semakin mengecil. Sementara itu, konservativisme para pendukung dan pengikutnya ternyata tidak mampu mendongkrak minat masyarakat untuk meminati seni tembang Sunda, kalau tak hendak dikatakan ditinggalkan masyarakatnya.

Kegelisahan inilah yang mendorong saya untuk menggagas bentuk baru tembang dan kawih Sunda.

Melewati perjalanan waktu yang tidak sebentar dan penjelajahan saya dalam ruang musikalitas tembang Sunda, saya mencoba menggagas karya seni yang saya beri nama "Tembang Bandungan". Gagasan ini merupakan upaya untuk ngajembarkeun khazanah kesenian tradisi Sunda umumnya dan khususnya dalam khazanah tembang Sunda. Kelahirannya diharapkan akan dapat menjadi tonggak baru kreativitas dunia seni tembang Sunda dari Tatar Bandung, lemah sarakan, kota tempat saya dilahirkan dan sekaligus menjadi kota tempat kelahiran seni tembang bandungan yang saya gagas.

"Bandungan" dalam pengertian bahasa sunda adalah regepkeun, titenan (memperhatikan). Tembang bandungan dapat diartikan tembang yang menuntut perhatian, kadariaan atau keseriusan bagi siapa saja yang akan meminatinya.

Penamaan istilah bandungan pada tembang Bandungan-pun disebabkan adanya keterkaitan yang sangat erat dengan latar belakang kehidupan dan kondisi lingkungan Tatar Bandung sebagai kota pemberi inspirasi kepada penggagas. Dalam hal ini, saya ingin mengungkapkan, "Bandung sebagai kota monumental yang mewujudkan hasil karya tembang Bandungan --Bandung anu jadi indung beurang-na, Bandung anu marajian gelar-na."

Konsep estetika tembang bandungan berangkat dan bertitik tolak dari keunggulan "roh" (daya hidup) dan "tamperan rasa" yang menjadi esensi tembang Sunda cianjuran yang dipadukan dengan sifat "keterbukaan dan keluasan musikalitas" dari kawih Sunda. Keunggulan dari kedua genre musik Sunda ini sengaja dipadukan menjadi sebuah harmoni khas tembang bandungan. Sebagai bentuk seni pertunjukan musik (ensamble), tembang bandungan dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Antara lain, teknik vokal, komposisi musikal, rumpaka, dan fungsi waditra sebagai alat musik pengiringnya.

Pada dasarnya ciri umum tembang bandungan terdiri dari dua bentuk lagu atau wangunan yaitu wangunan lagu tembang yang saya beri nama mamaras atau dalam tembang cianjuran disebut mamaos. Wangunan lagu panganteb atau dalam tembang Sunda cianjuran biasa disebut panambih. Bentuk melodi lagu tidak menggunakan dominasi dongkari atau ornamen tembang cianjuran. Ornamen pada kontur melodinya sangat sederhana. Ornamen digunakan hanya untuk menajamkan sentuhan rasa (tamperan rasa tembang), tetapi tidak untuk menampakan ciri wandawanda-wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih seperti pada tembang Sunda cianjuran. tembang cianjuran. Oleh karena itu, tembang Bandungan tidak mengenal

Pada beberapa materi lagu tembang bandungan terdapat struktur dan bentuk melodi baru yang tidak biasa digunakan dalam tembang Sunda cianjuran (tampak pengaruh musikal di luar tembang Sunda cianjuran, antara lain nuansa seriosa, kawih, beluk, dan teknik vokal lainnya).

Penyajian repertoar lagunya sebagai berikut. Wangunan lagu mamaras disajikan berdiri sendiri tanpa lagu panganteb. Wangunan lagu panganteb disajikan berdiri sendiri tanpa diawali lagu mamaras. Gabungan wangunan lagu mamaras dan lagu panganteb (setiap lagu dalam wangunan mamaras telah ditentukan lagu untuk pangantebnya. Contohnya lagu "Parahyangan Kiwari" diteruskan dengan lagu "Hanjakal" sebagai panganteb-nya. Demikian pula pada lagu "Citangis Aceh", diteruskan pada lagu "Tawekal" sebagai panganteb-nya).

Dalam hal ini, lagu mamaras dan lagu panganteb punya kedudukan yang sama (merupakan satu kesatuan). Yang membedakannya hanya irama atau bentuk lagunya.

Penyajian komposisi pirigan dan waditranya seperti berikut. Di samping pola pirigan yang biasa digunakan dalam tembang Sunda cianjuran, saya ciptakan pola pirigan baru dan gelenyu-gelenyupirigan khas tembang bandungan. Waditra tembang bandungan terdiri dari kacapi indung, kacapi rincik, suling, biola, dan kacapi mayung (waditra baru yang sengaja saya ciptakan). khusus bandungan. Hal ini saya lakukan untuk menemukan kebaruan dan orisinalitas

Penyajian rumpaka pada tembang bandungan berbentuk sajak bebas (tidak berpola pupuh) yang telah dikhususkan untuk mengangkat tema-tema aktual, kehidupan spiritual, alam, serta fenomena sosial lainnya.

Pada tahap awal penciptaan, telah saya selesaikan 21 komposisi lagu tembang bandungan dalam laras sorog, pelog, dan salendro. Pada seri perdana ini, saya sajikan 12 lagu mamaraspanganteb berlaras sorog. Lagu-lagu lainnya berlaras pelog dan salendro akan tersaji pada seri tembang bandungan berikutnya.*** dan

Penulis, Penggagas tembang Bandungan.

No comments: