Ahmad Gibson Al-Bustomi
Lamum mener nu asalna
Tei pahili pancakaki
disebut nugraha tea
ku nu baroga pamilih
bubuhaning jasmani
embung ieu hayang itu
ari hak-hakna mah
nu pahili di salingsing
pieusieun panjara pasalingsingan.
Tei pahili pancakaki
disebut nugraha tea
ku nu baroga pamilih
bubuhaning jasmani
embung ieu hayang itu
ari hak-hakna mah
nu pahili di salingsing
pieusieun panjara pasalingsingan.
Sinom, K. H. Hasan Mustapa
Pembuatan atau pendirian Prasasti Batutulis pada tahun 1533 Masehi atau 1455 tahun Saka, oleh Raja kedua Kerajaan Pajajaran yaitu Maharaya Surawisesa (1521-1535) untuk mengenang jasa-jasa ayahnya, Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Raja ke-2 Kerajaan Pajajaran. Prtasasti Batutulis tersebut diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa Lingga Batu ditanamkan. Prasasti Batutulis dibuat setelah terjadinya perjanjian perdamaian dengan kesultanan Cirebon. Dengan demikian, paling tidak terdapat dua nilai budaya yang dimiliki Prasasti tersebut. Pertama, adanya tradisi untuk menghormati warisan leluhur dan untuk senantiasa menjadikan tapak lacak para pendahulu sebagai pegangan dan tauladan dalam kehidupan. Kedua, upaya-upaya persamaian dalam setiap perselisihan atau konflik dengan cara perdamaian lebih memiliki kemungkinan dan kesempatan untuk memperkokoh dan memperteguh suatu bangsa. Dengan perdamaian tersebut sejumlah kerajaan yang berada di bawah Kerajaan Pajajaran kembali bersatu setelah mengalami kegoncangan selama peperangan. Hal ini terbukti, bahwa kerajaan Pajajaran masih bertahan hingga Raja keenam, yaitu Ragamulya Suryakancana (1567-1579).
Prasasti tersebut bertuliskan, yang artinya:
"Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) dengan Gelar Sri Baduga Maharaja rau penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia nak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di guna tiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunun-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Telaga Rena Mahawijaya. Yang Dialah (yang membuat semua itu).
Dibuat dalah tahuan Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455 Saka)."
Sri Baduga Maha Raja yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, merupakan raja pertama Pajajaran yang menyatukan kembali Kerajaan Sunda Pakuan di Kraton Sri Bima di Pakuan (Bogor), dan Kerajaan Galuh di Kraton Surawisesa Kawali.
Terdapat banyak prasasti peninggalam Raja-Raja Sunda yang kesemuanya memiliki nilai budaya yang tidak ternilai. Namun demiakian nilai dari suatu peninggal sejarah sangat tergantung pada apresiasi bangsa dan masyarakatnya terhadapa peninggalan tersebut. Apa bila kita hanya mengapresiasi peninggalan-peninggalan tersebut sebagai benda mati, tumpukan batu dan hanya dipandang sebagai harta karun, maka hanya dalam hitungan jari, peninggalann itu akan lenyap dari permukaan bumi dan lenyap pula nilai budaya dan historis yang dikandungnya.
Dengan demikian, wajarlah bila penghormatan Surawises sebagai pewaris dan pelanjut kerajaan Sunda Pajajaran untuk menghormati Raja sebelumnya, ayahnya. Karena dialah yang menyatukan kembali keutuhan Kerajaan Sunda. Di sisi lain, pendirian Prasasti Batutulis merupakan ungkapan penyesalan dari Raja Surawisesa karena tidak memapu menjaga keutuhan Kerajaan Sunda, seperti yang diamanatkannya yang juga tertulis dalam berbagai prasasti.
Dalam perspektif antropologis, semangat kebangsaan walau bagaimana pun, berakar pada adanya kesadaran historis. Kesadaran yang berakar pula dari kecintaan dan konsern masyarakat suatu bangsa terhadap peninggalan para pendahulunya. Bila kesadaran historis tersebut telah hilang dari benak anak bangsanya maka bukan mustahil apa bila kecintaan kapada bangsa atau yang dikenal dengan nasionalisme akan pula hilang dengan sendirinya. Seperti hilangnya nasionalisme dan cinta bangsa dan produk bangsa dari generasi muda bangsa Indonesia, karena simpang siurnya catatan sejarah perjuangan bangsa ini, yang disebabkan oleh keserakahan penguasa selanjutnya.
Dengan alasan pembangunan dan dengan alasan-alasan keraguan atas peninggalan sejarah yang hanya dianggap sebagai cerita mitologis , sebagai contoh, situs peninggalan sejarah masa lalu diratakan dengan tanah. Dan, dengan alasan untuk membayar hutang negara, Prasasti peninggalan etnik lain dibongkar dengan tanpa rasa hormat sedikitpun, paling tidak rasa hormat pada etnik pewaris situs tersebut.
Sudah terlalu banyak sesungguhnya situs-situ di Jawa Barat ini yang dibongkar dengan semena-mena, sebagai ekses dari pembangunan ekonomi yang tidak mengindahkan pertimbangan ekologi budaya. Alih-alih dilindungi dan dijaga, malah diratakan dengan tanah karena merasa bahwa situs tersbut, kalau pun benar, tidak memiliki nilai ekonomis yang signifikan untuk pembangunan. Padahal, kejayaan bangsa ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari sejarah bangsabangsa sebelumnya. Hal yang juga diamanatkan dalam salah satu situs Prasasti Kerajaan Sunda yang tertulis pada Kropak 632 Kabuyutan Ciburuy di Lereng Gunung Cikuray (di tulis abad ke-13/14).
"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tak hana watang, hana ma tunggulnya aya tu catangnya.”
Ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu tak akan ada sekarang, ada masa silam ada masa kini, tidak ada masa silam tak akan ada masa kini, Ada tonggak ada batang, tak ada tonggak tidak akan ada batang, bila ada tunggu tentu ada catangnya.
Masyarakat Sunda, Jawa Barat, pada akhirnya hanya bisa berpangku tangan dan hanya bisa berteiak setelah peninggalan pendahulunya dibongkar atau diratakan dengan tanah. Dan setelah itu hanya mendapatkan “permohonan maaf”, karena “takut” dicopot dari jabatannya. Tampaknya memang hal tersebut harus ditema dengan lapang dada, akan tetapi yang harus dipikirkan adalah upaya-upaya yang realistis untuk melindungi dan melakukan studi secara intensip terhadap peninggalan budaya pendahulu masyarakat Sunda, Jawa Barat.
Kesulitan untuk melindungi cagar budaya dan situs-situs sejarah di Indonesia, adalah karena pada umumnya pusat-pusat kerajaan masa lalu kini menjadi ibu kota, seperti Bogor. Sehingga, karena alasan kepentingan pembangunan dan alasan utamanya yaitu keserakahan, perlindungan terhadap warisan sejarah tersebut terabaikan. Apalagi, posisi kota bogor sebagai penyangga Ibu Kota Negara, seperti halnya Banten. Terdapat satu wilayah yang masih belum terjangkau oleh pembangunan yang membabi buta tersebwut, yaitu wilayah Galuh dan Kawali, Ciamis. Namun wilayah tersebut aman bukan karena di jaga, tapi karena belum kelihatan potensi-potensi ekonomis yang menarik untuk digarap.
Kota-kota yang dibangun di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, masih dalam kategori kota yang dibangun di atas pertimbangan ekonomi dan politik. Belum ada kota yang dibangun sebagai kota cagar budaya. Diantara kota yang semestinya mendapat prioritas sebagai kota cagar budaya adalah Banten, Bogor, Ciamis, Banjar dan Cirebon. Dengan demikian penilain terhadap kota-kota
tersebut tidak hanya berdasarkan penilaian ekonomis akan tetgapi juga berdasarkan penilaian-penilaian historis. Jangan samapai bangsa ini menjadi bangsa bermental Malin Kundang atau Pun Boncel, yang melupakan tapak-tapak sejarah primordialnya hanya demi kesenangan sesaat.
No comments:
Post a Comment