SEMANGAT retrospektif dari masyarakat Sunda terhadap kesundaannya terkesan marak belakangan ini. Antara lain dipicu oleh kenyataan kurang depannya penampilan urang Sunda dalam kompetisi kepemimpinan nasional. Urang Sunda kurang diperhitungkan dalam proses penyusunan kepemimpinan pada tingkat nasional. Urang Sunda menyadari posisinya yang (semakin) terpinggirkan. Kesadaran itu, yang kemudian diikuti oleh semangat retrospektif, tentu saja positif. Positif, apabila retrospeksi itu dilakukan secara jujur dan iklas dalam mengevaluasi kelemahan-kelemahan budaya yang menjadi penghambat kemajuan urang Sunda itu, untuk kemudian memperbaikinya.
Misalnya dalam hubungannya dengan nilai-nilai tradisi. Hubungan itu selalu bersifat sangat emosional. Seolah tak ada referensi lain selain emosi. Sehingga pemaknaan terhadap nilai-nilai tradisi menjadi bersifat tertutup serta sempit ruang gerak penafsirannya. Nilai-nilai tradisi, tanpa kecuali selalu ditempatkan secara "agung" dan "sakral". Maka nilai-nilai tradisi hanya menjadi sekadar teks yang tak punya konteks apapun dengan zaman dan kehidupan yang berkembang tanpa henti. Bukan mustahil, jika apa yang selama ini diagung-agungkan sebagai "nilai-nilai luhur tradisi" justru tidak cocok untuk diterapkan di zaman ini, melainkan hanya cocok diterapkan pada zamannya. Bukan hanya tidak cocok, bahkan mungkin justru nalikung, membelenggu diri sendiri, sehingga tak mampu bergerak, apalagi melangkah maju.
Agar tidak semata-mata bersifat emosional, hubungan dengan nilai-nilai tradisi itu sepatutnya diperbaharui. Perlu dilakukan langkah-langkah bertahap agar hubungan orang Sunda dengan nilai-nilai tradisinya menjadi lebih wajar, sehat, dan kreatif. Langkah-langkah itu ialah (1) inventarisasi, (2) redefinisi, dan (3) revitalisasi.
Inventarisasi
Selain yang nyata (konkret), tentu ada "nilai-nilai tradisi" yang maya (abstrak). Seringkali kita memosisikan paribasa dan babasan, petatah-petitih, bahkan juga rumpaka tembang dan lagu buhun, sebagai sumber dari nilai-nilai tradisi. Untuk membedakannya dengan jenis yang lain, "nilai tradisi" yang jelas sumber tertulisnya dalam konteks tulisan ini disebut sebagai nilai tradisi yang nyata. Sedangkan yang tidak bersumber dari teks tertulis, melainkan dari kajian terhadap pola-sikap, pola-pikir dan pola-tindak orang Sunda (lama), yang menjadi kearifan lokal, disebut nilai tradisi abstrak. Untuk menjadikannya nyata, nilai-tradisi itu perlu dideskripsikan, sehingga menjadi teks tertulis.
Oleh sikap emosional kita dalam menghubungkan diri dengan nilai-nilai tradisi, kita selalu patuh pada petuah generasi pendahulu kita bahwa "nilai-nilai tradisi" Sunda itu "agung" dan "luhur". Kepatuhan kita pada pertuah itu menyebabkan kita tidak lagi kritis. Tentu merupakan pikiran kritis dan realistis jika kita berpendapat bahwa apa yang diposisikan sebagai "nilai tradisi" itu ada yang luhur ada pula yang sebaliknya. Merupakan kewajiban kita yang hidup di zaman ini, untuk menginventarisasikannya secara cermat.
Inventarisasi yang dilakukan itu merupakan langkah awal untuk memasuki tahap berikutnya, yaitu memilah-milah mana yang "luhur", mana yang "setengah luhur", bahkan mana yang sama sekali "tidak luhur". Nilai-nilai kehidupan yang dikembangkan pada suatu kurun waktu tertentu, pastilah dipengaruhi oleh semangat zamannya. Nilai-nilai itu belum tentu cocok untuk diterapkan pada zaman yang lain. Bahkan bukan mustahil justru menghambat gerakmaju.
Untuk melakukan pemilahan itulah pentingnya inventarisasi. Dengan begitu kita akan dapat memberikan "catatan kaki" dalam mewariskan nilai-nilai tradisi itu kepada generasi berikut. Kita akan dapat mengatakan, "nilai tradisi" inilah yang perlu dipelihara karena merupakan pendorong kemajuan. Sedangkan "nilai tradisi" yang lain tak perlu lagi dipelihara dan dianggap "luhur", karena apabila diterapkan justru akan mempercepat proses pembodohan, atau peminggiran, orang Sunda.
Dalam kerangka pewarisan, tentu lebih bermanfaat bagi generasi mendatang jika hanya nilai-nilai yang benar-benar luhur yang diwariskan. Yang sama sekali tidak luhur yang menghambat kemajuan, sebaiknya tak diwariskan.
Dengan melakukan inventarisasi, yang kemudian diikuti dengan langkah pemilahan, tak akan ada lagi pihak-pihak yang menjadikan "keluhuran nilai-nilai tradisi" itu sebagai upaya akal-akalan untuk mempertahankan suatu kepentingan tertentu. Misalnya, "kewajiban" anak muda untuk memosisikan orang-tua pada kedudukan yang lebih atas, adalah "nilai tradisi" yang bisa saja merupakan akal-akalan orang tua untuk melanggengkan kekuasaannya. Jika dugaan itu benar, bisa dipahami mengapa posisi generasi muda Sunda acapkali "kurang depan".
Redefinisi
Begitu lama orang Sunda terbelenggu oleh kaidah yang ditanamkan para tetua, yang menyatakan bahwa "nilai tradisi" selalu "adiluhung", senantiasa "luhur". Tentu tak mudah untuk mengajak berpikir kritis bahwa di antara yang "luhur" itu tentu ada yang "setengah luhur", bahkan sama sekali "tidak luhur". Dengan begitu tentu tak mudah menghapus yang "setengah luhur" dan "tidak luhur" itu dari khazanah nilai-nilai tradisi.
Jika kita bersikukuh dalam sikap seperti itu, maka langkah kompromis yang bisa kita lakukan adalah membuat "definisi baru" atau tafsir ulang terhadap nilai tradisi yang "setengah luhur" dan "tidak luhur" itu sehingga menjadi "luhur". Langkah itu kita tempuh jika kita hanya butuh bunyi teksnya, sedangkan maknanya yang lama tidak kita perlukan lagi. Misalnya terhadap "nilai" bengkung ngariung bongkok ngaronyok. Betapa bagusnya bunyi teks itu. Betapa murwakanti-nya. Padahal secara makna tak menguntungkan sama sekali bagi upaya untuk membuat orang Sunda tidak kurung batok.
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok, mungkin sangat bernilai pada zamannya. Tentu ada alasan-alasan tertentu mengapa sikap hidup orang Sunda pada waktu itu harus begitu. Jika kita merasa sayang membuang bunyinya yang "bagus" itu, sehingga akan tetap memakainya sebagai sebuah "nilai", maka kita perlu membuat tafsir ulang terlebih dahulu sebelum mewariskannya kepada generasi mendatang.
Melakukan tafsir ulang adalah upaya untuk membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman kini. Zaman yang bersemangat global. Zaman yang tidak harus membuat pikiran membabi-buta bertahan dalam semangat kelokalan. Kita dituntut oleh zaman untuk menjadi Sunda-global, bukan cuma sekadar menjadi Sunda-lokal. Sunda yang berpikiran maju, bukan cuma sekadar Sunda yang berkutat dengan "nilai-nilai tradisi", tanpa terdorong untuk menatap "nilai-nilai masa depan".
Nilai-nilai tradisi adalah landasan berpijak untuk meraih nilai-nilai masa-depan. Kita tak boleh hanya terpaku pada orientasi ke masa lalu di saat kita dituntut untuk mempersiapkan diri menghadapi masa-depan. Kita mengenal sebuah nilai yang secara teks berbunyi, ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala sajeungkal. Sebuah pesan yang bermakna "tataplah masa depan dengan pandangan jauh, dan tengoklah masa lalu dengan pandangan yang dekat saja".
Jika selama ini kita selalu dipaksa oleh pikiran sempit kita untuk memosisikan nilai tradisi itu "adiluhung" secara umum, maka anggaplah hal itu sebagai sebuah kecelakaan sejarah. Lebih bodoh dari keledailah kita jika kecelakaan itu menimpa kita lagi di masa kini dan nanti.
Revitalisasi
Apalah artinya "nilai tradisi" (baik yang "asli" maupun hasil redefinisi) yang adiluhung itu, jika kita biarkan hanya sebagai teks semata, jika tak mengandung arti apa-apa bagi kehidupan hari ini dan masa-depan. Nilai tradisi tak akan berarti apa-apa, bila kita memosisikannya sedemikian rupa "sakral"-nya, sehingga sama sekali tidak boleh didekati dengan pikiran realistis.
Kita butuh kesadaran tinggi untuk membuat nilai tradisi itu bersifat implementatif. Nilai tradisi harus mampu menjadi (salah satu) acuan urang Sunda dalam menempuh kehidupannya. Juga dapat berfungsi sebagai acuan dalam menentukan kriteria kepemimpinan orang Sunda. Karena ketidakjelasan kriteria, seringkali menjadi bahan perdebatan, apakah munculnya seseorang dalam pergulatan kepemimpinan (nasional) layak disebut mewakili Ki Sunda atau tidak. Apakah dukungan orang Sunda kepadanya benar-benar "dengan hati" ataukah cuma sekadar "daripada tidak terwakili sama sekali".
Ada kecenderungan, kita tidak mengacu secara utuh kepada nilai tradisi itu, melainkan hanya secara parsial. Yang kita pilih pun hanya yang paling menguntungkan bagi suatu kepentingan tertentu. Mungkin tidak salah, tapi hasil akhir yang kita raih menjadi kurang mampu memuaskan banyak pihak.
Agar nilai tradisi itu dapat digunakan (applied), sehingga bermanfaat bagi kepentingan kehidupan, tentu diperlukan upaya revitalisasi. Upaya penyemangatan ulang itu perlu dilakukan agar nilai tradisi tidak hanya sekadar menjadi jampe pamake. Kita bangga karena kita mampu menghafalkan "nilai tradisi" itu di luar kepala, tetapi tanpa kemampuan untuk memanfaatkannya dalam kehidupan nyata.***
No comments:
Post a Comment