(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/08/khazanah/utama01.htm)
SUATU hari di bulan Januari 2005, saya menerima telefon dari Ubun R. Sah. Ia meminta saya agar secepatnya membuat rumpaka (lirik) tembang yang mengungkapkan peristiwa gempa dan tsunami yang menimpa masyarakat Aceh bulan Desember 2004. Saya agak bingung, kenapa Ubun mau mengabadikan tragedi memilukan tersebut. Sebelumnya, kalau menciptakan tembang, pastilah hanya seputar ruang lingkup kesundaan. Apa mungkin tema di luar kesundaan bisa diterima?
Tapi ada satu hal yang menjadi catatan saya, jika seorang pencipta lagu tergugah oleh sesuatu peristiwa dan ingin mengabadikannya dalam bentuk tembang, pastilah dorongan itu muncul dari kedalaman rasa. Maka dalam waktu dua hari, saya menyelesaikan rumpaka itu, dan seperti biasa hanya dilakukan beberapa penyesuaian untuk bunyi kata agar terasa musikal dan serasi kalau ditembangkan. Judulnya juga berubah-ubah, mulai dari "Cimata keur Aceh", kemudian "Dareuda Aceh", "Tragedi Serambi Mekah", hingga akhirnya disepakati judulnya "Citangis Aceh". Judul terakhir ini dianggap serasi dan terdengar indah.
Kemudian ketika terjadi peristiwa longsornya gunungan sampah di Leuwigajah, disusul dengan peristiwa longsor di Lembang, Citatah, juga banjir di Baleendah, dan daerah Jabar lainnya, Ubun langsung menelefon saya. Kembali ia minta dibuatkan rumpaka untuk "mengabadikan" peristiwa memilukan itu. Saya menulis rumpaka hanya dalam satu jam, ditulis di kantor. Anehnya, baik Ubun sebagai pencipta lagu, juga Neneng Dinar dan Ujang S. Pria sebagai penembang, menganggap rumpaka-nya sudah "ngalagu". Jadinya, rumpaka itu termasuk diserap Ubun dengan sama cepatnya.
Saya sengaja mengungkapkan dua pengalaman menulis rumpaka tembang yang "dipesan" Ubun, sebagai gambaran bahwa lahirnya sebuah karya, pada mulanya memang harus berangkat dari adanya rangsangan untuk mencipta atau munculnya dorongan "magis" untuk mencipta. Saya katakan dorongan "magis" sebab tembang yang lahir dari dorongan seperti itu kemungkinan akan melahirkan karya dengan kedalaman rasa.
Mengenai kedalaman rasa, pada hakikatnya tergantung dari "nilai" seni yang digelutinya selama ini. Seorang pencipta lagu dangdut akan melahirkan lagu yang atraktif, walaupun ada upaya menciptakan lirik yang "berisi". Sama halnya dengan lagu pop. Terlebih lagi, apabila orientasi lahirnya karya cipta itu karena dorongan materi, sehingga kadar lagu ciptaannya erat dengan kepentingan komersial. Pada Ubun, saya justru tidak menangkap kesan itu. Bertahun-tahun saya bekerja sama dengan Ubun, menulis rumpaka tembang untuk karya ciptanya, sama sekali tidak berada dalam pola mencipta lagu untuk kepentingan komersial.
Ubun seakan tetap bersikukuh dengan seni yang dilakoninya selama ini, tembang Sunda (cianjuran). Hingga ia sampai pada satu "kejenuhan", sebab tembang Sunda dianggap Ubun sebagai "karya puncak", tak bisa diganggu-gugat lagi. Sementara Ubun sendiri ingin menciptakan sesuatu yang "bukan tembang Sunda", tapi "rohnya" atau "tamperan rasanya" tembang Sunda dan kawih.
Bertahun-tahun, Ubun mengalami kebimbangan dalam melahirkan kreasinya, meskipun satu demi satu hasil karya tembangnya disimpan baik-baik. Nama bandungan sesungguhnya sudah melekat begitu lama, tapi seperti ada kendala dalam menghadirkannya. Tahun 1998, saya menulis rumpaka lagu "Citraresmi" di Dasentra, tempat tinggal Ubun. Setelah dibuat lagu, sempat dicoba dialunkan Neneng Dinar, disaksikan oleh H. Arifin Yoesoef. Setelah Arifin meninggal dunia, lagu tersebut seakan terlupakan begitu saja.
Tahun 2004, keinginan Ubun untuk melahirkan bandungan bangkit lagi. Ia memperlihatkan rumpaka yang dibuat oleh Zahir Zachri seorang pakar pertanian, yang juga sering bekerja sama dengan Ubun. Bahkan kemudian, Ubun juga memperlihatkan rumpaka yang dibuat oleh Ganjar Kurnia (Atase Kebudayaan Indonesia di Prancis). Ia seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri sewaktu bilang kepada saya, "Sekarang mah rumpaka-nya sudah kumplit! Kita jadikan aja Bandungan itu ya?"
Selama ini, saya selalu mendukung apa pun kreasi Ubun, mulai dari "membuat" waditra, mengadakan dialog dan seminar, pementasan, atau kegiatan lainnya, sebab pada dasarnya Ubun adalah seorang seniman yang "gelisah", selalu ingin berkarya dan berkarya.
Bulan Juni 2004, bersama rekan-rekannya dari Korps Alumni Daya Mahasiwa Sunda (Kadamas), antara lain Ir. Taufik Rachman dan almarhum Ir. Yaya Soelaeman, saya dan Ubun mendapat kepercayaan untuk menggarap pergelaran "Sunda Pusaka Bangsa", acara pergelaran kesenian yang bertema "Dari Jawa Barat Untuk Indonesia". Pergelarannya berlangsung bulan Agustus 2004. Saya meminta Ubun untuk menggarap kembali tembang "Citraresmi" untuk ditampilkan dalam pergelaran "Sunda Pusaka Bangsa". Ubun setuju. Ia menemukan kembali naskah asli tembang tersebut dan meminta dilakukan tambahan.
Saya kira Ubun tidak pernah membayangkan, kalau kemudian tembang "Citraresmi" itu menjadi "pemicu semangatnya" untuk melanjutkan keinginannya mewujudkan tembang bandungan. Sungguh surprise, sebab tembang "Citraresmi" iramanya berbeda dengan yang pernah diperdengarkan di hadapan Kang Arifin. Karya cipta Ubun itu justru menjelma jadi sebuah tembang yang menggabungkan kekuatan vokal "seriosa" dengan kekuatan vokal "tembang Sunda", suatu harmonisasi yang belum saya dengar sebelumnya, dan saya yakin, tidak semua penembang bisa mengalunkannya dengan baik. Dalam hal ini, saya harus mengatakan bahwa Neneng Dinar sebagai penembang memiliki "kekuatan" atau "kelebihan" yang tak dimiliki penembang Sunda lainnya. Ketika tembang tersebut divisualisasikan oleh Indrawati Lukman dalam bentuk drama tari, saya anggap telah menambah satu kekayaan baru dalam bentuk pergelaran "opera".
Mungkin karena tembang "Citraresmi" yang judulnya diubah jadi "Citraresmi Putri Sunda" paling lama mengendap, paling sering digulang-gaper sehingga terasa totalitas inovatifnya. Atau seperti apa yang dikemukakan oleh Kang Zahir dalam tulisannya tentang "Bandungan"; dari semua lagu "Bandungan" yang paling berhasil adalah "Citraresmi Putri Sunda".
Setia pada tradisi
Pada hakikatnya, saya menganggap Ubun itu seorang seniman Sunda yang sangat mencintai tembang Sunda, kesetiaannya pada seni tradisi yang menurut budayawan Muh. Rustandi Kartakusumah sebagai "karya adiluhung" itu, tak diragukan lagi. Betapa pun Ubun akhirnya berhasil mewujudkan tembang bandungan, dan mungkin saja akan menimbulkan pro dan kontra apabila sudut pandangnya adalah tembang Sunda, tapi saya tetap merasakan bahwa "tamperan rasanya" adalah musik adiluhung tersebut. Atau menurut istilah Ubun, ia hanya mengambil "rohnya".
Saya yang sangat terlibat dalam penggarapan tembang bandungan, termasuk menyaksikan proses penciptaan, pengenalannya pada penembang dan pamirig (dengan arahan Gun Gunawi), menilai Ubun sebagai seniman yang total dalam menciptakan sebuah lagu. Ia begitu sabar mengajari penembang agar bisa menghayati dan membawakan tembang ciptaannya dengan prima (sebab Ubun ingin segala sesuatunya itu ideal). Bagaimana ia setahap demi setahap "mengarahkan" Neneng Dinar dan Ujang, atau berdiskusi dengan Gun Gun dan para pamirig untuk harmonisasi pirigan-nya.
Sewaktu rekaman di "Jugala", yang selalu disaksikan oleh sahabatnya, Gugum Gumbira (pemilik Jugala), Ubun juga sangat sabar dalam mengarahkan penembang dan pamirig. Bahkan ketika pamirig atau penembang meminta untuk direkam ulang karena merasa belum puas, Ubun memenuhinya. Ia tidak peduli, biaya sewa studio rekaman akan lebih membengkak, yang penting hasilnya benar-benar memuaskan semua unsur pendukung. Ubun memang seorang pencipta lagu yang sangat peka terhadap "kekurangan", walaupun kekurangan itu hanya sedikit.
Saya rasa Ubun sudah melakukan langkah yang benar dan bertanggung jawab ketika karyanya itu dikaji oleh para pakar dalam bidangnya, seperti Deni Hermawan (etnomusikolog, peneliti), Heri Herdini (pakar pamirig, penyusun metode kacapi tembang cianjuran), Dian Hendrayana (sastrawan/pengamat tembang Sunda), Ismet Ruhimat (seniman karawitan/pimpinan "Samba Sunda"), Andrew N. Waintraub (University of Pittsburg), dan "penikmat" yang kaya dengan pengalaman Zahir Zachri. Dan hasil kajian itu diterbitkan sebagai buku.
Sebagai orang awam, saya ingin mengemukakan kesan saya tentang tembang bandungan. Saya sering mendengarkan tembang Sunda, juga musik karya Mang Koko, karya R.T.A. Sunarya, karya Djuhari, karya Sambas, karya R. Machjar, karya Benny Corda, karya Iyar Wiyarsih, dan yang lainnya, yang lagu-lagunya "melegenda". Saya menemukan keselarasan suara, pirigan musik yang menghadirkan keindahan di telinga. Lebih dari itu, kalau ukuran musik yang tinggi nilai seninya itu adalah kedalaman rasa, saya juga merasakan kedalaman rasa itu pada tembang bandungan. Saya tidak ingin membanding-bandingkan tembang bandungan dengan tembang Sunda atau tembang-tembang lainnya, atau saya juga tak ingin mengutak-atik otoritas Ubun kenapa memilih nama bandungan, sebab yang paling penting, saya merasakan tembang bandungan sebagai sebuah karya dari seorang seniman Sunda yang begitu setia pada musik tembang Sunda. Saya sudah membaca semua tulisan tentang tembang bandungan dari para pakar yang tersaji dalam buku tembang bandungan, dan sebagai orang awam saya menyatakan "setuju". Artinya, walaupun saya tidak melakukan penilaian secara ilmiah, ternyata memiliki kesamaan rasa, kesamaan rasa yang berpangkal pada kejujuran dalam menilai karya "orang lain". Kata orang bijak, kalau ingin menilai sesuatu karya yang berkualitas, kosongan pikiran dengan prasangka, hayati dengan kajembaran batin, maka akan kita temukan "sesuatu yang bermuara pada kedalaman rasa". Perjalanan Ubun menuju bandungan, bukan perjalanan sajorelat. Ia telah menempuh hambatan berliku yang memperkaya pangan batinnya, yang (tanpa terasa) telah memperkaya wawasan spritualnya. Dan itu benar-benar terekspresikan melalui tembang bandungan. Tembang yang mendekatkan diri kita pada rasa-rumasa. Sesuatu yang hanya dinikmati dengan kebeningan hati.***
Penulis, Budayawan Sunda.
No comments:
Post a Comment