15.10.05

"Babad Sancang", Kenang Jejak Siliwangi

Serat salira wengi tadi tos katampi
kantenan jungjunan, kantenan mungguh ewuhna
disangki serat katresna sabudeureun cinta urang
geuningan lepat dugaan mundut mundur pipisahan

Serat salira dina jajaran kalimat
mungkana dewasa mun kedah midua ati
teu sapuk sareng aturan sok sieun teu kabadanan
cangcaya moal laksana
mendak bagja sasarengan


KEDUA kelopak matanya sesekali terkatup. Tubuhnya yang sudah agak bungkuk semakin merunduk, bahkan nyaris mengenai tumit kakinya yang dilipat saat menjangkau nada tinggi.

Suaranya semakin parau serta gemetar manakala nada tinggi dijangkau. Namun sangat berbeda manakala suara lembut keluar dari celah bibir yang sudah berkeriput.

Alunan suara Ema Dedeh--yang lebih senang disapa Ema Edeh yang kini usianya sudah menginjak 54 tahun--seakan tidak ingin kalah dengan suara debur ombak pantai selatan yang bersahut-sahutan manakala malam semakin merayap ke pengujung hari. Pun demikian dengan suara binatang malam penghuni Hutan Sancang yang semakin malam semakin meramaikan suasana.

Ditingkahi permainan kacapi indung Eben Sarbeni (74) dan juru biola Aki Idji (76), semakin menghadirkan suasana magis "Upacara Ritual Budaya Babad Sancang". Acara yang digelar dengan mengambil lokasi di Nusa (pulau kecil) Cijeruk Indah, Rabu (4/5) hingga Kamis (5/5) dini hari diprakarsai warga nelayan Kampung Yayasan, Desa Sagara, Kec. Cibalong, Kab. Garut, dengan didukung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Kawih di atas bertajuk "Serat Salira" dilantunkan Ema Edeh berulang-ulang mengikuti permainan kecapi dan gesekan biola. Tembang yang pernah dilantunkan juru kawih terkenal Idjah Hadidjah itu seakan menjadi puncak dan menutup semua rangkaian acara yang hanya berlangsung sekira lima jam, mulai pukul 21.00 WIB dan baru berakhir menjelang pukul 2.00 WIB dini hari.

Dibuka dengan larik pantun oleh Ki Eben Sarbeni, juru pantun sekaligus pemain kecapi. Ungkapan-ungkapan siloka Sunda karuhun mengingatkan manusia akan kebesaran Allah yang telah menciptakan bumi beserta isinya. Semua kenikmatan yang harus ditafakuri dan disyukuri.

Tanpa dipenggal jeda, Ema Edeh sebagai juru kawih menyambungnya dengan "Kidung Pambuka" diteruskan "Kidung Siliwangi". Kidung yang berisikan untaian kata-kata dalam bahasa Sunda, mengingatkan kebesaran jasa-jasa para leluhur Sancang.

Lepas dari dua kidung yang disuarakan juru kawih Ema Edeh, Ki Eben Sarbeni meneruskannya dengan rajah "Babad Sancang". Inilah inti dari "Upacara Ritual Budaya Babad Sancang", yang menceritakan asal muasal Nagari Sancang sebagai tempat pelarian untuk mencari ketenangan dan ketentraman jiwa seseorang yang tengah dilanda permasalahan.

Pada awalnya, Upacara Ritual Budaya Babad Sancang, hanya diikuti tidak lebih dari 30 orang. Denting kecapi yang semakin meninggi dan penuh variasi seakan mengundang warga untuk berdatangan dari pelosok. Malam semakin larut dan angin laut selatan semakin kencang berembus menyingkirkan awan yang menutupi bulan pada malam itu hanya membentuk sabit. (Retno HY/ "PR")***

(Artikel Pikiran Rakyat édisi 6 Méi 2005)

2 comments:

rastika said...

Saya sedang melakukan perjalanan spritual nusantara, dari bali menuju sunda. didalam perjalanan kami ada yang memberi buku Kumpulan seminar trah pajajaran yang saya baru baca beberapa artikel.
untuk lebih jelasnya bisa disimak di www.rasmisancaya.blogspot.com / seminar trah pajajaran.

nanti saya akan baca lagi setelah perjalanan selanjutnya.

rahayu

rizki ahmad F said...

assalam..
kalo misalkan saya pengen baca babad sancang gimana?bisa dicari dimana babadnya?terima kasih.