28.1.16

Antara Mitos, Mistis, & Nilai Filosofis

ti Koran Sindo 27 Januari 2016

Sampurasun..... Amit ampun nya paralun, ka gusti nu maha suci.... neda pangjiad pangraksa abdi keumpeul Seuweu Siwi... Seja ngaguar laratan...titis waris Padjajaran ngembatkeun jalan laratan katampian geusan mandi ka Leuwi Sipatahunan, Leuwi nu ngaruncang diri diri manusa kiwari rek muru lulurung tujuh ngahiap ka Padjajaran bongan hayang pulang anting Padungdengan padungdengan jeung usikna pangacian ahung...ahung....ahung.... Sampurasun karumuhun ka Hyang Prabu Siliwangi... nu murba di Padjajaran..pangaoban seuweu siwi nu gelar di Tatar Sunda muga nyebarkeun wawangi... ahung....ahung....ahung.... (Rajah Siliwangi)

Perdebatan atas temuan situs megalitik Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, belumlah tuntas. Para peneliti masih belum memiliki kesimpulan akhir, sehingga stempel misteri masih melekat pada peninggalan prasejarah tersebut.

Soal kapan situs dibangun? Oleh siapa dibuat? Apa fungsinya dimasa lampau? Dan segudang pertanyaan lainnya yang belum bisa terjawab. Terlepas dari polemik yang, terdapat perasaan reueus (bangga) terhadap mahakarya para leluhur tanah Pasundan (Cianjur). Bagaimana tidak, kecerdasan karuhun(leluhur) pada waktu itu begitu tinggi. Dibuktikan dengan membangun punden berundak yang konon kabarnya terbesar di Asia Tenggara.

Perlu kajian matang agar konstruksi bangunan tidak luntur oleh waktu tak lekang ditelan zaman. Selain nilai filosofis yang hendak disampaikan karuhun melalui siloka(simbol) yang melekat pada bangunan itu. Diawali perbincangan dengan sang juru pelihara Gunung Padang, Nanang, 41, mencoba menguak nilai-nilai filosofis yang tersimpan dalam Gunung Padang tersebut.

Nanang menjadi juru pelihara Gunung Padang secara turuntemurun. Garis pewarisannya sendiri tidak vertikal langsung dari kakek ke ayah ke cucu, tapi ada pewarisan yang menyamping. Dimulai dari Ayah Onon tahun 1763, dilanjut Ayah Hasyim, Aki Jumad, Aki Suma, Bah Cece, Pa Didin, sampai saat ini dirinya sendiri. Saat ini ada sembilan juru pelihara (jupel) di bawah naungan Pemkab Cianjur, dan 21 jupel di luar pemerintahan.

Tapi sepertinya hanya Nanang lah jupel yang memiliki keterikatan kuat dan memori panjang tentang Gunung Padang. Sebab Nanang memang dilahirkan di Gunung Padang. “Waktu umur lima tahun, saya sering diakod(digendong) kakek ke sini,” katanya. Dari posisi Singgasana Raja, beberapa meter sedikit ke luar area inti situs, disitulah Nanang lahir. Saat ini rumah tempat dia lahir sudah menjadi warung kopi tempat istirahat.

Rumah Nanang sendiri saat ini ada di bawah 100 meter dari tempat parkir menuju situs. Hal menarik, pemahaman dia soal nilai-nilai filosofis itu didapatnya tidak saja dari pemahaman kakek buyutnya yang ditularkan kepada Nanang. Tapi juga berdasarkan penelusurannya secara langsung, selain pengalaman spiritual yang didapat selama menjadi juru pelihara.

“Saya tidak suka mitos, tapi saya suka mistis,” kata Nanang, mengawali perbincangan dengan tim ekspedisi KORAN SINDO JABARdi teras 1 Gunung Padang. Menurutnya, mitos lebih kepada hal-hal yang bersifat takhayul, bahkan bisa berbuah syirik, berbeda dengan mistis. Pengalaman spritual, kontemplasi, bertafakur terhadap keagungan Yang Maha Kuasa, dan nilai-nilai filosofis, itulah mistis.

Dengan mistis, banyak suri tauladan dan pelajaran yang didapat untuk bekal menjalani kehidupan. Begitu pula dengan pesan-pesan yang tersirat dari Gunung Padang, banyak muatan-muatan mistis, penuh siloka(simbol), dan makna yang dalam. Pesan-pesan itu hanya dapat dipahami dan dimengerti dengan sebuah perenungan panjang. Dia menuturkan, hal yang unik dan terlalu naif apabila disebut serba kebetulan.

Di Gunung Padang, angka lima cukup dominan dan melekat pada situs tersebut. Misalnya, semua teras Gunung Padang terdiri dari lima teras, antara lain teras pertama disebut Pamuka Lawang(pembuka pintu), teras dua Batu Masigit, teras tiga Makuta Dunya, teras empat Pangujian(pengujian yang ditandai adanya batu pengujian), dan teras kelima disebut Singgasana Raja.

Sebelum memasuki kelima teras itu, terdapat dua akses pintu masuk melalui anak tangga dengan kemiringan antara 45-50 derajat. Akses masuk pertama merupakan jalur ziarah atau jalur asli menuju pelataran Gunung Padang dengan jumlah 378 anak tangga.

Sementara akses masuk yang kedua, merupakan jalur wisata sebanyak 720 anak tangga, medannya lebih landai dengan memutari bagian samping kanan bukit. Nanang menjelaskan, ketika hendak menaiki anak tangga sebagai langkah awal perjalanan spritual biasanya ada tradisi, setiap pengunjung berwudlu atau meminum caikahuripan (air kehidupan) pada mata air yang berada tepat di bawah anak tangga pertama.

Mata air itu tidak pernah kering dan tampak jernih. Bahkan menurutnya, kandungan mineral air itu cukup tinggi, berdasarkan penelitian di laboratorium. Menurut dia, Gunung Padang itu dulunya tempat para karuhunmendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka, fungsi cai kahuripanitu sebagai media untuk mensucikan diri, sehingga begitu naik anak tangga sudah dalam keadaan bersih lahir dan batin.

Anak tangga yang menanjak merupakan gambaran akan perjalanan spritual kepada Yang Maha Kuasa. Hanya dengan kebersihan lahir batin, sabar, serta, motivasi tinggi, semua hambatan dalam hidup dapat diatasi secara baik. “Gunung Padang itu kan terdiri dua kata gunung dan padang.

Gunung artinya tempat tinggi, sedangkan padang adalah cahaya atau terang. Jadi Gunung Padang itu tempat cahaya atau tempat pencerahan,”terang Nanang. Begitu memasuki teras pertama, atau pamuka lawang, sebagai silokamemasuki zona pertama dalam pencarian ketuhanan.

Di teras kedua, area ini dulu dijadikan tempat ritual penyambutan, makanya tak heran adanya tiga batu yang terdapat di samping sebelah kiri dengan sebutan batu goong (batu datar, batu meja), batu bonang, dan batu kacapi. Istilah alat musik gamelan ini menguatkan dugaan bahwa di lokasi itu juga menjadi tempat pertunjukan kesenian. Apalagi tiga batu gamelan itu, benarbenar bisa mengeluarkan empat nada dasar.

Dari ketiga batu tersebut, salah satunya batu bonang, terang Nanang, asal kata dari bobo nangtung(tidur berdiri) , simbol bagaimana kita harus tidur tapi berdiri. Artinya, dalam keadaan apapun kita harus tetap sadar kepada sang pencipta. Di area ini pun terdapat batu yang menggunung yang disebut batu masigit(masjid), sering digunakan para karuhun untuk bertirakat guna mendapat petunjuk dari Hyang Agung.

Nanang tidak menjelaskan secara terperinci gundukan batu ini, namun sebelum melewatinya ada tetekon, papagon, jeungugeran (aturan)para karuhunselalu menghormati tempat ini dengan terlebih dahulu duduk bersila di atas batu goong sembari tangan menyembah ke arah Gunung Masigit. Di teras ketiga, atau makuta dunya, tedapat hal yang unik.

Di area ini banyak terdapat batu berdiri dengan ukuran lebih pendek dari batu lainnya. Bahkan, diameternya pun lebih besar. Konon kabarnya, lokasi itu menjadi tempat bermusyawarah, khususnya ketika zaman Pajajaran, digunakan semacam pertemuan antara Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) dengan para ponggawa atau pasukannya. Di lokasi itu pun terdapat satu buah batu berukir kujang atau dinakaman batu tapak kujang.

Sementara, kujang menurut Sanghyang Siksakanda Ng Karesianpupuh XVII, merupakan senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata kudihyang(kudidan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.

Dalam beberapa literatur, kudidiambil dari bahasa Sunda kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahayaatau penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406).

Sementara itu, Hyangdapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyangmempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti”yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Selain itu, di teras ketiga pun terdapat sebuah batu lain dengan ukiran tapak(jejak) kaki maung (harimau). Namun menurut Nanang, yang disebut maungitu adalah simbol manusia unggul.

‘Manusia unggul’ jika diakronimkan adalah ‘maung’. Menurutnya, keunggulan harus terpatri pada setiap manusia, sebagaimana kuatnya tapak maungpada batu itu. Di teras keempat, sedikit berbeda dari teras-teras lainnya, arealnya cenderung kosong hanya hamparan yang sedikit batu-batuan. Hanya saja, ada sebuah batu unik lainnya disebut pangujian(pengujian). Konon kabarnya, siapa saja yang bisa mengangkat batu itu, maka semua maksud dan tujuannya akan tercapai.

Namun, bagi Nanang itu hanya sebuah mitos belaka. Yang jelas, batu pangujian merupakan siloka siapa pun yang dapat mengatasi semua beban kehidupan, maka dia akan lulus mendekati Yang Maha Kuasa. Makanya, batu itu kini diamankan pada salah satu gubuk kecil dan terkunci rapat, agar tidak menimbulkan syirik.

Di teras kelima, atau Singgasana Raja, merupakan silokaakan pencapaian akhir dari sebuah perjalanan spritualnya. Tak heran posisi teras lima lebih tinggi dibanding teras-teras lain. Di sini pun terdapat batu menyerupai kursi duduk dengan dua buah batu berdiri yang disebut batu Sunan Ambu dan Sunan Rama (simbol ibu dan bapak), yang menghadap lurus ke arah Gunung Gede dan Gunung Pangrango.

Di teras itu menyimbolkan bahwa pencapaian kepada Hyang Agungtidak akan berhasil tanpa berpegang teguh kepada kedua orang tua. Ada peribahasa indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat, atau tiada keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan tanpa doa ibu dan bapak. Sebab, indung nu ngakandung bapa nu ngayuga, artinya tak akan ada anak tanpa kasih sayang ibu dan bapak.

Dalam kedudukannya, ibu atau wanita dalam Sunda sangatlah tinggi. Bahkan, dalam penyebutan pun ibu selalu lebih awal dibandingkan bapak. Sementara menurut seorang ahli, keyakinannya yang menyatakan bahwa wanita Sunda memiliki kedudukan yang terhormat dalam perbendaharaan budaya urang Sunda berhubungan dengan salah satu legenda Sunda kuno bernama Sunan Ambu (dewa wanita yang menjadi simbol keagungan di Buana Agung dunia Langit yang sakral).

Di akhir perjalanan dari mulai menaiki anak tangga hingga di teras kelima, Nanang menyebutkan, nilai filosofis yang ada di Gunung Padang ini semuanya didominasi angka lima. Hal itu tersimbolisasi pada jumlah teras, serta batu-batuan yang ada berpenampang segi lima, serta ukiran pada beberapa batu menunjukkan angka, sehingga angka tersebut sangatlah sakral.

Bahkan, antara Gunung Padang dengan Gunung Pangrango terdapat lima gunung. “Kesimpulannya, perjalanan spritual sejak menginjakkan kaki di tangga pertama hingga ke teras kelima merupakan simbol dari Allah maka akan kembali kepada Allah, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selain itu, banyak penerapan angka lima dalam kehidupan sehari-hari, seperti rukun Islam.

Ketika kita menjalankan rukun Islam secara sempurna maka akan kembali kepada Allah secara khusnul khotimah,”terangnya. Nilai-nilai filofis itulah harta karun yang terdapat di Gunung Padang, bukan emas atau berlian. Semua pihak harus belajar dari Gunung Padang, maka akan mendapatkan harta karun yang sesungguhnya.

Tidak semata-mata para karuhun (leluhur) membuat bangunan seperti itu, serta silokayang terkandung di dalamnya, kalau bukan untuk dijadikan eunteung (cermin) kehidupan agar selamat dunia dan akhirat. “Sayangnya, banyak pengunjung yang tidak memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya itu. Yang ada , tempat suci justru sering disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk berbuat maksiat. Inilah yang sangat disayangkan,”pungkasnya.

No comments: