28.1.16

Sumbu Kosmik ke Gunung Gede

ti Koran Sindo

Situs Gunung Padang banyak mengandung ilmu yang bisa digali secara iilmiah. Para arkeolog, geolog, budayawan, hingga arsitek meneliti situs yang kini mulai disebut bukan megalitik melainkan gigalitik ini.

Lalu bagaimana ilmu astronomi melihat Gunung Padang? Apakah memang ada garis astronomi (astronomical alignment) dan orientasi astronomi (astronomical orientation) di Gunung Padang? Prof Suhardja D Wiramihardja mungkin satu-satunya astronom yang meneliti Gunung Padang. Ditemui di sela bedah ilmiah Gunung Padang di kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganeca, Kota Bandung, Rabu (20/1), asronom senior ini memberi analisis sekeligus menjawab pertanyaan seputar astronnomi Gunung Padang.

“Harus dilihat dulu apakah etnik sekitar lokasi ini, dalam kasus ini etnik Sunda zaman baheula(dulu), memunyai kesadaran akan jagad raya (universe awareness) atau tidak? Dan jawabannya ada,” katanya kepada KORAN SINDO. Meski pada budaya zaman silam belum mengenal sebutan astronomi, namun kata Suhardja, mereka sudah mempelajari fenomena dan benda langit, sebagai kepentingan parktis kehidupan sehari-hari.

Untuk mempelajari Gunung Padang dalam perspektif astronomi, perlu didukung disiplin ilmu lain, salah satunya ethnoastronomi. Ethnoastronomi adalah studi tentang astronomi dari berbagai ras, kelompok etnik, budaya zaman silam, termasuk kalendar, cerita rakyat, mitologi dan ritual yang bertautan, konsep kosmologi dan tradisi orang atau budaya yang berhubungan dengan langit.

Suhardja berhasil menemukan penunjuk waktu yang menggunakan penunjuk alamiah untuk memahami, menentukan, atau memberi nama waktu dari bagian hari. “Penentuan itu didasarkan pada fenomena alam melalui apa yang mereka rasakan, lihat atau dengar, dan dipadukan dengan efek fari posisi matahari,” kata pria yang tertarik dengan ilmu etnhoastronomi sejak tahun 2008 ini.

Ada lebih dari 20 penunjuk waktu yang menyatakan segmen yang lebih kecil dari 24 jam sehari (pagi, sore, malam). Dengan penunjuk waktu ini orang zaman dulu bisa mengenal waktu berdasarkan hasil olah panca indera mereka seperti rasa, lihat, dan dengar. Bisa jadi, Gunung Padang memang dibikin atau disusun oleh manusia berdasarkan perhitungan astronomi itu.

Terlihat dari posisinya yang antara Gunung Padang dengan Gunung Gede. Sebagian orang meyakini leluhur membangun Gunung Padang sebagai tempat pemujaan dan titiknya mengarah ke Gunung Gede. “Intinya, kalau untuk aktivitas sehari-hari saja mereka berpatokkan pada fenomena langit, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya gigantik (besar) seperti situs megalitik Gunung Padang ini.

Sampai saat itu kita baru mendapatkan bahwa situs Gunung Padang ini berorientasi ke Gunung Gede dengan azimut kira-kira 345 derajat. Penemuan ini diperoleh oleh Tim TTRM dan Tim Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB,” katanya. Menurutnya, orang zaman dulu menganggap sesuatu yang tinggi sebagai sumbu kosmik (cosmic axis), sesuatu yang dija - dikan rujukan utama kehidup an.

Benda yang tinggi-tinggi itu bisa berupa bintang-bintang, gunung, bahkan pohon yang tinggi. “Tradisi yang menggunakan benda-benda langit sebagai patokan untuk kehidupan seharihari, seperti memanfaatkan kemunculan bintang-bintang tertentu untuk pertanian, sekarang pun masih diterapkan oleh masyarakat pertanian di sekitar situs megalitik Gunung Padang,” katanya.

Menurutnya, Gunung Gede dianggap sebagai sumbu kosmik Gunung Padang. “Pada kenya - taan nya orang saat itu membuat situs itu berarah ke Gunung Gede, memang dasarnya mungkin mereka mengangang - gap Gunung Gede sebagai cosmic axisitu,” kata Suhardja. Sebagian orang yakin saat bulan purnama, Gunung Padang memancarkan cahaya paling kuat ke segala arah.

Menurut Suhardja fenomena itu wajar. “Semua tempat kalau bulan purnama pasti terang, apakah gunung tinggi atau di daerah 10 meter di atas permukaan laut,” jelas Suhardja. Tinggi rendahnya sebuah tempat pun, kata Suhardja, tidak akan memengaruhi signifikan terang atau redupnya sebuah tempat.

Gunung Padang ada di ketinggian 885 di atas permukaan laut, itu pun kata Suhardja, tidak membuat ribuan batuan di situs itu menjadi terang seperti sumber cahaya. “Untuk diketahui, jarak ratarata bulan ke bumi adalah 384.400 km. Jadi beda beberapa kilometer pun tidak memengaruhi terang saat purnama,” jelasnya.

Lalu ada juga cerita bahwa Gunung Gede sebagai sumbu kosmik Gunung Padang posisinya seperti naik saat pukul 18.00 WIB atau menjelang magrib. Cerita itu memang hidup di sebagian kalangan, terutama orang sekitar. “Saya kalau ke sana seringnya magrib. Karena kita bisa melihat Gunung Gede seperti naik ke atas,” kata Abah Ruskawan, Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur.

Menurut Suhardja, fenomena itu hanya ilusi optik belaka. Sejatinya Gunung Gede di hadapan Gunung Padang tidak benar-benar naik. “Saya juga pernah mendengar pernyataan itu. Saya tidak langsung menyebut tidak percaya atau berbau mistik. Saya hanya bilang itu mahoptical illusionatau ilusi optik, atau tipu mata,” terangnya. Kata Suhardja, mata manusia bisa tertipu saat hari sudah gelap.

Hal ini disebabkan mata manusia tak punya referensi terhadap posisi atau tinggi sebuah objek di depan mata. Dia mencontohkan arsiran garisgaris miring yang orientasinya seperti bayangan cermin, kelihatan seperti menyempit. “Atau barangkali Anda pernah melihat bulan purnama terbit pada jam enam sore, tampak besar sekali.

Dan setelah bulan itu ada di langit tepat di atas kepala kita pada pukul 24.00, tampaknya lebih kecil dibandingkan dengan waktu terbit tadi,” katanya. Lalu bagaimana dengan dengan teori bahwa batu di Gunung Padang berasal dari batuan meteorit karena banyak mengandung besi.

Menurut Suhardja, berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan oleh koleganya Danny Hilman Natawidjadja, tidak ada bukti bahwa batuan di sekitar Gunung Padang merupakan batu meteorit. “Hasilnya tidak demikian (bukan batu meteorit),” katanya.

No comments: