28.1.16

Sketsa yang Mengubah Segalanya

ti Koran Sindo

Di sebuah rumah bertingkat di bilangan Sarijadi Raya Nomor 3, Kota Bandung, KORAN SINDO sengaja bertamu ke kantor arsitek senior bernama Pon Sapriamulya Purajatnika. Ya, dialah sang Ketua Tim Bidang Arstiektur di Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM).

Tugasnya adalah menggambar Gunung Padang dari segi arsitektur. Jadilah sketsa imajiner Gunung Padang pada 2013 yang menghebohkan itu. Sketsa 2013 sebenarnya merupa - kan sketsa ketiga yang merupa - kan penyempurnaan dua sketsa sebelumnya. Sketsa pertama dirilis November 2009, dan sketsa kedua November 2010.

Sebelum Gunung Padang diteliti Tim Katastrofi Purbakala (sebelum bergnti nama jadi TTRM) tahun 2010, Pon sudah lebih dulu meneliti arsitektur Gunung Padang. Titik berat penelitiannya adalah arsitektur purbakala di sekitar kampung adat di Jawa Barat. Ketika tiba di Cianjur, Pon “jatuh” hati pada Gunung Padang. Penelitian dimulai sekitar 2006-2007.

“Pas melihat Gunung Padang, ini merupakan tinggalan yang luar biasa, dan ini tampaknya tinggalan yang sangat lama, katakanlah zaman megalitik, awalnya informasinya begitu. Di situlah saya mulai,” ujarnya. Tahun 2008, Pon mulai intens berkunjung ke Gunung Padang. Fokusnya adalah melihat bentukan situs itu. Berbagai pertanyaan pun muncul.

Apakah gunung Padang merupakan candi, punden berundak, atau situs lain? “Pas dilihat itu kanpunden berundak di bagian atas,” kata Pon. Tahun 2010 sketsa pertama Gunung Padang pun jadi. Proses pembuatannya memakan waktu setahun, lima bulan di antaranya untuk membuat layer(lapisan) pertama. Sketsa ini merupakan sketsa permukaan berdasarkan observasi lapangan.

Setelah jadi, sketsa pertama itu langsung diikutkan pada pameran foto di “International Conference Sundaneese Culture di Bogor. Berbagai foto artefak di Gunung Padang ditampilkan dalam pameran tersebut. Di situlah masyarakat terutama para arkeolog, geolog, arsitek dan budayawan mulai melirik Gunung Padang. “Maka berlanjutlah penelitian dari waktu ke waktu sampai sekarang,” cerita Pon.

Pada November 2012, Pon bertemu untuk pertama kali dengan geolog Danny Hilman Natawidjadja dalam sebuah rapat besar di Gedung Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta. Dari sanalah dia kemudian masuk dalam TTRM, berlanjut ke fase Tim Nasional Gunung Padang, dan sampai akhirnya penelitian saat itu berhenti.

Berbekal dua sketsa awal yang merupakan gambar permukaan, Pon menggabungkan hasil observasinya sendiri dengan temuan para peneliti. Maka jadilah sketsa ketiga yang pertama kali dipublikasikan tahun 2013.“Ada temuan sekitar Gunung Padang struktur tanahnya berbentuk terasering, ya saya membuat sketsa imajinasi itu,” ucap Pon. Dia menjelaskan, dari sketsa imajinasi Gunung Padang, bentuk bangunan mengerucut ke atas.

Dalam konteks lingkungan tropis, bangunan mengrucut biasanya dipakai sebagai tempat beribadah. “Kita pada dasarnya memiliki gunung, jadi tak perlu membuat piramid seperti di Mesir. Biasanya tempat ibadah selalu mengerucut ke atas berbentuk segitiga untuk mendapatkan suasana monumental dan sakral. Jadi dibentuklah Gunung Padang itu berbentuk seperti itu,” kata dia.

Dalam beribadah, kata Pon, orang zaman dahulu bisa menemukan titik tertinggi di puncak dimana mereka bisa melihat langsung ke arah Gunung Gede sebagai sumbunya. “Syarat ritual pada saat itu, juga sikap terhadap benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang, itu sudah jelas di sana,” terangnya.

Selain itu, bangunan Gunung Padang digambarkan terbuka, dimana ada tangga untuk naik dan turun yang sifatnya terukur. Hal tersebut dilihat dari ada beberapa sisa bangunan di tengah situs. “Bangunan itu sebetulnya terbuka. Situs lain yang sezaman seperti Lebak Cibeduk, Cengkuk, dan sebagainya, itu terbuka. Tapi saya tak bisa memastikan tertutupnya seperti apa karena tidak ada referensi,” kata Pon.

Mungkin, lanjut di, ke bawahnya ada tempat tangga untuk naik dan sifatnya terukur. Kemudian ada pintu masuk dan keluar. Di pintu masuk itu ada semacam air untuk bersuci sebe - lum melakukan ritual ibadah. “Seperti muslim harus berwudlu, kristiani ada air suci,“ sebut Pon. Menurutnya, dilihat dari kriteria teknis lapangan, bangunan tersebut dibuat dari batuan dengan susunan tertentu.

Dengan susunan dan tempat berlainan di sisi satu dan sisi lainnya. “Artinya itu dibuat. Selain membuat bentuk, juga membuat susunan untuk membuat struktur tanah. Walaupun sekarang acakacakan, tapi itu keliatan sekali bentuk awalnya seperti apa. Jadi itu dibentuk, gakmungkin alami,” katanya.

Bahkan dengan penemuan lapisan pasir di kedalaman beberapa meter, menurutnya, itu merupakan bagian dari bangunan. Lapisannya terlihat mengikuti atau menyesuaikan level teras demi teras. Berdasarkan hasil analisa georadar, lapisan pasir berada di garis besar ketiga, sementara itu Gunung Padang sendiri memiliki lima level teras. Bisa jadi, pasir dalam bangunan itu untuk meredam goncangan saat gempa bumi.

Seperti diketahui, Gunung Padang terletak di Patahan Cimandiri yang berpotensi bergerak. “Fungsi pasir sendiri untuk meredam gaya lateral seperti gempa bumi dan meratakan beban pada tumpuan. Itu pengetahuan sederhana,” katanya.

No comments: