ti Koran Sindo
Saya kerap melakukan investigasi sejarah dan lebih diutamakan sejarah lisan. Sejarah lisan yang disampaikan secara turun-temurun, mungkin kurang memiliki keabsahan, sebab sejarah lisan keluar dari etika akademisi.
Bahwa sejarah menurut akademisi harus memiliki bukti tertulis dan bukti arkeologi, tak akan ditemui utuh di koridor sejarah lisan. Mungkin ada bukti arkeologi, namun tidak memiliki catatan tertulis, dan masyarakat seputarnya, hanya memiliki “dongeng lisan” saja. Atau juga sebaliknya, masyarakat hanya memiliki alur sejarah lisan namun tak memiliki bukti arkeologinya.
Masyarakat tradisional menganggap itu sebuah sejarah masa lalu, namun para sarjana lulusan akademisi hanya menempatkannya di koridor dongeng, floklore, atau mitos saja. Bahwa di Gunung Padang kini ditengarai ada situs dan benda arkeologi, itu sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun silam, namun hingga kini kalangan akademisi belum bisa meraba, situs peninggalan kuno ini membicarakan zaman apa dan siapa pemiliknya?
Jauh sebelum Situs Gunung Padang ditangani secara akademik, saya sendiri sudah mendahului melakukan penelusuran. Memang tidak sempurna menemukan semuanya. Seperti kalangan akademisi, saya juga sama tidak menemukan berita, kapan awal dibikinnya situs di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur ini. Berita-berita lisan dari masyarakat, baik yang ada di seputar lokasi, maupun masyarakat yang jauh dari lokasi, hanya memberikan gambaran yang sayup-sayup belaka.
Berita dari Pajajaran
Adalah beberapa orang pengamat tradisional tentang masa lalu di beberapa tempat, yang sempat menyampaikan ikhwal misteri Gunung Padang ini. Yayan,35, dari Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Su - medang misalnya. Secara turuntemurun, dia menye butkan bahwa misteri Gunung Padang sudah diteliti sejak zaman Paja - jaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, raja pertama Pajajaran (1482-1521).
Nama Gunung Padang, mungkin baru bela - kangan ini saja didengung kan, sebab sewaktu zaman Pajajaran, orang hanya menyebutnya sebagai Hyang Pamujang (pusat menyembah Hyang). Kala itu di Pajajaran pun sudah ada arkeolog dan pembaca masa lalu. Dia duduk di sebuah lembaga pemerintah yang mengurusi budaya dan sejarah, bernama Ki Purana Makti.
Sri Baduga Maharaja tahun-tahun itu telah mengutusnya untuk membuka sejarah masa lalu Gunung Padang. Namun bila dibandingkan dengan peneliti masa kini, boleh dikata Ki Purana Makti kalah jauh. Sebagai bukti, peneliti modern telah sanggup mendeteksi usia batuan, sebab samakin dalam memeriksa perut bumi Gunung Padang, maka semakin jauh usianya.
Bahwa menurut peneliti masa kini, peradaban di Gunung Padang sudah dimulai sejak 20.000 tahun silam. Sementara Ki Purana Makti, hanya sanggup mendeteksi dari 5.000 tahun ke belakang. “Tah, di jaman urang, di ieu tempat geus aya kahirupan,” Artinya: “Nah, dari zaman kita, di sini sudah ada kehidupan.” Ki Purana Makti menyebutkan, dulu di puncak Gunung Padang berdiri sebuah bangunan.
Ada kubah besar menaungi sebuah tempat luas. Kubah itu berpintu 13 sebagai tempat masuk dan keluar para penyembah. Bila semua duduk bersila, ruangan kubah bisa dimasuki seribu orang. Mungkin seperti bangunan masjid raya untuk ukuran masa kini. Fungsinya untuk melakukan upacara sembah bagi yang diper - tuhan kala itu, dan Ki Purana Mak ti memberi nama sebagai Hyang atau sanghyang yang ar - tinya Yang Gaib.
Hanya saja, ku - bah sudah tak ada sebab ribuan tahun sebelum Pajajaran, di sana terjadi bencana alam yang hebat. Terjadi gempa bumi, di mana dari dasar gunung ada dorongan kuat yang menyebabkan kubah hancur berantakan, yaseperti sekarang ini. Purana Makti mengatakan, bahwa sekalipun dia hanya mendeteksi kehidupan 5.000 tahun sebelum Pajajaran, tapi dia merasa yakin bahwa kehidupan di sana jauh lebih tua dari itu.
Hanya saja pada masa jauh sebelumnya, di wilayah itu belum dikenal apa yang bernama agama. Cara berpakaian pun masih sangat sederhana. Bahkan cara berkomunikasi pun masih sangat sederhana. Belum ada susunan tata-bahasa baku. Bila berkomunikasi, maka untuk menyampaikan maksud tertentu, terkadang harus menggunakan bahasa isyarat.
Situs Gunung Padang diduga dibangun untuk kepentingan ritual sebuah agama, tapi tidak diketahui agama apa. Hanya yang jelas, di kubah besar itulah orang berkumpul untuk menerima ajaran-ajaran moral, bahkan budaya secara luas. Ki Purana Makti bahkan berani berkata kepada Sri Baduga Maharaja atau yang belakangan dikenal sebagai Prabu Siliwangi, bahwa kemungkinan besar peradaban Sunda dimulai dari tempat ini.
Prabu Siliwangi percaya, bahwa Hyang Pamujang (Gunung Padang), dari zaman ke zaman selalu digunakan tempat memuja Sanghyang Tunggal. Itulah s - ebabnya, dia pun sering mengun - jungi Gunung Padang untuk melakukan ritual suci. Peristiwa ini pun sempat ditulis oleh Bujangga Manik, (jurnalis zaman Pajajaran) yang catatan-catatan lamanya pernah tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Tak ada catatan tentang peristiwa ini. Hanya saja masyarakat tua di sekitar Situs Gunung Padang merasa tak asing dengan nama Purana Makti. Sudah barang tentu tak bakalan asing, sebab atas jasa Sang Bujangga ini, maka sebuah kampung yang letaknya tak jauh dari Hyang Pamunjang oleh Prabu Siliwangi diberi Kampung Purana Makti. Oleh pergeseran waktu, maka nama pun bergeser pula. Sekarang penduduk menyebutnya sebagai kampung atau Desa Karya Mukti.
Awal Peradaban
Tak pelak, bagi orang-orang yang bersemangat menelusuri masa silam, maka banyak orang telah mengklaim bahwa dari Gunung Padang lahdi antaranya menyebar sebuah peradaban. Saya bilang di antaranya. Sebab jauh sebelum Gunung Padang diteliti, sebetulnya masyarakat Sunda sudah menemukan bukti sejenis di beberapa gunung lain. Semisal saja di Gunung Sadahurip, wilayah Garut utara.
Banyak orang yakin bahwa bila perut Gunung Sadahurip, di sana akan terlihat bangunan seperti piramid. Piramid itu untuk istilah bangunan di Mesir. Sementara di Gunung Sadahurip dikenal sebagai batu panguundakan(batu berundak). Dulu ribuan tahun silam, batu panguundakanyang tingginya melebihi puncak stupa Borobudur ini, digunakan sebagai tempat berkumpulnya para raja Nusantara untuk melakukan upacara suci menyembah kepada Sang Murba Wisesa (Sang Penguasa Tunggal).
Orang yang paling rutin datang ke sini adalah petinggi dari zaman Galuh Kuno (abad 8). Orang Galuh sudah menganggap bahwa Batu Panguundakan dibuat oleh para leluhur mereka, ribuan tahun silam. Belakangan malah ditemukan lagi gunung sejenis, terdapat di wilayah Garut Selatan. Lalu ada Gunung Sangiang di wilayah Kuningan dan diduga di perut gunung memiliki bukti peradaban kuna.
Jauh sebelum Gunung Padang ditemukan, juga di Soreang Kabupaten Bandung ada Gunung Lalakon. Konon di sana pun ada bangunan mirip piramid. Sekarang bahkan sementara orang Sunda mencurigai, bahwa bila ada gunung bentuknya seperti aseupan(tempat menanak nasi) tidak berbatu bahkan kurang dipenuhi hutan belantara, maka dicurigai sebagai batu panguundakan yang sengaja disembunyikan atau memang tertutup lapisan tanah karena perubahan zaman.
Di batu bertulis yang ada di Bogor (Kecamatan Batutulis), ada tertera tulisan bahwa Sri Baduga Maharaja membuat gugunungaan(kini dikenal sebagai Bukit Badigul di Rancamaya). Orang terheranheran, Sunda itu wilayah pegunungan, tapi masa iyaPrabu Siliwangi segitunya bikin gunung tiruan? Apakah Prabu Siliwangi membuat gugunungan itu untuk keperluan khusus?
Ya, semisal bikin batu panguundakan seperti bangunan piramid? Sekarang penelitian Situs Gunung Padang seperti terhenti, padahal tahun-tahun kemarin sangatlah menggebu. Kemungkinan besar karena biaya yang dibutuhkan amat banyak. Namun bagi yang senang bersuudzon, kemungkinan besar takut mengubah peta sejarah. Bukan saja sejarah nasional, melainkan juga bisa mengubah peta sejarah dunia. Bagaimana tidak.
Sebelumnya dunia telah mengukuhkan bahwa Mesir adalah awal mula peradaban dunia tatkala ditemukan piramid yang berusia empat ribu tahun. Sekarang ada penelitian baru bahwa awal peradaban dunia dimulai dari Sunda (Zhundaland), sebab Gunung Padang, salah satu gunung kuna dari begitu banyaknya gunung, telah ditemukan sebuah peradaban sejak 20.000 tahun berselang.
Hanya kesadaran nasional yang dibantu oleh kesadaran dunia saja yang bisa mengubah peta sejarah seutuhnya. Komentar Prabu Siliwangi atas keberadaan Gunung Padang: “Jaga ji padang leuwang Katraman banyusarak Ma’jang inya ti wasta pra’nu aji majang Ah’ sami kraton niang jajaran.”
(“Harus dijaga tanah yang luas satu halaman ini Tempat berkumpulnya para leluhur Asli sacara turun-tumurun jauh sebelum kelahiran kita.”) “Siah kallama Samandiyah netapan ieu leuwang Jaga, jaga, jaga!” (Hai, semua dari kalian Tinggallah di tempat ini Rawatlah dan jagalah!”)
AAN MERDEKA PERMANA
Mantan wartawan Sunda,
pengumpul floklore dan cerita lisan Sunda,
tinggal di Bandung.
No comments:
Post a Comment